Jumat, 21 Juni 2013

"SUKA-SUKA"

"Kok lo jadi sewot gitu, sih? Suka-suka gue, dong!"

Pasti kita pernah mendengar ucapan keras macam ini. Biasanya yang ngomong tengah defensif karena: a.) merasa urusan pribadinya diusik; b.)sebenarnya juga hobi mencampuri urusan orang lain, tapi doyan menerapkan 'standar ganda'. Entah egois, munafik, atau mungkin keduanya.

Akhir-akhir ini, sangat sulit bagi saya untuk mengacuhkan kenyataan ini. Dari kecil contohnya sudah terlalu banyak. (Bahkan, kadang saya suka berlaku serupa dan tidak sadar, hehe.)

Dulu, ada beberapa orang dewasa atau sosok lebih tua yang sempat saya benci. (Serius!) Contoh: ada guru sekolah yang selalu marah-marah bila teman-teman sekelas saya yang laki-laki (kepergok) merokok. Beliau melarang keras, bahkan dengan bahasa kasar. Sayang, alasannya sungguh 'cetek' : anak sekolah TIDAK PANTAS merokok!

Ironisnya, guru ini sendiri merokok. Bahkan beliau tidak takut melakukannya di depan murid-murid. Saat ditegur, dengan enteng beliau menjawab kalau orang dewasa sudah sulit berubah. Enak benar!

Sejak itu, saya hanya ingin cepat-cepat dewasa. Di mata saya waktu itu, orang dewasa selalu bisa mengelak saat disalahkan - atau mencari-cari pembenaran dari yang mereka lakukan. Intinya, mereka hanya bisa menasihati, bukannya memulai dari diri sendiri sebagai contoh yang baik.

Itu baru satu. Terlalu banyak bila disebut semua. Anak-anak 'kesayangan'  yang rajin membantah orang tua saat ditegur bila mereka salah. "Suka-suka aku, dong!" Orang tua paling penyabar pun akhirnya menyerah, kalah. Jadilah anak-anak itu tumbuh dengan mentalitas semau mereka - ala preman!

Ada juga yang hobi menasehati, tapi malah melakukan hal yang sama - atau bahkan lebih buruk - dengan alasan: "Suka-suka saya!" (Asli, alasan yang jauh lebih 'hebat' dari guru saya waktu itu.) Yah, namanya juga pencinta standar ganda. Yang enak buat mereka dilakukan, tapi orang lain harap jangan ikutan!

Saya sudah lelah bersikap defensif. Daripada terus mengomel dengan kata-kata: "Suka-suka gue!" sama orang usil tapi tetap tidak didengar juga, lebih baik saya jadi pasif-agresif. Hanya diam dan menanggapi omongan nyinyir orang dengan ekspresi datar (kecuali bila menurut saya saran mereka masuk akal.)

"Suka-suka elo, deh."

Ada cara lain yang lebih halus dan sopan daripada mengucapkan kalimat itu dengan nada keki akibat sakit hati. Artinya bisa macam-macam. Ada yang lelah karena orang yang dinasehati tidak mau berubah. Ada yang muak dengan orang-orang yang usil dan sok tahu dengan hidup mereka. (Dengan kata lain, terserah mereka mau bilang hidup Anda payah. Toh, yang menjalani juga Anda - bukan mereka atau siapa pun!)

Ada yang lebih memilih menyingkir dalam diam, mengurung diri dalam dunia masing-masing. Percuma juga saling mendebat lagi.

Ya, suka-suka. Suka-suka lo, suka-suka gue. Nggak ada yang menang, karena nggak ada yang mau mengalah. Nggak ada konsensus yang bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah.

Hmm, ada kalanya kita harus (dipaksa) belajar tentang kenyataan berkali-kali. Belajar berbesar hati saat orang ogah kita nasihati. Belajar tutup kuping dan tidak terlalu peduli saat - menurut kita - orang terlalu usil mencampuri urusan pribadi kita. Toh, pada akhirnya semua orang bertanggung-jawab pada diri masing-masing.

Don't take everything way too personally. Life isn't always about you, as much as it isn't always about me. It can be about all of us - or even none of us. It depends...

R.

(Jakarta, 7 Juni 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar