Kali ini saya terinspirasi
dari seorang rekan kerja yang belum lama saya kenal. Singkat cerita, dia baik,
lucu, dan...seorang ayah tunggal.
Ya, dia seorang ayah tunggal yang kerap merindukan putri
semata wayangnya setiap hari. Gadis kecilnya tinggal di kotanya para mojang
Pasundan yang udaranya masih sejuk mengundang...terutama kala malam. Hak asuh
sang anak jatuh ke tangan mantan istrinya sejak keduanya bercerai, meski
sesekali dia masih bisa mengunjungi putri mereka di kala akhir pekan. Maklum,
sang anak masih di bawah dua belas tahun. Selain itu, pekerjaan pun
mengharuskan sang ayah melakukan banyak perjalanan antar kota. Mungkin
terdengar klise bak film drama, tapi inilah kenyataan. Ini bisa terjadi pada
siapa saja, so please save your judgment
and keep it to yourselves.
Saya tidak akan mengungkit-ungkit perkara perceraian
mereka. Di sini, saya hanya melihat bahwa jarak kadang dibutuhkan sebagai
pengingat. Tak hanya bagi pelaku LDR (long-distant
relationship – alias hubungan jarak jauh), tapi bahkan untuk hubungan antar
teman dan keluarga.
“Ngapain jauh-jauh?
Di sini aja, dekat keluarga dan banyak teman yang kamu kenal biar nggak repot!”
Tentu saja. Tak hanya rasa sayang (yang sering berujung
pada perlindungan dan larangan yang berlebihan), budaya kerap dipakai sebagai
alasan untuk membatasi ruang-gerak seseorang. Tak semua orang Indonesia punya
budaya ‘merantau’ memang. Makin sedih
saya saat mengetahui masih banyak yang lebih mengizinkan anak lelaki merantau
ketimbang anak perempuan, lagi-lagi dengan alasan ‘keamanan’.
Tak hanya keluarga yang otoriter (atas nama rasa sayang,
menurut versi mereka), teman yang (terlalu) dominan dan kekasih yang (kelewat)
posesif pun juga berpotensi menghambat perkembangan kepribadian seseorang.
Tidak percaya? Terserah Anda. Bayangkan seseorang yang mengaku sangat sayang
pada Anda, tetapi lantas menjadikan ‘rasa
sayang’ itu sebagai hutang budi yang
harus Anda bayar seumur hidup. (Baca= dengan mengikuti semua kemauan mereka
tanpa syarat dan bantahan, seakan Anda hanyalah boneka tanpa pemikiran sendiri
dan merekalah pengatur hidup Anda.) Lupakan kata ‘ikhlas’, karena...jujur sajalah. Namanya juga manusia.
Ada kalanya kita memang berharap suatu ‘balasan’ dari orang yang (katanya) kita
sayangi dengan setulus hati. (Tenang, Anda tak perlu mengakui apa-apa pada
saya. Barusan hanya pernyataan retoris belaka.) Wajar. Yang jadi berbahaya
adalah saat kompromi dan respek hanya terus-terusan berjalan searah, hingga
lama-lama satu pihak merasa gerah dan sangat lelah. Anda harus menerima mereka
apa adanya sementara mereka mati-matian ingin mengubah Anda agar sesuai
keinginan mereka. Bagaimana rasanya? Saya berani bertaruh, belum tentu mereka
mau saat posisinya dibalik. Percayalah. Namanya juga standar ganda.
Seorang rekan dari luar negeri (yang menikahi orang
Indonesia) pernah berkomentar begini sambil tertawa ironis:
“Di Indonesia,
cita-cita anak masih ditentukan orang tua. Butuh kekuatan besar bagi sang anak
untuk teguh pada pendiriannya.”
Mungkin Anda akan keberatan – atau malah tersinggung,
dengan tulisan ini. Mungkin juga saya akan menerima beragam komentar yang
kurang-lebih bernada serupa:
“Kamu tahu apa,
sih? Punya anak sendiri saja juga belum!”
“Wajar dong, kita berharap balasan
saat telah melakukan segalanya untuk mereka? Memangnya kamu sendiri nggak gitu?
Nggak usah munafik, deh!”
Ouch.
Mungkin banyak yang merasa telah memenangkan sesuatu bila
berhasil membuat orang yang (katanya) mereka sayangi mengikuti semua maunya
mereka. Iya kalau orangnya ikhlas beneran. Kalau mereka tipe pasif-agresif?
Mungkin pada awalnya mereka bersabar mengikuti semua maunya Anda, lagi-lagi
atas nama rasa sayang / cinta / apalah. (Termasuk mengubah diri mereka, hanya
demi menyenangkan Anda.)
Sayang, saat kompromi hanya berjalan searah, tak semua
orang sesabar, sekuat, dan setoleran harapan Anda. Siap-siap saja saat mereka
tiba-tiba ‘meledak’ (bagai bom waktu
yang tanpa sadar Anda sendirilah pemicunya, akibat keengganan Anda untuk
gantian mendengarkan maunya mereka.) Atau bisa jadi tiba-tiba mereka berubah
pendiam di depan Anda – atau malah lenyap dari ‘peredaran’. Tinggal Anda yang bertanya-tanya kenapa tiba-tiba
ditinggal begitu saja. (Bahkan di saat seperti ini, masih banyak juga yang
berpikir: “Mereka kenapa, sih?” ketimbang:
“Aku salah apa, ya?”)
Tak pernah ada yang
ingin berpisah jauh dan lama dengan yang kita sayang. Bahkan rekan kerja saya
yang rajin bolak-balik mengunjungi putrinya berharap kalau suatu saat nanti –
entah kapan – sang anak bisa dan mau tinggal dengannya lebih lama.
Buat yang lebih beruntung dari teman saya, ingatlah: waktu lewat dengan cepat.Hanya karena
Anda bisa dekat dan melihat mereka setiap hari, tak berarti Anda lantas
menyepelekan keberadaan dan perasaan mereka. (“Dia anak baik dan selalu menurut, kok.” / “Suami/istri/pacarku selalu
pemaaf.” / “Ah, dia nggak bakalan kemana-mana, kok.”)
Tak ada yang tahu persis masa depan akan seperti apa.
Jika tiba saatnya berpisah, relakanlah dengan ikhlas dan doa yang baik demi
mereka. Sedih dan merasa kehilangan itu wajar. Ada kalanya kita butuh
ruang-gerak terpisah untuk sekedar bernapas, berkembang...menjadi diri sendiri
yang utuh. Rasa sayang tak selalu membuat kita sepaham. Ada kalanya kita harus
memilih jalan hidup sendiri demi kebahagiaan kita, meski tak selalu sesuai
keinginan mereka. Begitu pun sebaliknya.
Siapa tahu, dengan jarak sebagai pengingat, lain kali
kita akan belajar untuk lebih mendengar keinginan dan menghargai perasaan
orang-orang yang (katanya) kita sayangi. Siapa tahu pada akhirnya kita akan
selalu saling merindukan dan menantikan, lalu menjadi saling terbuka dan
memahami. Bukankah itu malah memperkuat hubungan?
Bukankah kita ingin menjadi manusia yang lebih baik?
R.
(Jakarta,
29 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar