Kamis, 19 Maret 2015

“SULITNYA BERHENTI ‘KEPO’ (USIL/IKUT-CAMPUR URUSAN HIDUP ORANG LAIN)”

“Great minds discuss ideas; average minds discuss events; small minds discuss people.”

Kecuali Anda mendapat mandat dari negara untuk memata-matai target yang dianggap berpotensi membahayakan bangsa. Kalau lagi nggak ada apa-apa, alias damai-damai saja – ngapain? Apa untungnya bagi Anda? Nggak capek apa?
Jangan-jangan Anda sendiri sebenarnya masih kurang sibuk. Logikanya, jika Anda banyak-banyak menyibukkan diri (apalagi dengan kegiatan-kegiatan yang Anda suka dan jauh lebih berguna), maka Anda tidak akan punya waktu luang lagi buat terlalu ‘kepo’, alias usil mencampuri urusan hidup orang lain. Energi Anda pasti juga akan terkuras banyak!
Oke, mungkin pada dasarnya kita semua punya rasa penasaran akan segala sesuatu. Apalagi dengan era social media sekarang, dimana kita dapat lebih leluasa ‘mengintip’ kehidupan orang lain – baik keluarga, teman, sahabat, pacar, hingga...hehe, rival atau mantan sekalian. (Penting banget, ya?) Kecuali...yah, kalau yang punya akun tidak sudi Anda ‘intip-intip’ terlalu dalam, hingga memakai setting-an tertentu agar hanya orang-orang yang dia pilih saja yang bisa melihat. (Baca: orang-orang ‘kepercayaan’.) Nggak perlu terlalu sensi juga, itu ‘kan haknya mereka. Anda pasti juga enggan ‘kan, dimata-matai oleh sosok yang belum tentu berkenan di hati Anda? Lain cerita kalau Anda tidak peduli.
Ada juga sih, yang memilih untuk tidak punya akun di situs social media mana pun. Rempong, menurut mereka. Urusan dunia nyata saja sudah cukup ribet, tanpa harus menambah kemungkinan drama di social media!
Sebenarnya (lagi-lagi nih, ya!), nggak ada yang salah dengan social media. Kalau tujuannya hanya ingin tahu kabar sanak-saudara/teman/pasangan di luar kota/negeri (entah lewat posting foto-foto atau update status), ya nggak masalah. Apalagi kalau kebetulan yang punya akun sama sekali tidak keberatan dimata-matai. Hitung-hitung menambah penggemar...he...he...he...he...!
Yang berpotensi memancing keributan alias drama yang nggak perlu adalah saat Anda getol ingin ‘mengorek-ngorek’ informasi lebih dalam seputar target Anda. (Baca: sengaja mencari-cari ‘cacat’ atau kesalahan si target.)
Lalu, biasanya apa yang akan Anda lakukan dengan informasi tersebut? Kalau hanya untuk disimpan sendiri, nggak masalah. (Lagipula, ngapain juga?) Lain lagi kalau Anda lantas bercerita kemana-mana – dengan tujuan agar semakin banyak yang tahu mengenai ‘cacat’ orang yang Anda bicarakan!
Mungkin sebelum melakukan hal tersebut, Anda harus banyak-banyak merenung sambil menjawab dua pertanyaan sederhana di bawah ini:
Untuk apa? Apa untungnya bagi Anda?
Memang ada kasus-kasus tertentu yang membuat kita terpaksa menempuh jalan yang demikian, itu pun biasanya yang berkaitan dengan masalah hukum dan keselamatan nyawa orang banyak. Misalnya: teman yang sudah Anda percaya meminjam uang dalam jumlah banyak (bisa jutaan atau milyaran rupiah, entah untuk bisnis apa.) Saat harus mengembalikannya (sesuai perjanjian yang telah kalian sepakati), dia malah kabur dan menghilang – berusaha agar tidak pernah dilacak lagi.
Atau Anda yakin bahwa orang yang Anda bicarakan itu berpotensi membahayakan nyawa orang lain, meski Anda juga tetap harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung dan melibatkan aparat hukum. (Meski skeptis mampus dengan korupsi yang sudah lama merusak negeri ini, sayangnya kita tetap tidak boleh main hakim sendiri!) Masalahnya, tanpa bukti-bukti yang cukup mendukung, salah-salah Anda malah dituduh memfitnah. Repot, ‘kan?
Kalau alasannya hanya dendam pribadi, ayolah. Jangan samakan hidup ini dengan drama Korea. Serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Membalas dengan cara yang sama – atau bahkan lebih buruk lagi – tidak menjamin Anda akan benar-benar berbahagia dalam hidup Anda sendiri.
Kalau hanya untuk bahan obrolan? (Baca: gosip!) Hmm, lebih baik pikir-pikir lagi deh, apalagi bila ternyata hanya itu bahan andalan Anda untuk mengobrol dengan orang lain. Ingat, bahkan sahabat terdekat Anda pun tetap manusia biasa. Mereka bisa juga kok, bosan dan kehilangan kesabaran.
Apakah Anda sudi, bila giliran Anda yang dijadikan bahan omongan – dalam konteks negatif pula? Rasanya tidak ada yang sudi, apa pun alasan atau kesalahan tiap orang. Lagipula, memang ini ibarat semut di seberang lautan terlihat jelas – sementara gajah di pelupuk mata malah tidak kelihatan. (Atau malah memang sengaja dianggap tidak ada?) Untuk apa kita getol mencari-cari dan lalu membicarakan keburukan orang lain, kalau diri sendiri juga masih banyak kekurangan? Sebagai perbandingan? Mau sampai kapan?
Benarkah kita akan bahagia karenanya?

R.

(Jakarta, 18 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar