Baru
Kamis malam kemarin saya berbincang-bincang dengan salah satu rekan dalam Klub
Menulis kami sebelum pertemuan klub dimulai. Berawal dari pembahasan tentang “persiapan” (topik diskusi dan tulisan
kami malam itu), obrolan berlanjut ke menulis fiksi versus non-fiksi...hingga
tentang persiapan itu sendiri.
Lumrahnya manusia, kita lebih siap
menerima sesuatu yang indah dan menyenangkan. Kita lebih sudi mendengar kabar
baik. Kalau bisa, kabar buruk tidak usah ada saja sekalian. (Maunya!)
Bagaimana dengan kehilangan, seperti
harus melepaskan, merelakan, atau bahkan – yang paling kasar – membuang sesuatu?
Semua orang pernah kehilangan, baik
berupa barang atau seseorang. Uang, mainan, pekerjaan, teman, pasangan...sebut
saja. Ada juga yang ekstrim, sampai mengalami krisis identitas gara-gara
kehilangan jati diri. (Kalau bisa jangan sampai, ya!) Sebabnya beragam, mulai
dari sekedar teledor, memang tak pedulian, hingga...ya, takdir. Orang paling
hati-hati pun masih bisa tersandung. Orang paling baik dan sabar pun masih bisa
khilaf. Ya, lagi-lagi namanya juga manusia biasa.
Reaksi tiap orang dalam menghadapi
kehilangan mereka beragam, tergantung tingkat keparahan masalah hingga
keteguhan pribadi masing-masing. Ada yang tidak siap dan habis-habisan menolak
kenyataan. Ada yang masih dalam tahap ‘berusaha
rela’, meski sebenarnya belum ikhlas-ikhlas amat dan bahkan sedihnya bukan
kepalang.
Yang benar-benar – asli 100% -
ikhlas? Semoga banyak juga. Bila Anda termasuk salah satunya, bersyukurlah.
Berarti Anda masih ingat Tuhan dan dapat berbahagia meski telah kehilangan.
Seperti biasa, manusia hanya bisa berusaha.
Saya juga pernah kehilangan. Kalau
ditanya mana yang paling berat, mungkin ini jawaban saya:
Ditinggal
mati sosok tersayang...
Kehilangan
uang memang menyebalkan. (Saya sudah pernah dua kali kecopetan!) Namun, selama
masih hidup dan mampu bekerja (alias tidak sampai harus tergantung secara penuh
pada belas-kasihan orang lain), insya Allah rezeki masih bisa dicari.
Kehilangan teman? Memang tidak enak juga, sih. Tapi, memang ada hal-hal di luar
kontrol kita, apa pun usaha kita dan apa pun penyebab renggangnya atau bahkan
putusnya persahabatan. (Ini kata salah satu sahabat saya.) Kalau pacar atau
sekedar cinta? Hmm, jangan-jangan mereka memang belum atau bahkan bukan jodoh
Anda. Sedih memang, tapi bagaimana bila sebenarnya Tuhan telah menyelamatkan
Anda? Perasaan tidak bisa dipaksa. Lagipula, hanya Dia yang Maha Tahu
Segalanya.
Memang, pada akhirnya kematian akan
menghampiri kita semua. Yang terberat bukan hanya kesadaran bahwa kita takkan
pernah bersama mereka lagi selama sisa hidup kita di dunia ini. Tawa, canda,
amarah, dan bahkan air mata mereka – semua tinggal memori.
Pasti banyak sekali yang belum
sempat kita lakukan untuk mereka selama masih hidup. Apakah kita sudah cukup
membahagiakan mereka? Apakah mereka sudah memaafkan semua kesalahan kita, baik
yang disengaja maupun tidak?
Semoga.
Hanya itu yang menjadi harapan kita.
Selalu ada pelajaran tentang
kehilangan. Tak ada yang abadi. Hidup ini hanya ilusi. Semoga lain kali kita
akan lebih berhati-hati dan kesalahan serupa tak lagi diulangi.
Semoga kita semua masih diberi
kekuatan untuk bersabar dan kemampuan untuk bersyukur atas semua hal yang masih
kita miliki...saat ini. Besok-besok belum tentu ada lagi.
R.
(Jakarta, 12 Juni 2015 – 12:05)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar