Rabu, 08 Juli 2015

"UNTUK SEMUA HATI YANG (PERNAH) PATAH DAN MEREKA YANG (PERNAH) MEMATAHKAN HATI..."

Percakapan dengan salah seorang sahabat mengenai relationship membawa ingatan saya kembali kepada beberapa tahun silam...
Waktu itu, salah seorang teman pernah menjadi penyiar radio untuk program acara bincang-bincang dalam bahasa Inggris selama sejam di stasiun lokal. Saya termasuk pemirsa setia yang rajin menelepon untuk curhat sekaligus berbagi opini mengenai topik apa pun yang mereka balas malam itu.
"Pernah patah hati, nggak? Atau pernah bikin orang patah hati?" tanya teman saya suatu malam. Saat itu saya bercerita mengenai sosok yang dulu sempat membuat saya patah hati. Tak perlu dibeberkan di sini. Selain malas mengungkit masa lalu, kok rasanya kayak membuka-buka aib? Apalagi bila sosok itu sebenarnya tidak tahu kalau pernah mematahkan hati saya. (Nggak dikasih tahu juga, sih.) Atau kalau pun tahu, bila masalahnya sudah selesai, ngapain dibahas lagi? Buka luka lama saja!
Untuk pertanyaan kedua di atas, saya sempat tertegun (untuk tidak kelamaan, soalnya banyak yang mau gantian menelepon malam itu.) Krik...krik...krik...
"Tidak tahu," akhirnya dengan ragu saya menjawab. "Andai ya, biasanya saya tidak tahu dan tidak pernah diberitahu. Moga-moga sih, tidak."
Kita selalu lebih mudah mengingat saat kita patah hati daripada saat kita mematahkan hati orang lain - sadar tidak sadar dan sengaja maupun tidak. Lihat saja, selalu lebih mudah bikin status galau di social media tentang betapa hancurnya hati kalian saat diputusin, ditolak, atau kecewa karena ulah si 'dia' yang jauh dari harapan indah kita. Lebih banyak hasil karya seni, baik berupa puisi, cerpen, novel, lagu, dan lukisan yang tercipta dari patah hati. Ada yang sembuhnya sampai lama gara-gara kelewat 'baper' (bawa perasaan).
Bagaimana kalau ternyata kita yang (pernah) mematahkan hati orang lain? Boro-boro ingat, jangan-jangan kita malah (lebih sering) nggak sadar. Atau mungkin kita merasa yang kita lakukan waktu itu benar, meski sampai harus menyakiti hati orang lain. Mungkin saat itu kita menganggap mereka menyebalkan sehingga sepertinya mereka pantas menerima ganjaran itu, alias sah-sah saja kalau kita sampai menyakiti mereka. Relatif, 'kan?
Pernahkah kita terang-terangan bilang ke mantan kalau mereka sudah bikin kita patah hati? Mungkin ada yang pernah, tapi dijamin sisanya lebih banyak gengsi, hihihi... Mau dikemanakan harga diri? Apalagi bila mereka masih berstatus sekedar 'gebetan' dan kita patah hati gara-gara mereka akhirnya menolak kita dan lebih memilih orang lain. (Apalagi bila orang yang mereka pilih menurut kita 'enggak banget'.) Atau, justru si gebetan sama sekali tidak tahu perasaan kita saat mereka akhirnya lebih memilih orang lain. (Nah, lho! Salah siapa coba?)
Apakah lantas kita mau marah-marah dan melarang mereka 'jadian' sama yang lain? Sebentar, memangnya kita siapa dan apa hak kita?
Lagipula, makna 'patah hati' tidak hanya untuk seputar 'relationship'. Banyak hal lain yang berpotensi bikin patah hati, mulai dari kematian orang tercinta hingga kehilangan hewan peliharaan kesayangan. Siapa yang tidak sedih, coba?
Mungkin karena itulah agak beresiko bila terlalu yakin menyebut diri sebagai orang baik atau orang jahat. Mengapa? Karena 'sok yakin' merasa diri orang baik, takutnya jadi malah kege-eran dan terjebak dalam sifat sombong - lalu merasa aman-aman saja. Kalau terlalu merasa buruk akan diri sendiri, yang ada malah jadi pesimis.
Makanya, jawaban-jawaban seperti "Insya Allah selalu baik" atau "Terima kasih, semoga kita semua bisa menjadi lebih baik lagi" merupakan jawaban teraman saat dipuji. Kita tidak pernah benar-benar tahu. Bisa saja kita dianggap baik oleh kalangan tertentu, namun tidak bagi kalangan lainnya - apa pun alasannya.
Dengan kata lain, kita tidak bisa selalu menyenagkan semua orang - dan begitu pula sebaliknya. Selamat datang sekali lagi di dunia nyata.
Kita semua mungkin sudah pernah (dibikin) patah hati. Apakah kita juga sudah pernah bikin orang patah hati? Semoga tidak, ya. Kadang kita hanya bisa berharap yang terbaik untuk semua. Lagipula, kalau ternyata mereka tidak pernah (diberi)tahu bahwa mereka sudah pernah bikin kita patah hati, berarti mereka tidak benar-benar bersalah, dong.
Eh, apa iya? (Jadi bingung sendiri...)
R.
(Jakarta, 6 Juli 2015 - 20:58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar