Selasa, 28 Mei 2013

"SERUMAH DENGAN TUKANG MENGELUH"

Semoga Anda belum bosan bin muak dengan topik yang satu ini. Kalau sudah, silakan mengeluh. Anda bisa jadi tukang mengeluh kesekian di dunia, hehe. Nggak besar pengaruhnya.

Anda terpaksa serumah dengan si tukang mengeluh yang kronis? Belum bisa pindah ke rumah sendiri karena belum memungkinkan? Sayang sekali. Sepertinya Anda harus banyak-banyak bersabar dan berusaha keras untuk tetap 'waras'.

Mungkin Anda bisa coba beberapa cara ini - syukur-syukur membantu:

1.Sosok-sosok penyabar di sekitar saya menyarankan agar saya rajin-rajin mendoakan si tukang mengeluh kronis agar segera sadar dan menghentikan kebiasaannya yang - terus terang - ganggu banget!

2.Menegur mereka baik-baik. Kalau ujung-ujungnya jadi ribut dan musuhan, bukan salah kita. Anggap saja mereka belum cukup dewasa untuk mulai berbesar hati.

3.Diamkan saja. Hemat tenaga.

4.Malas berlama-lama dengan tukang mengeluh kronis? Silakan mengurung diri di kamar - atau sibukkan diri Anda di luar rumah. Lumayan, ada alasan untuk tidak sering-sering pulang. Syukur-syukur si tukang mengeluh sadar dijauhi dan moga-moga ada usaha berubah.

5.Masih gagal juga? Ya, sudah. Anda hanya punya dua pilihan terakhir - kembali ke nomor satu - atau cabut dengan seadanya persiapan!

R.

(Jakarta,19 Mei 2013)

Senin, 20 Mei 2013

"TANDA-TANDA 'KERACUNAN' AURA NEGATIF TUKANG MENGELUH"

Masih seputar tukang mengeluh. Kali ini mereka yang tak sengaja ikut kena 'imbas' si tukang mengeluh yang kronis.

Kita sudah berusaha keras untuk tetap berpikir positif dan lebih banyak bersyukur. Sebisa mungkin nggak (ikutan) mengeluh.

Sayang, kadang lingkungan suka tidak ikut mendukung. Ibarat warga ibukota yang merindukan udara segar, tukang mengeluh ibarat asap knalpot atau polusi lainnya yang sulit - bahkan nyaris mustahil - untuk dihindari. Lama-lama bisa merusak paru-paru, alias bikin sesak! (Baca = muak!) Karena itu, akhirnya kita terpaksa harus bersinggungan dengan mereka setiap hari. Tanpa sadar, lama-lama kita ikut 'tertular' virus negatif aura si tukang mengeluh.

Tanda-tandanya:

1.Semangat bangun pagi lenyap saat ingat harus bertemu mereka.

2.Berusaha menghindari mereka mati-matian, hingga akhirnya malah stres sendiri.

3.Berusaha memberitahu si tukang mengeluh kronis bahwa kebiasaannya bikin sekitar (terutama kita) tidak nyaman, dengan resiko berujung pertengkaran dan permusuhan.

4.Gagal memberitahu mereka dengan baik, buntutnya Anda malah ngomel-ngomel nggak jelas di status Facebook / Twitter Anda. (Lha, jadinya sama saja, kan?) Dengan kata lain, buntutnya Anda malah join the club - alias menambah populasi tukang mengeluh kronis di dunia!

5.Masih berhubungan dengan nomor 4, jika Anda penulis - Anda rela mengambil resiko dicap orang brengsek karena berani menulis tentang mereka di blog. (Maklum, Anda juga sudah lama sangat lelah. Memangnya hanya mereka yang boleh mengeluh?)

6.Jika serumah dengan mereka, Anda jadi malas pulang. Kalau bisa tunggu hingga mereka tidur atau pergi.

7.Jika Anda sekantor dengan mereka, Anda rajin menyibukkan diri dan bicara seperlunya dengan mereka. Kalau mereka sedang 'cuap-cuap' dekat Anda, earphone HP atau laptop selalu terpasang di kuping Anda. Lebih baik Anda mendengarkan yang, seperti lagu-lagu Adam Lambert yang penuh semangat positif, misalnya.

8.Anda sangat butuh liburan...sendirian! Kalau perlu menjauh dari semua orang untuk sementara.

9.Anda jadi sangat bersyukur Anda bukan psikolog, psikiater,gubernur,atau presiden yang tidak pernah sepi dari keluhan sejuta umat!

R.

(Jakarta,17 Mei 2013)

Sabtu, 11 Mei 2013

"TANDA-TANDA 'KECANDUAN MENGELUH' "

Memang, tak ada manusia sempurna. Lagi-lagi jargon itu jadi andalan saat berdebat atau alasan untuk membela diri. Semua punya kekurangan masing-masing.

Termasuk si tukang mengeluh.

Kabar baiknya: mengeluh itu (masih dianggap) wajar. Manusiawi. Mengeluh adalah ekspresi ketidakpuasan terhadap sesuatu dan keinginan agar adanya perbaikan berarti terhadap sesuatu yang diributkan. Istilah lainnya: kritikan.

Kabar buruknya: banyak yang berhenti hanya pada tahap mengeluh, alias tidak melakukan sesuatu yang berarti untuk mengubah hal yang dikeluhkan. Jadinya masalah terasa dua kali lebih 'berat' dari sebenarnya. Kalau pun melakukan sesuatu, biasanya sekedar curhat sama orang lain atau 'cuap-cuap' di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. (Seorang teman yang pernah mempelajari Ilmu Komputer bahkan pernah membandingkan kegiatan yang disebut terakhir barusan dengan berteriak-teriak mencari perhatian di tempat umum dan merengek tentang betapa malangnya hidup kita.)

Oke, mengeluh memang hak asasi manusia. Curhat pun bisa berfungsi positif, yaitu sebagai pelepasan emosi. Tak ada yang melarang.

Lalu, apa jadinya bila kita kecanduan mengeluh? Bisa jadi ada masalah klinis yang harus ditangani secara medis oleh ahlinya. (Bisa psikolog, psikiater, atau keduanya.) Kadang rasa sayang atau kedekatan emosional tidak lantas membuat seseorang jadi penyabar selalu. Kadang kita butuh pendapat obyektif seorang profesional.

Inilah tanda-tanda gejala 'kecanduan mengeluh':

1.Tak ada semangat untuk hidup tiap bangun pagi. (Yang ekstrim sampai ngomong:"Untuk apa saya masih hidup?")

2.Kurang atau sering lupa bersyukur, karena merasa hal-hal indah di sekitarnya masih terlalu kecil untuk membuatnya bahagia.

3.Lupa kapan terakhir kali tersenyum dengan tulus.

4.Tidak semangat ke sekolah, kampus, hingga kantor. Pokoknya, galau tingkat dewa! Karena kehilangan gairah hidup dan semangat juang, banyak yang sering membolos hingga akhirnya di-DO atau dipecat. Pokoknya, semua di mata mereka salah! Yang ekstrim, ada yang memilih mengurung diri di rumah dan enggan melakukan apa-apa.

5.Wajah jadi makin tidak menarik karena selalu tampak muram. Yang ekstrim sampai berhenti merawat diri.

6.Sering tidak sadar suka mengulang-ulang curhatan (keluhan) yang sama. Bahkan, kesalahan orang lain yang sudah lalu masih rajin diungkit-ungkit, terutama bila yang bersangkutan kembali melakukan kesalahan (mau sama atau beda).

7.Status Facebook dan Twitter penuh dengan keluhan, keluhan, dan sekali lagi...KELUHAN! (Bahkan, yang ekstrim sampai update di atas tiga kali sehari - lagi-lagi hanya untuk mengeluh...apalagi untuk hal yang sama.) Jangankan menghibur atau sekedar mengomentari, orang mungkin sudah malas membacanya. Apa iya, Anda memang selalu dirundung nestapa? (Jangan kecewa bila bos batal memberi promosi - atau HRD perusahaan incaran batal menerima lamaran kerja si tukang mengeluh. Pasti mereka ikut membaca atau cari tahu lewat referensi pihak kedua, ketiga, dan seterusnya kalau mereka memang serius mencari kualitas karakter calon staf.)

8.Cenderung defensif (alias super sensitif) saat ditegur dan dinasihati baik-baik. Pokoknya hanya mau dipahami, enggan berusaha memahami.

9.Hobi meratapi masa lalu. Bahkan saat masalahnya sudah lama selesai, si tukang mengeluh masih saja membuang waktu dan tenaga dengan berandai-andai. ("Ah, andai dia dulu mau mendengar kata-kata saya...")

10.Pendengar lelah. Semua solusi yang sudah mereka tawarkan tidak mampu menghentikan curhatan (keluhan) yang berulang. Yang lebih parah, ditolak mentah-mentah. (Lho, jadi maunya apa?)

11.Jika masih lajang, Anda akan dijauhi calon kekasih potensial. Maaf, lupakan jargon "mencintai apa adanya" ala cerita dongeng. Anda tidak adil bila menuntut mereka terlalu banyak dan berat, bahkan sebelum hubungan tercipta. Mereka juga berhak memilih. Mereka butuh orang yang bahagia dan berpikir positif, bukan yang malah bikin tambah stres!

12.Jika sudah berpasangan, si dia pasti tengah muak dengan 'aura negatif'' Anda. Anda enggan berusaha untuk berubah - atau malah tidak sadar-sadar juga? Siap-siap saja ditinggal.

13.Satu-persatu teman menjauh. Jangan dulu menuduh mereka tidak pengertian, egois, dan tidak setia kawan. Ingat, mereka cuma manusia biasa dan pastinya sudah berusaha keras memahami Anda. Bahkan psikiater profesional pun bisa kelelahan!

14.Keluarga sudah menyerah berusaha berbicara baik-baik dengan Anda. (Bahkan ada yang menyarankan Anda agar menemui psikolog, psikiater, atau keduanya.)

15.Anda tengah membaca daftar ini dan langsung merasa tersinggung, karena mengira saya 'menyerang' Anda. (Jangan salah, ini peringatan buat saya juga!)

Jika banyak dari daftar di atas yang sesuai dengan diri Anda, waspadalah. Sadar diri - atau cari bantuan ahlinya sebelum terlambat! Banyak-banyak berdoa dan bersyukur, bahkan untuk hal sekecil apa pun.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat.

R.

(Jakarta, 10 Mei 2013)

Kamis, 09 Mei 2013

"ATAS NAMA KEJUJURAN?"


Kadang ada tulisan-tulisan yang menggelitik benak saya, menantang perspektif saya hingga saya memutuskan untuk berkorespondensi dengan penulisnya:

Dear Mbak E,

Saya cukup tergelitik dengan editorial note Anda di C edisi 140. Jujur, masih sulit bagi saya untuk membantah kenyataan bahwa tak semua orang - baik PRIA maupun WANITA - sanggup menerima kejujuran, sepahit apa pun itu disampaikan. Sama halnya dengan dibohongi. Kalau sampai ada yang menyangkal, bisa jadi mereka tengah berusaha menghibur diri sendiri atau lebih parah - tidak lagi peduli.

Jika ada yang bertanya mana pilihan saya - baik sebagai perempuan maupun manusia - dengan jujur saya katakan: tidak keduanya. Saya tidak suka mulut yang berucap manis tapi tidak tulus. (Bersyukur saya sudah pernah bertemu orang-orang macam ini, hingga saya tahu bedanya - kurang lebih, hehe.) Kalau pun mereka memuji, ucapan terima kasih adalah yang paling netral yang bisa saya berikan.

Apakah kejujuran selalu lebih baik? Menurut saya, tergantung waktu, tempat, dan sosok yang kita hadapi. Nggak mungkin kita bilang bos kita payah, kecuali bila kita sudah cukup kaya-raya hingga tidak butuh pekerjaan lagi. Presiden saja bisa mengancam rakyatnya dengan hukuman penjara bila beliau tersinggung dengan "kejujuran" mereka.

Ada orang yang memang enggan menerima kejujuran kita - dan kita memang tidak bisa memaksa. Berlawanan dengan stereotipe gender yang terlanjur ada, saya lihat bahkan pria pun sulit menerima kejujuran - bahkan yang sudah disampaikan dengan sehalus mungkin. (Baca = berusaha tidak terlalu menyakitkan dan minus kata makian.) Standar ganda yang menggelikan, memang. (Tak perlu mendebat hal ini dengan teman-teman pria, Mbak, karena pasti mereka akan membantah mati-matian dengan jutaan alasan yang mereka anggap "logis".) Si macho merasa wajar berucap jujur bahkan meski menyakitkan. Eh, saat situasi berbalik, egonya malah terusik. (Bahkan kalau perlu, kultur dibawa-bawa lewat kata-kata bahwa "perempuan harus bertutur lebih sopan dari lelaki, karena memang demikian adanya." Haha, entah dimana logikanya.)

Saya lebih suka ucapan jujur disertai solusi atas masalah yang mungkin mereka anggap ada pada saya. ("Jangan pakai baju itu, kamu kelihatan lebih gemuk. Mending pakai yang ini, karena kamu akan terlihat lebih rapi dan gaya.") Memang, tidak pernah ada manusia sempurna. Menurut saya, tidak ada gunanya ucapan jujur bila tanpa saran berarti (alias hanya mengkritik.) Seperti percakapan saya dengan lelaki yang dulu pernah saya cintai:

Dia: "Menurut kamu, aku lebih bagus punya brewok atau cukuran?"

Saya: "Cukur saja, karena kamu lebih kelihatan muda dan segar. Brewok bikin kamu kelihatan tua dan sedih!"

Sejam setelah percakapan di YM, dia email foto terbarunya dengan wajah mulus yang sedang tersenyum!

Apa gunanya jujur bila hanya untuk menyakiti, karena tanpa memberi solusi berarti? Apalagi bila pilihan waktu, tempat, hingga ucapan tidak tepat. Bukankah pada dasarnya kita enggan dihakimi, meski - celakanya! - kita hobi menghakimi, bahkan untuk sesuatu yang belum tentu kita mengerti? Meskipun ucapan kita terbukti benar, belum tentu kita akan mendapatkan simpati, pujian, atau bahkan permintaan maaf (dari mereka yang pernah tidak menerima kejujuran kita). Mereka tidak akan mendengarkan bila kita menyampaikannya dengan cara kasar. Apalagi bila keputusan mereka tak ada hubungannya dengan kita, bahkan bila mereka orang terdekat sekalipun.

Memang tidak semua bisa dipukul rata. Setiap orang berbeda. Demi menghemat tenaga, saya hanya berusaha yang terbaik dan tidak terlalu ambil pusing atas semua hal. Dengarkan yang perlu-perlu saja. Sisanya ikuti insting. Kalau pun pilihan saya salah, toh hanya saya yang menanggungnya. Kita memang tidak selalu bisa menyenangkan semua orang, baik dengan "sweet-nothings" maupun kejujuran. Tapi selalu ada cara untuk bikin diri sendiri bahagia.

Terima kasih atas waktu membacanya, Mbak. Maaf mengganggu kesibukan Anda. Saya hanya ingin berbagi perspektif saya.

R.

Entahlah. Seperti biasa, saya bisa saja benar - atau salah. Selalu ada ruang untuk dua kemungkinan itu...

R.