Kamis, 09 Mei 2013

"ATAS NAMA KEJUJURAN?"


Kadang ada tulisan-tulisan yang menggelitik benak saya, menantang perspektif saya hingga saya memutuskan untuk berkorespondensi dengan penulisnya:

Dear Mbak E,

Saya cukup tergelitik dengan editorial note Anda di C edisi 140. Jujur, masih sulit bagi saya untuk membantah kenyataan bahwa tak semua orang - baik PRIA maupun WANITA - sanggup menerima kejujuran, sepahit apa pun itu disampaikan. Sama halnya dengan dibohongi. Kalau sampai ada yang menyangkal, bisa jadi mereka tengah berusaha menghibur diri sendiri atau lebih parah - tidak lagi peduli.

Jika ada yang bertanya mana pilihan saya - baik sebagai perempuan maupun manusia - dengan jujur saya katakan: tidak keduanya. Saya tidak suka mulut yang berucap manis tapi tidak tulus. (Bersyukur saya sudah pernah bertemu orang-orang macam ini, hingga saya tahu bedanya - kurang lebih, hehe.) Kalau pun mereka memuji, ucapan terima kasih adalah yang paling netral yang bisa saya berikan.

Apakah kejujuran selalu lebih baik? Menurut saya, tergantung waktu, tempat, dan sosok yang kita hadapi. Nggak mungkin kita bilang bos kita payah, kecuali bila kita sudah cukup kaya-raya hingga tidak butuh pekerjaan lagi. Presiden saja bisa mengancam rakyatnya dengan hukuman penjara bila beliau tersinggung dengan "kejujuran" mereka.

Ada orang yang memang enggan menerima kejujuran kita - dan kita memang tidak bisa memaksa. Berlawanan dengan stereotipe gender yang terlanjur ada, saya lihat bahkan pria pun sulit menerima kejujuran - bahkan yang sudah disampaikan dengan sehalus mungkin. (Baca = berusaha tidak terlalu menyakitkan dan minus kata makian.) Standar ganda yang menggelikan, memang. (Tak perlu mendebat hal ini dengan teman-teman pria, Mbak, karena pasti mereka akan membantah mati-matian dengan jutaan alasan yang mereka anggap "logis".) Si macho merasa wajar berucap jujur bahkan meski menyakitkan. Eh, saat situasi berbalik, egonya malah terusik. (Bahkan kalau perlu, kultur dibawa-bawa lewat kata-kata bahwa "perempuan harus bertutur lebih sopan dari lelaki, karena memang demikian adanya." Haha, entah dimana logikanya.)

Saya lebih suka ucapan jujur disertai solusi atas masalah yang mungkin mereka anggap ada pada saya. ("Jangan pakai baju itu, kamu kelihatan lebih gemuk. Mending pakai yang ini, karena kamu akan terlihat lebih rapi dan gaya.") Memang, tidak pernah ada manusia sempurna. Menurut saya, tidak ada gunanya ucapan jujur bila tanpa saran berarti (alias hanya mengkritik.) Seperti percakapan saya dengan lelaki yang dulu pernah saya cintai:

Dia: "Menurut kamu, aku lebih bagus punya brewok atau cukuran?"

Saya: "Cukur saja, karena kamu lebih kelihatan muda dan segar. Brewok bikin kamu kelihatan tua dan sedih!"

Sejam setelah percakapan di YM, dia email foto terbarunya dengan wajah mulus yang sedang tersenyum!

Apa gunanya jujur bila hanya untuk menyakiti, karena tanpa memberi solusi berarti? Apalagi bila pilihan waktu, tempat, hingga ucapan tidak tepat. Bukankah pada dasarnya kita enggan dihakimi, meski - celakanya! - kita hobi menghakimi, bahkan untuk sesuatu yang belum tentu kita mengerti? Meskipun ucapan kita terbukti benar, belum tentu kita akan mendapatkan simpati, pujian, atau bahkan permintaan maaf (dari mereka yang pernah tidak menerima kejujuran kita). Mereka tidak akan mendengarkan bila kita menyampaikannya dengan cara kasar. Apalagi bila keputusan mereka tak ada hubungannya dengan kita, bahkan bila mereka orang terdekat sekalipun.

Memang tidak semua bisa dipukul rata. Setiap orang berbeda. Demi menghemat tenaga, saya hanya berusaha yang terbaik dan tidak terlalu ambil pusing atas semua hal. Dengarkan yang perlu-perlu saja. Sisanya ikuti insting. Kalau pun pilihan saya salah, toh hanya saya yang menanggungnya. Kita memang tidak selalu bisa menyenangkan semua orang, baik dengan "sweet-nothings" maupun kejujuran. Tapi selalu ada cara untuk bikin diri sendiri bahagia.

Terima kasih atas waktu membacanya, Mbak. Maaf mengganggu kesibukan Anda. Saya hanya ingin berbagi perspektif saya.

R.

Entahlah. Seperti biasa, saya bisa saja benar - atau salah. Selalu ada ruang untuk dua kemungkinan itu...

R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar