Senin, 24 Juni 2013

"JUJUR (MESKI TAK SEENAK BUBUR KACANG IJO)"

"It's one thing to be honest. It's another to accept honesty. It's a rarity to do both equally."

Saya pernah iseng menulisnya untuk status FB beberapa waktu lalu. Sampai ada teman dari Kanada yang berkomentar singkat: "Truth." Kira-kira artinya begini:

"Jujur itu satu hal. Menerima kejujuran itu hal berbeda. Melakukan keduanya (apalagi secara imbang) adalah hal langka."

Mungkin ada yang akan menyebut saya (sok?) bijak. Biarlah, terserah. Seperti biasa, saya hanya manusia seperti mereka dan yang lainnya. Bisa benar, bisa salah. Tak ada yang sempurna.

Banyak dari kita yang mengakui lebih menyukai kejujuran. memang, jujur itu baik. Tak ada rahasia. Bohong itu dosa. Sesuai ajaran agama.

Jujur saja, seberapa jauh sih, kita menyukai kejujuran? Banyak yang mengaku, lebih baik menerima kejujuran - sepahit apa pun daripada kebohongan manis. Tapi banyak juga yang enggan jujur mengakui betapa menyakitkannya kejujuran itu sendiri.

Banyak juga yang menuduh kalau perempuan lebih suka dibohongi asal senang, sementara laki-laki bermulut kejam tanpa perasaan. Bagi saya, ini bukan perkara stereotipe gender. Ada perkara yang lebih besar lagi daripada itu.

"Gue 'kan cuma mau jujur sama elo!"

Pernah dengar protes macam ini? Mungkin dari sosok yang kita kenal, orang terdekat, mungkin? Mungkin karena orang itu merasa benar akan sesuatu, jadi enteng saja berkomentar atau memberi opini tentang kita - bahkan tanpa diminta. (Mungkin karena merasa sudah 'dekat' dan yakin kita nggak bakalan marah atau sakit hati, alias terima-terima saja.)

Memang, mereka hanya mau bersikap jujur. Bahkan, yang ekstrim pun sampai memilih berkata kasar (dengan dalih emosi dan kehabisan kesabaran karena merasa tidak didengar - serta lagi-lagi atas nama 'kejujuran'), karena menurut mereka lebih baik demikian ketimbang bersopan-santun tapi munafik.

Ironisnya, mereka justru tidak mudah menerima reaksi negatif lawan bicara atas kejujuran mereka yang 'tidak seenak bubur kacang ijo'. Reaksi wajar, toh? Tak semua orang harus tahan. Lagipula, memangnya kita bisa mengontrol reaksi lawan bicara sesuai kemauan kita?

Selain itu, ternyata mereka juga enggan diperlakukan sama. Standar ganda? Tentu saja. Hanya karena mereka (merasa) berhak melemparkan kejujuran seperti apa pun ke muka orang lain, bukan berarti mereka siap saat orang lain berlaku sama pada mereka. Biasanya mereka akan bersikap defensif atau malah pasif-agresif - alias diam seribu bahasa.

Memang, kejujuran tak selalu seenak bubur kacang ijo. Tapi, haruskah kejujuran itu selalu disampaikan dengan ucapan kasar? Bukankah selalu masih ada cara lain yang lebih elegan? Benarkah kejujuran selalu demi kebaikan - bukan sekedar mengobati ego yang terkoyak?

Benarkah hanya orang munafik yang selalu bersopan-santun?

Ada juga yang memilih menerima kejujuran orang lain dalam diam. Tidak ada timbal-balik. Mungkin mereka takut. Mungkin mereka merasa tidak ada gunanya, karena tahu lawan bicara belum tentu tahan menerima kejujuran. Daripada meributkan yang tidak perlu, mending diam. Mungkin kesannya pengecut, tapi sudah banyak yang kebablasan atas nama kejujuran. (Salah-salah bisa berbuntut tuntutan hukum, terutama akibat cuap-cuap sembarangan di media sosial.)

Dengan kata lain, cukup tahu saja. Tak semua masalah perlu diperpanjang, apalagi atas nama memenangkan ego. Bahkan, kalau bisa, tak semua harus jadi masalah.

Berapa banyak yang bisa melakukan keduanya - dengan imbang bila mungkin? Mana yang lebih mudah: berkata jujur atau menerima kejujuran? Apakah jujur selalu lebih baik?

Ada yang bilang, bila enggan - atau memang sedang tak sanggup - untuk selalu jujur, lebih baik diam. Tak perlu banyak bercerita. Toh, itu juga pilihan.

Jujur, buat saya lebih mudah menghabiskan semangkuk bubur kacang ijo. Nggak nyambung? Sebodo!

R.

(Jakarta, 15 Juni 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar