Sabtu, 20 Juni 2015

"SAAT MANUSIA TAK SELALU SEPEMAAF ITU..."

Mohon maaf bila judul di atas tidak bernada positif sama sekali. Realita memang bisa sangat menyakitkan.
            Sudah lazim bila sebelum berpuasa, kita (yang merayakannya, tentu saja) saling bermaaf-maafan. Lazim juga bila kemudian kita melakukan ritual serupa saat merayakan Idul Fitri, terutama dengan harapan agar jiwa kita dapat kembali fitri, sesuci bayi yang baru lahir. Insya Allah dan aamiin ya rabbal ‘aalamiin.
            Pada kenyataannya, seberapa tuluskah ucapan ‘maaf’ dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’di mulut kita? Isi hati tidak pernah ada yang benar-benar tahu.
            Katanya sih, sudah dimaafkan. Berarti semestinya masalah yang lalu sudah (dianggap) selesai dong, alias sudah nggak perlu diungkit-ungkit lagi – apalagi sampai jadi bahan perdebatan segala. Ngapain? Bila itu sampai terjadi, maka ada kemungkinan salah satu pihak tidak puas (atau tidak ikhlas?) dengan cara masalah itu telah diselesaikan. (Harusnya) masih bisa dibicarakan baik-baik, bukan? Tidak perlu saling cela (lagi?) dan bahkan saling serang, apalagi dengan kata-kata kasar segala. Apa iya, yang namanya jujur itu harus selalu demikian, tanpa memikirkan perasaan orang lain? Bagaimana bila Anda yang berada di posisi mereka dan menerima semua cercaan? Enak, nggak?
            Memang, masa lalu tidak mudah dilupakan. Namun, jangan biarkan masa lalu (terutama yang paling kelam sekali pun) lantas menghambat langkah kita ke depan. Jangan pula menggunakan masa lalu kelam orang lain untuk menghambat atau bahkan mencela niat dan usaha mereka untuk memperbaiki diri.
            Mengapa? Bukankah Tuhan Maha Pengampun? Apalagi bila seseorang benar-benar menyadari semua kesalahan mereka dan berusaha keras agar tidak mengulanginya lagi. Sayang sekali, sesama manusia tak selalu sepemaaf itu. Kadang mereka malah bisa lebih kejam menghukum sesama, bahkan untuk kesalahan paling kecil pun dan tak peduli yang bersalah sudah bertobat. Mengapa? Entahlah. Mungkin mereka begitu dibutakan oleh amarah dan dendam mereka.
            Mungkin juga mereka percaya bahwa hal itu takkan pernah terjadi pada mereka. Mungkin mereka percaya bahwa mereka terlalu baik untuk itu, bahwa mereka sendiri takkan pernah khilaf dan tergelincir ke dalam dosa.
            Semoga saja tidak. Semoga saja mereka masih berbesar hati untuk tidak menutup kesempatan bagi orang lain untuk memperbaiki diri. Bayangkan orang yang sudah menyesali kesalahan mereka, namun masih dihukum dan dihakimi terus-terusan dengan sedemikian rupa karena masa lalu mereka? Bisa-bisa mereka terlanjur apatis dan terus mengasihani diri sendiri atau jadi enggan memperbaiki diri. Yang terparah: kalau tidak kuat iman, mereka bisa stres dan bunuh diri!
            Jika itu yang terjadi, apa untungnya bagi kita? Kita merasa senang, bangga karena bisa ikut menghukum dan melaknat si ‘pendosa’, bahkan meski mereka telah menyesal dan sudah berusaha bertobat? Kita merasa berjasa karena telah ‘membenarkan yang salah’?
            Bukankah ujian dari Tuhan bisa berupa apa saja? Bahkan kita pun diuji dengan banyak kebaikan. Apakah kita lantas akan menjadi sombong karenanya, menilai diri jauh lebih baik dan bahkan lebih suci dari yang lain? Memandang orang lain dengan sorot mencela dan merendahkan, entah karena mereka berbeda atau pilihan hidup mereka yang (menurut kita) salah? Diam-diam terus membicarakan keburukan mereka dengan orang lain, seakan-akan tidak ada kegiatan lain yang jauh lebih berguna – atau hal yang sama tidak mungkin akan terjadi pada kita?
            Memang, ada juga yang tidak kapok-kapok mengulangi kesalahan serupa, sadar tidak sadar. Kesal? Tidak suka? Marah? Wajar saja. Sayang sekali, tidak semua harus sesuai maunya kita. Inilah hidup. Merasa bahwa semua itu tidak adil? Berani protes sama Tuhan? Silakan. Terserah kita.
            Jika Anda memilih untuk tidak mau percaya atau bahkan berurusan lagi dengan sosok yang sudah terlanjur Anda cap sebagai si ‘pendosa’ (baca: mengucilkan) – bahkan meski dia sudah meminta maaf dan memperbaiki diri, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa Anda untuk berteman atau berbaik-baik dengan mereka. Cukup tidak usah saling mengganggu saja dan tanggung resiko pilihan masing-masing. (Harusnya) mudah, ‘kan?
            Mungkin juga, lagi-lagi...kita harus belajar untuk tidak usah terlalu ikut campur urusan pribadi orang lain – selama tidak sampai membahayakan nyawa siapa pun. (Beda cerita kalau kita menyaksikan kasus kekerasan atau menduga adanya penyiksaan dalam rumah-tangga seseorang.)
            Memang benar kata orang bijak: sejatinya hanya Tuhan Maha Pengampun. Makanya mereka selalu menyarankan agar kita bertobat dulu kepada-Nya sebelum meminta maaf kepada sesama. Mengapa? Harapan kita sama: agar Dia sudi mengampuni kita dan sudi melembutkan hati mereka (terutama yang sudah kita bikin merasa kesal, tidak suka, sakit hati, marah, dan lain sebagainya.)
            Bagaimana bila Anda berada di posisi orang (yang dianggap) ‘berdosa’, meski misalnya kesalahan Anda tidak sampai fatal membahayakan orang lain? Anda bisa tahan...atau malah mengemis-ngemis ampunan dan belas kasihan?
            Pernah membayangkan? Ingat, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan...terutama dalam hal membolak-balikkan hati manusia dan seisinya ibarat mendoan atau martabak (maaf, tiba-tiba tercetus dua makanan itu di benak saya)...
            Semoga ucapan ‘maaf’ dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’ tak sekedar ucapan belaka. Semoga dunia ini makin damai adanya. (Boleh ‘kan, berharap yang baik-baik?)

            R.

            (Jakarta, 18 Juni 2015 – 17:30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar