“Great minds discuss
ideas; average minds discuss events; small minds discuss people.”
Kecuali
Anda mendapat mandat dari negara untuk memata-matai target yang dianggap
berpotensi membahayakan bangsa. Kalau lagi nggak ada apa-apa, alias damai-damai
saja – ngapain? Apa untungnya bagi Anda? Nggak capek apa?
Jangan-jangan
Anda sendiri sebenarnya masih kurang sibuk. Logikanya, jika Anda banyak-banyak
menyibukkan diri (apalagi dengan kegiatan-kegiatan yang Anda suka dan jauh
lebih berguna), maka Anda tidak akan punya waktu luang lagi buat terlalu ‘kepo’, alias usil mencampuri urusan
hidup orang lain. Energi Anda pasti juga akan terkuras banyak!
Oke,
mungkin pada dasarnya kita semua punya rasa penasaran akan segala sesuatu.
Apalagi dengan era social media sekarang,
dimana kita dapat lebih leluasa ‘mengintip’
kehidupan orang lain – baik keluarga, teman, sahabat, pacar, hingga...hehe,
rival atau mantan sekalian. (Penting banget, ya?) Kecuali...yah, kalau yang
punya akun tidak sudi Anda ‘intip-intip’ terlalu
dalam, hingga memakai setting-an
tertentu agar hanya orang-orang yang dia pilih saja yang bisa melihat. (Baca:
orang-orang ‘kepercayaan’.) Nggak
perlu terlalu sensi juga, itu ‘kan haknya mereka. Anda pasti juga enggan ‘kan,
dimata-matai oleh sosok yang belum tentu berkenan di hati Anda? Lain cerita
kalau Anda tidak peduli.
Ada
juga sih, yang memilih untuk tidak punya akun di situs social media mana pun. Rempong, menurut mereka. Urusan dunia nyata
saja sudah cukup ribet, tanpa harus menambah kemungkinan drama di social media!
Sebenarnya
(lagi-lagi nih, ya!), nggak ada yang salah dengan social media. Kalau tujuannya hanya ingin tahu kabar
sanak-saudara/teman/pasangan di luar kota/negeri (entah lewat posting foto-foto
atau update status), ya nggak masalah. Apalagi kalau kebetulan yang punya akun
sama sekali tidak keberatan dimata-matai. Hitung-hitung menambah
penggemar...he...he...he...he...!
Yang
berpotensi memancing keributan alias drama yang nggak perlu adalah saat Anda
getol ingin ‘mengorek-ngorek’ informasi
lebih dalam seputar target Anda. (Baca: sengaja mencari-cari ‘cacat’ atau kesalahan si target.)
Lalu,
biasanya apa yang akan Anda lakukan dengan informasi tersebut? Kalau hanya
untuk disimpan sendiri, nggak masalah. (Lagipula, ngapain juga?) Lain lagi
kalau Anda lantas bercerita kemana-mana – dengan tujuan agar semakin banyak
yang tahu mengenai ‘cacat’ orang yang
Anda bicarakan!
Mungkin
sebelum melakukan hal tersebut, Anda harus banyak-banyak merenung sambil
menjawab dua pertanyaan sederhana di bawah ini:
Untuk apa? Apa
untungnya bagi Anda?
Memang
ada kasus-kasus tertentu yang membuat kita terpaksa menempuh jalan yang
demikian, itu pun biasanya yang berkaitan dengan masalah hukum dan keselamatan
nyawa orang banyak. Misalnya: teman yang sudah Anda percaya meminjam uang dalam
jumlah banyak (bisa jutaan atau milyaran rupiah, entah untuk bisnis apa.) Saat
harus mengembalikannya (sesuai perjanjian yang telah kalian sepakati), dia
malah kabur dan menghilang – berusaha agar tidak pernah dilacak lagi.
Atau
Anda yakin bahwa orang yang Anda bicarakan itu berpotensi membahayakan nyawa
orang lain, meski Anda juga tetap harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung
dan melibatkan aparat hukum. (Meski skeptis mampus dengan korupsi yang sudah
lama merusak negeri ini, sayangnya kita tetap tidak boleh main hakim sendiri!)
Masalahnya, tanpa bukti-bukti yang cukup mendukung, salah-salah Anda malah
dituduh memfitnah. Repot, ‘kan?
Kalau
alasannya hanya dendam pribadi, ayolah. Jangan samakan hidup ini dengan drama
Korea. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Membalas dengan cara yang sama –
atau bahkan lebih buruk lagi – tidak menjamin Anda akan benar-benar berbahagia
dalam hidup Anda sendiri.
Kalau
hanya untuk bahan obrolan? (Baca: gosip!) Hmm, lebih baik pikir-pikir lagi deh,
apalagi bila ternyata hanya itu bahan andalan Anda untuk mengobrol dengan orang
lain. Ingat, bahkan sahabat terdekat Anda pun tetap manusia biasa. Mereka bisa
juga kok, bosan dan kehilangan kesabaran.
Apakah
Anda sudi, bila giliran Anda yang dijadikan bahan omongan – dalam konteks
negatif pula? Rasanya tidak ada yang sudi, apa pun alasan atau kesalahan tiap
orang. Lagipula, memang ini ibarat semut di seberang lautan terlihat jelas –
sementara gajah di pelupuk mata malah tidak kelihatan. (Atau malah memang
sengaja dianggap tidak ada?) Untuk apa kita getol mencari-cari dan lalu
membicarakan keburukan orang lain, kalau diri sendiri juga masih banyak
kekurangan? Sebagai perbandingan? Mau sampai kapan?
Benarkah
kita akan bahagia karenanya?
R.
(Jakarta,
18 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar