Mohon
maaf bila judul di atas tidak bernada positif sama sekali. Realita memang bisa
sangat menyakitkan.
Sudah lazim bila sebelum berpuasa,
kita (yang merayakannya, tentu saja) saling bermaaf-maafan. Lazim juga bila
kemudian kita melakukan ritual serupa saat merayakan Idul Fitri, terutama
dengan harapan agar jiwa kita dapat kembali fitri, sesuci bayi yang baru lahir.
Insya Allah dan aamiin ya rabbal
‘aalamiin.
Pada
kenyataannya, seberapa tuluskah ucapan ‘maaf’
dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’di
mulut kita? Isi hati tidak pernah ada yang benar-benar tahu.
Katanya sih, sudah dimaafkan.
Berarti semestinya masalah yang lalu sudah (dianggap) selesai dong, alias sudah
nggak perlu diungkit-ungkit lagi – apalagi sampai jadi bahan perdebatan segala.
Ngapain? Bila itu sampai terjadi, maka ada kemungkinan salah satu pihak tidak
puas (atau tidak ikhlas?) dengan cara masalah itu telah diselesaikan.
(Harusnya) masih bisa dibicarakan baik-baik, bukan? Tidak perlu saling cela
(lagi?) dan bahkan saling serang, apalagi dengan kata-kata kasar segala. Apa
iya, yang namanya jujur itu harus selalu demikian, tanpa memikirkan perasaan orang
lain? Bagaimana bila Anda yang berada di posisi mereka dan menerima semua
cercaan? Enak, nggak?
Memang, masa lalu tidak mudah
dilupakan. Namun, jangan biarkan masa lalu (terutama yang paling kelam sekali
pun) lantas menghambat langkah kita ke depan. Jangan pula menggunakan masa lalu
kelam orang lain untuk menghambat atau bahkan mencela niat dan usaha mereka
untuk memperbaiki diri.
Mengapa? Bukankah Tuhan Maha
Pengampun? Apalagi bila seseorang benar-benar menyadari semua kesalahan mereka
dan berusaha keras agar tidak mengulanginya lagi. Sayang sekali, sesama manusia
tak selalu sepemaaf itu. Kadang mereka malah bisa lebih kejam menghukum sesama,
bahkan untuk kesalahan paling kecil pun dan tak peduli yang bersalah sudah
bertobat. Mengapa? Entahlah. Mungkin mereka begitu dibutakan oleh amarah dan
dendam mereka.
Mungkin juga mereka percaya bahwa
hal itu takkan pernah terjadi pada mereka. Mungkin mereka percaya bahwa mereka
terlalu baik untuk itu, bahwa mereka sendiri takkan pernah khilaf dan tergelincir ke dalam dosa.
Semoga saja tidak. Semoga saja
mereka masih berbesar hati untuk tidak menutup kesempatan bagi orang lain untuk
memperbaiki diri. Bayangkan orang yang sudah menyesali kesalahan mereka, namun
masih dihukum dan dihakimi terus-terusan dengan sedemikian rupa karena masa
lalu mereka? Bisa-bisa mereka terlanjur apatis dan terus mengasihani diri
sendiri atau jadi enggan memperbaiki diri. Yang terparah: kalau tidak kuat
iman, mereka bisa stres dan bunuh diri!
Jika itu yang terjadi, apa untungnya
bagi kita? Kita merasa senang, bangga karena bisa ikut menghukum dan melaknat
si ‘pendosa’, bahkan meski mereka
telah menyesal dan sudah berusaha bertobat? Kita merasa berjasa karena telah ‘membenarkan yang salah’?
Bukankah ujian dari Tuhan bisa
berupa apa saja? Bahkan kita pun diuji dengan banyak kebaikan. Apakah kita
lantas akan menjadi sombong karenanya, menilai diri jauh lebih baik dan bahkan
lebih suci dari yang lain? Memandang orang lain dengan sorot mencela dan
merendahkan, entah karena mereka berbeda atau pilihan hidup mereka yang
(menurut kita) salah? Diam-diam terus membicarakan keburukan mereka dengan
orang lain, seakan-akan tidak ada kegiatan lain yang jauh lebih berguna – atau hal
yang sama tidak mungkin akan terjadi pada kita?
Memang, ada juga yang tidak
kapok-kapok mengulangi kesalahan serupa, sadar tidak sadar. Kesal? Tidak suka?
Marah? Wajar saja. Sayang sekali, tidak semua harus sesuai maunya kita. Inilah
hidup. Merasa bahwa semua itu tidak adil? Berani protes sama Tuhan? Silakan.
Terserah kita.
Jika Anda memilih untuk tidak mau
percaya atau bahkan berurusan lagi dengan sosok yang sudah terlanjur Anda cap
sebagai si ‘pendosa’ (baca: mengucilkan) – bahkan meski dia sudah
meminta maaf dan memperbaiki diri, itu terserah Anda. Tidak ada yang memaksa
Anda untuk berteman atau berbaik-baik dengan mereka. Cukup tidak usah saling
mengganggu saja dan tanggung resiko pilihan masing-masing. (Harusnya) mudah, ‘kan?
Mungkin juga, lagi-lagi...kita harus
belajar untuk tidak usah terlalu ikut campur urusan pribadi orang lain – selama
tidak sampai membahayakan nyawa siapa pun. (Beda cerita kalau kita menyaksikan
kasus kekerasan atau menduga adanya penyiksaan dalam rumah-tangga seseorang.)
Memang benar kata orang bijak:
sejatinya hanya Tuhan Maha Pengampun. Makanya mereka selalu menyarankan agar
kita bertobat dulu kepada-Nya sebelum meminta maaf kepada sesama. Mengapa?
Harapan kita sama: agar Dia sudi mengampuni kita dan sudi melembutkan hati
mereka (terutama yang sudah kita bikin merasa kesal, tidak suka, sakit hati,
marah, dan lain sebagainya.)
Bagaimana bila Anda berada di posisi
orang (yang dianggap) ‘berdosa’,
meski misalnya kesalahan Anda tidak sampai fatal membahayakan orang lain? Anda
bisa tahan...atau malah mengemis-ngemis ampunan dan belas kasihan?
Pernah membayangkan? Ingat, tidak
ada yang mustahil bagi Tuhan...terutama dalam hal membolak-balikkan hati
manusia dan seisinya ibarat mendoan atau martabak (maaf, tiba-tiba tercetus dua makanan itu di benak saya)...
Semoga ucapan ‘maaf’ dan ‘memaafkan’ / ‘dimaafkan’
tak sekedar ucapan belaka. Semoga dunia ini makin damai adanya. (Boleh ‘kan,
berharap yang baik-baik?)
R.
(Jakarta, 18 Juni 2015 – 17:30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar