Entah siapa atau apa yang
harus kusalahkan. Mungkin tidak ada. Dua tahun kita bekerjasama dan saling
mengenal, baru kali ini rasa itu datang. Rasa yang datang terlambat.
Rasa cinta...
Mengapa terlambat? Sederhana
saja: rasa cinta ini baru muncul saat sebentar lagi kau akan pergi. Ya, kau
yang telah lama lelah dan muak dengan hiruk-pikuk ibukota ini. Macetnya,
banjirnya, hingga polusinya yang sempat membuatmu terserang radang tenggorokan
parah. Celakanya, saat kau pulang ke negaramu dan berobat ke dokter di sana,
dokter itu sampai menyuruhmu berhenti merokok.
Padahal, kita berdua tahu
bahwa kau tidak pernah merokok. Tidak seperti almarhum ayahku yang kemudian
berakhir menutup usianya akibat stroke. Kau salah satu orang tersehat yang
pernah kukenal, bahkan jauh lebih sehat dariku. Sudah tak terhitung berapa kali
kau menggantikanku di tempat kerja, bahkan sebelum aku memintanya. Katamu aku
tak perlu merasa bersalah karena telah merepotkanmu.
Kurasa aku tidak berlebihan
bukan, bila kusebut kau sebagai pahlawanku?
Terus terang, saat kau
memberitahuku mengenai keinginanmu untuk pindah kerja ke Pulau Dewata mulai
akhir tahun ini, aku gamang. Setelah itu, aku sempat menangis di kamarku malam
itu hingga jatuh tertidur. Butuh waktu cukup lama untuk menyadari sesuatu:
Aku
tidak ingin kehilanganmu...
“Main-main ya, ke Bali,”
ajakmu waktu itu. Meski kuiyakan, kusadari bahwa semuanya akan berbeda
nantinya. Tak ada lagi acara meminjam buku-buku darimu, membahas
penulis-penulis favorit kita, hingga diam-diam menikmati pesona mata biru dan
senyum hangatmu. Ah, begitu cepatnya waktu berlalu...
“Kau harus memberitahunya
mengenai perasaanmu.” Begitu saran para sahabatku. Jujur, aku takut. Takut
sekali. Aku begitu menghormatimu hingga khawatir kau akan menertawakanku...atau
menganggapku terlalu agresif dan mengerikan. Namun, mereka tak henti
menyemangatiku.
“Yang penting dia tahu dulu,”
kata mereka. “Perkara dia merasakan yang sama atau tidak, itu urusan
belakangan.”
Ah, sudahlah. Daripada aku
mati penasaran, lebih baik kucoba. Karena masih tidak berani mengatakannya
langsung di hadapanmu, kutinggalkan surat itu di mejamu. Andai kau menolakku,
semoga kau tidak melakukannya di depan orang lain – atau bahkan dengan kasar
hingga aku malu.
Tak lama, tiba juga saat
itu. Malam itu, kita berjalan bersama, karena tujuan pulang kita searah. Kau
tidak keberatan mengantarku duluan.
“Aku sudah baca.” Deg! Jantungku berdebar-debar keras,
namun kau hanya tersenyum hangat padaku saat berkata:”Terima kasih, ya.”
“Oke.”
“Tapi maaf, aku lagi nggak
mikirin itu.”
“Nggak apa-apa.” Aku balas
tersenyum, meski ada segores pedih di hatiku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.
Kita harus realistis.
Tak semua mampu menjalani
hubungan jarak jauh...
yang penting sudah lega karena sudah memberitahukan perasaan. kalau ditolak, cari yang baru aja. hehehe. :)
BalasHapusGugur satu tumbuh seribu ^^
BalasHapusAndai saja cowok itu bunga, lucu juga kali, ya. #eh
HapusAndai saja cowok itu bunga, lucu juga kali, ya. #eh
Hapuscinta tak terbalas atau cinta tertunda???
BalasHapusPertanyaan bagus itu.
HapusNaksir ada Bos, ea?
BalasHapusHehe.
HapusBetul itu.
BalasHapusYa, kalau sudah tahu nggak mampu, tak usah dipaksakan. :)
BalasHapusMemang benar.
Hapus