Kadang ada tulisan-tulisan yang menggelitik benak saya, menantang perspektif saya hingga saya memutuskan untuk berkorespondensi dengan penulisnya:
Dear Mbak E,
Saya cukup tergelitik dengan editorial note Anda di C edisi 140. Jujur, masih sulit bagi saya untuk membantah
kenyataan bahwa tak semua orang - baik PRIA maupun WANITA - sanggup menerima
kejujuran, sepahit apa pun itu disampaikan. Sama halnya dengan dibohongi. Kalau
sampai ada yang menyangkal, bisa jadi mereka tengah berusaha menghibur diri
sendiri atau lebih parah - tidak lagi peduli.
Jika ada yang bertanya mana pilihan saya - baik sebagai
perempuan maupun manusia - dengan jujur saya katakan: tidak keduanya. Saya
tidak suka mulut yang berucap manis tapi tidak tulus. (Bersyukur saya sudah
pernah bertemu orang-orang macam ini, hingga saya tahu bedanya - kurang lebih,
hehe.) Kalau pun mereka memuji, ucapan terima kasih adalah yang paling netral
yang bisa saya berikan.
Apakah kejujuran selalu lebih baik? Menurut saya, tergantung
waktu, tempat, dan sosok yang kita hadapi. Nggak mungkin kita bilang bos kita
payah, kecuali bila kita sudah cukup kaya-raya hingga tidak butuh pekerjaan
lagi. Presiden saja bisa mengancam rakyatnya dengan hukuman penjara bila beliau
tersinggung dengan "kejujuran" mereka.
Ada orang yang memang enggan menerima kejujuran kita - dan
kita memang tidak bisa memaksa. Berlawanan dengan stereotipe gender yang
terlanjur ada, saya lihat bahkan pria pun sulit menerima kejujuran - bahkan
yang sudah disampaikan dengan sehalus mungkin. (Baca = berusaha tidak terlalu
menyakitkan dan minus kata makian.) Standar ganda yang menggelikan, memang.
(Tak perlu mendebat hal ini dengan teman-teman pria, Mbak, karena pasti mereka
akan membantah mati-matian dengan jutaan alasan yang mereka anggap
"logis".) Si macho merasa wajar berucap jujur bahkan meski
menyakitkan. Eh, saat situasi berbalik, egonya malah terusik. (Bahkan kalau
perlu, kultur dibawa-bawa lewat kata-kata bahwa "perempuan harus bertutur
lebih sopan dari lelaki, karena memang demikian adanya." Haha, entah
dimana logikanya.)
Saya lebih suka ucapan jujur disertai solusi atas masalah
yang mungkin mereka anggap ada pada saya. ("Jangan pakai baju itu, kamu
kelihatan lebih gemuk. Mending pakai yang ini, karena kamu akan terlihat lebih
rapi dan gaya.") Memang, tidak pernah ada manusia sempurna. Menurut saya,
tidak ada gunanya ucapan jujur bila tanpa saran berarti (alias hanya mengkritik.)
Seperti percakapan saya dengan lelaki yang dulu pernah saya cintai:
Dia: "Menurut kamu, aku lebih bagus punya brewok atau
cukuran?"
Saya: "Cukur saja, karena kamu lebih kelihatan muda dan
segar. Brewok bikin kamu kelihatan tua dan sedih!"
Sejam setelah percakapan di YM, dia email foto terbarunya
dengan wajah mulus yang sedang tersenyum!
Apa gunanya jujur bila hanya untuk menyakiti, karena tanpa
memberi solusi berarti? Apalagi bila pilihan waktu, tempat, hingga ucapan tidak
tepat. Bukankah pada dasarnya kita enggan dihakimi, meski - celakanya! - kita
hobi menghakimi, bahkan untuk sesuatu yang belum tentu kita mengerti? Meskipun
ucapan kita terbukti benar, belum tentu kita akan mendapatkan simpati, pujian,
atau bahkan permintaan maaf (dari mereka yang pernah tidak menerima kejujuran
kita). Mereka tidak akan mendengarkan bila kita menyampaikannya dengan cara
kasar. Apalagi bila keputusan mereka tak ada hubungannya dengan kita, bahkan
bila mereka orang terdekat sekalipun.
Memang tidak semua bisa dipukul rata. Setiap orang berbeda.
Demi menghemat tenaga, saya hanya berusaha yang terbaik dan tidak terlalu ambil
pusing atas semua hal. Dengarkan yang perlu-perlu saja. Sisanya ikuti insting.
Kalau pun pilihan saya salah, toh hanya saya yang menanggungnya. Kita memang
tidak selalu bisa menyenangkan semua orang, baik dengan
"sweet-nothings" maupun kejujuran. Tapi selalu ada cara untuk bikin
diri sendiri bahagia.
Terima kasih atas waktu membacanya, Mbak. Maaf mengganggu
kesibukan Anda. Saya hanya ingin berbagi perspektif saya.
R.
Entahlah. Seperti biasa, saya bisa saja benar - atau salah. Selalu ada ruang untuk dua kemungkinan itu...
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar