“Bukan urusan saya.”
Kadang masyarakat bisa jadi
sangat ‘lucu’. (Lucu dengan tanda
kutip, ya.) Suka nggak jelas gitu. Salah satunya dalam hal mencampuri urusan
pribadi orang lain – atau lebih memilih memikirkan diri sendiri.
Keduanya memang perlu, meski
pasti masih dalam takaran tertentu. Boleh bilang saya sinis (meski sebenarnya
saya punya alasan untuk itu), tapi kenyataannya memang begitu. Dua hal yang
saya sebut di atas sering ‘salah tempat’.
Maksudnya? Oh, ayolah. Contohnya banyak. Hal-hal kecil nan remeh diributin,
tapi masalah yang benar-benar nyata, serius, dan berbahaya – malah dicuekin.
Misalnya, pertanyaan-pertanyaan
seperti “Kapan kawin?” sama “Kok gendutan?” dan sejenisnya. Kalau
yang ditanya sampai kesal, itu wajar. Pasti karena bolak-balik tiap tahun yang
ditanya itu-itu terus, ibarat siaran ulang yang mungkin lama-lama bisa bikin
kita mau muntah saking muaknya. (Memang lebay
sih, tapi mereka juga yang mulai. Mana nggak kapok-kapok lagi!)
Yang makin ganggu, kalau kita
kesal, mereka malah tersinggung dan lantas menganggap kita sama sekali nggak
menghargai perhatian dan ekspresi ‘rasa
sayang’ mereka. Eh, halo? Kalau memang beneran sayang, harusnya nggak perlu
dong, bikin orang merasa jelek dan nggak berarti dengan komentar-komentar nggak
penting kayak gitu!
Ah, sudahlah. Seringnya,
orang-orang seperti itu takkan berhenti, bahkan meski sudah sadar bahwa toh,
hidup mereka sendiri juga belum tentu beres sejagat – boro-boro sempurna. Entah
diam-diam minder atau kurang kerjaan (atau mungkin keduanya?), pokoknya mereka
hobi kepo sama hidup dan urusan orang lain.
Lucunya, begitu saatnya memang
harus kepo, mereka malah cenderung mundur dan jadi tidak mau tahu – atau berlagak
tidak tahu. Contohnya, kasus kekerasan terhadap anak. Mungkin Anda pernah lewat
beberapa kali di rumah tetangga A, misalnya, dan kerap mendengar tangisan anak
kecil karena entah dimaki-maki orang tuanya dengan kalimat-kalimat ‘rawan sensor’ atau malah...hiii,
disiksa sampai babak-belur. (Kalau sudah begini, jangan heran kalau bullying makin marak dimana-mana!)
Biasanya, apa yang Anda lakukan?
Mungkin langsung memalingkan muka, pura-pura tidak tahu, atau buru-buru
menyingkir dari lokasi kejadian. Lalu Anda akan membicarakan kejadian itu
dengan orang lain, mungkin dengan yang Anda kenal. HANYA bicara. Atau malah,
berhenti sejenak untuk menonton. HANYA menonton. (Mungkin ada yang
menganggapnya live-show sinetron
gratisan! Nggak tahu juga, ya.)
Lalu, mengapa tidak ada yang
(berani?) bertindak lebih dari itu? Mungkin alasan-alasan di bawah ini termasuk
familiar:
“Bukan urusan saya. Lagipula nggak kenal juga.”
“Palingan anaknya yang nakal banget, sampai dihukum sama orang tuanya.”
“Ngeri, ah. Kok jadi orang tua kasar gitu, sih?”
Bagaimana kalau Anda mengenal
mereka? Mungkin berikut alasan-alasan lumrah yang keluar:
“Nggak, ah. Ntar dikatain sok ikut campur lagi!”
“Gue masih single. Ntar malah balik diserang:’Elo belum tau rasanya
ngurus anak. Tau apa sih, lo?’”
Banyak juga yang beralasan: “Nggak mau cari ribut”, lalu memilih
tutup mata dan telinga (serta hati, mungkin?) Pura-pura tidak tahu apa-apa,
bahkan kerap dengan alasan ‘enggan
membuka aib’ atau ‘menjaga kehormatan
keluarga’. (Entah kenapa, saya tidak mengerti. Mungkin saya juga terlalu
bebal untuk mengerti soal ini.)’
Itu pilihan juga. Percuma juga
saya memaksa. Lagipula, siapa sih, saya?
Oke, sekarang bayangkan
kemungkinan berikutnya:
Anak itu tumbuh menjadi
berandalan. Anda mungkin familiar dengan sosok bully di sekolah yang menjadi momok bagi siswa-siswi lain. Apalagi
bila anaknya lelaki dan terlanjur ‘termakan’
ajaran sang ayah yang abusive.
Begini cara lelaki sejati menyelesaikan masalah. Yang lain cuma cara banci.
Hanya begini kamu bisa dihormati, bahkan meski harus ditakuti.
Tak perlu membayangkan
kemungkinan yang terjadi saat anak itu dewasa. Jujur, saya sendiri ngeri.
Moga-moga sih, anak itu masih cukup kuat dan waras untuk membuat
pilihan-pilihan yang benar. Moga-moga sih, ada figur orang dewasa lain dalam
keluarganya yang masih lebih ‘waras’ dan
‘stabil’ untuk mendampingi.
Lagi-lagi, kita cenderung hanya
mengandalkan ‘moga-moga’ tanpa usaha
nyata. Mau sampai kapan? Sampai kemungkinan berikut ini terjadi?
Suatu hari Anda membaca koran
atau nonton berita kriminal di TV. Si anak yang jadi korban siksaan orang
tuanya akhirnya jadi ‘cacat’ (masih
ingat yang kehilangan kaki gara-gara sang ayah membaringkannya di rel kereta,
menunggu kereta lewat?) Atau malah...mati.
Gambaran mengerikan, bukan? Oke,
sebut saja saya paranoid, meski jelas-jelas sudah (TERLALU!) banyak contohnya.
Apalagi saat orang tua yang membunuh anaknya sendiri langsung pasang tampang
sedih di depan kamera (meski ada juga yang kelihatan kayak nggak merasa
bersalah sama sekali!) Entah beneran sedih atau sebelumnya sudah ‘latihan’ dulu.
Kalau sudah begini, apa reaksi
Anda? Mungkin paling banyak (hanya) bisa berkomentar: “Kasihan.” Kalau kenal? Anda pasti sedih. Berduka dengan nasib
korban, sekaligus menyumpahi si pelaku. Ada juga yang lantas menyalahkan
pasangannya: “Iih, kok mau-maunya kawin
ama orang kayak gitu? Anaknya jadi korban, deh!” Yah, bersyukurlah Anda
yang dikaruniai jodoh yang baik hati dan tidak hobi main pukul, apalagi sama
anak kecil. Lagipula, siapa juga yang mau dan bisa segera tahu? Seperti biasa,
tidak perlu sombong, lah!
Sayangnya, kita juga kerap lupa
akan hal ini:
Oke, pelaku kekerasan terhadap
anak memang kejam. Bagaimana dengan saksi mata yang tidak berbuat apa-apa, lalu
berdalih dengan alasan: “Maaf, itu bukan
urusan saya”? Apalagi bila kenal, baik dengan pelaku, korban, atau
keduanya. Bahkan, bukan tidak mungkin korban tengah menatap Anda saat ini,
meminta pertolongan.
Kepo sama urusan ‘cetek’ memang selalu paling gampang.
Makanya banyak pelakunya, tak peduli yang diusili ngomel-ngomel atau pasang
tampang jutek.
Namun, Anda pasti luar biasa bila
berani kepo untuk urusan yang jauh lebih ‘serius’.
Ya, resiko dikatai ‘usil’, ‘tukang ikut
campur’, ‘sok jagoan’, hingga ‘pahlawan
kesiangan’ akan selalu ada. Kan itu cara mereka memanipulasi pikiran Anda!
Karena, dengan begitu, siapa tahu Anda dapat menyelamatkan masa depan – maupun NYAWA
– seorang anak...HARI INI.
Semoga Anda cukup bernyali...
R.
(Jakarta, 11 Juli 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar