Minggu, 12 Juli 2015

"HALAL BI HALAL DAN DAFTAR PERTANYAAN 'GENERIK' "

Halal bi halal...dan daftar pertanyaan 'generik'? Hah, apaan tuh??
Sebelumnya, halal bi halal itu apa, sih? Bagi yang merayakan Idul Fitri, kita mengenalnya sebagai tradisi berkumpul bersama keluarga, bertemu kawan lama saat dan setelah Lebaran - minimal setahun sekali. Biasanya berupa makan bareng, saling bermaaf-maafan, hingga bertukar cerita.
Lalu, apa maksud saya dengan 'pertanyaan generik'? Yang pasti, pertanyaan-pertanyaan yang termasuk berpotensi bikin jengah dan 'mengganggu' niat luhur silaturahmi, apalagi bila disampaikan dengan nada yang 'kurang enak' didengar - apalagi bagi kaum Hawa yang masih lajang.
Ini dia - daftar pertanyaan generik yang suka keluar pas halal bi halal:
"Kok gendutan?"
"Mana pacarnya?"
"Belum ada pacar? Tante kenalin ama anaknya Om .... , ya?"
"Ini pacarnya? Kapan nikah?"
"Kapan punya momongan?" / "Gimana, udah 'isi' belum?" --> Ini dia pertanyaan yang paling makjleb bagi pasangan yang belum juga dikaruniai anak, apalagi bila mereka sudah cukup lama menikah. Ngomong-ngomong soal 'isi', menurut saya cara nanyanya juga 'enggak banget'. Memangnya badan perempuan ibarat gentong yang harus diisi-isi? Udah ada isinya, kali - yaitu organ tubuh. (Dan please deh, gak usah pake acara komentar: "Hiiih!")
"Si .... (nama anak) kapan punya adik?"
(Selanjutnya silakan ditambah sendiri)
Oke, sebelum pada menuduh saya kelewat sinis, sensi, nyinyir, nggak bersyukur udah / masih diperhatikan, atau apalah namanya... begini aja, deh. Mendingan kita semua saling bekerja sama agar suasana halal bi halal lebih menyenangkan dan nyaman bagi semua pihak. Bukan apa-apa, masalahnya banyak teman-teman saya (lagi-lagi terutama sesama perempuan lajang) yang kadang jadi enggan - hingga cenderung ogah-ogahan - menyambut acara akbar ini. Ada yang jadi bete, uring-uringan, hingga memilih kerja pas hari libur atau kabur ke luar kota / negeri dengan beragam alasan, dimana mereka nggak perlu mendengar pertanyaan-pertanyaan 'generik' barusan. Serius.
"Ya udah, cuekin aja mereka."
Serius? Serba salah, nih. Dari tahun ke tahun yang ditanya itu-itu saja. Memangnya nggak pada eneg, ya? Kalau dicuekin (apalagi bila yang bertanya lebih tua dan - aduh! - termasuk figur dominan yang dihormati di keluarga besar), bisa-bisa kita yang dituduh kurang ajar alias nggak sopan. (Biasa, 'kan?) Kalau membantah atau pasang wajah bete juga begitu. Meski pertanyaan-pertanyaan (dan komentar-komentar) tersebut bikin panas kuping dan hati, tetap saja kita yang akan disalahkan bila bereaksi terlalu 'keras' alias negatif. (Apa iya Indonesia akan selalu begini?)
Kalau sok cool dan meladeni dengan senyum palsu, tetapi dalam hati sebenarnya dongkol? Ya, itu namanya sama saja dengan menyiksa diri sendiri. Yang bertanya (atau menginterogasi?) juga tidak akan merasa salah alias sah-sah saja bila mereka kepo dan mengkritik begitu mendapat respon yang tidak mereka harapkan. Apalagi bila akhirnya mereka selalu memberi wejangan serupa dari tahun ke tahun ibarat siaran ulang. Kalau masih pada tahan sih, nggak masalah. Kalau enggak? Apalagi bila kita sudah mengikuti semua saran mereka (terutama yang kata mereka "dijamin ampuh" ), namun ternyata Tuhan memang belum berkehendak. Nah, lho! Hasilnya masih sama atau malah lebih parah. (Terus bagaimana, dong?) Yang ada, lagi-lagi malah kita yang dituduh 'kurang usaha'. Hiks. Seolah mereka guru paling killer di sekolah dan kita selalu (dianggap) gagal meraih skor 100 sesuai maunya mereka. Kriteria sempurna yang seakan menjadi tolak ukur kesuksesan kita dalam hidup sebagai anak manusia. Pendikte kebahagiaan hidup kita.
"Elo kok, sinis banget gitu, sih?" Tuh, 'kan. Lagi-lagi... "Mereka 'kan cuma bermaksud baik. Kenapa nggak jawab: 'Doain aja'? Gitu aja susah banget!"
Oke, sekilas memang terdengar amat mudah. Namun, yang tidak menyenangkan adalah tuntutan 'berat sebelah' a la para feodalis sejati. Kesannya yang lebih tua (yang bertanya) selalu merasa paling benar dan berhak ngomong apa saja tanpa perlu khawatir atau peduli bakal menyinggung yang lebih muda (alias yang ditanya). Sementara itu, yang lebih muda (yang ditanya) diharapkan selalu sopan dan mengalah untuk menjaga 'perdamaian', alias kelancaran acara halal bi halal - dengan mengorbankan perasaan dan harga diri mereka.
Hasilnya bisa ditebak: halal bi halal yang tujuan utamanya merekatkan tali silaturahmi antar keluarga dan kawan lama berubah jadi ajang penghakiman dan kritikan. Bukannya tambah dekat, malah makin berjarak. Apalagi bila sampai tercetus di benak mereka: "Hhh, untung cuma ketemu si A / Tante B setahun sekali."
Nah, lho! Nggak mau, 'kan? Kecuali kalau perasaan mereka sama sekali tidak penting bagi Anda.
Daripada terus-terusan mengandalkan daftar pertanyaan 'generik' di atas untuk bahan obrolan basa-basi (yang lama-lama berpotensi beneran jadi basi), mendingan coba beberapa alternatif di bawah ini:
"Kok gendutan?" Daripada mengajak 'ribut' (meski niat Anda bukan begitu) dengan pertanyaan itu, mendingan tanya: "Gimana kabarnya? Sehat?" Atau pujilah penampilan mereka hari itu, seperti baju baru (yang mungkin dibeli khusus untuk merayakan Lebaran) misalnya - dengan catatan: NGGAK PALSU, alias tulus.
"Mana pacarnya?" Kalau mereka bilang baru putus atau belum ada, bolehkah menawarkan:"Belum ada pacar? Tante kenalin ama anaknya Om .... , ya?" - dengan catatan: NGGAK MAKSA. Bisa saja mereka masih patah hati dengan hubungan sebelumnya dan masih butuh waktu untuk sembuh. Sampai kapan? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu. Tidak perlu menghakimi dan menggurui dengan nasihat: "Ngapain nunggu lama-lama? Ingat umur." Percayalah, mereka tidak sebodoh itu sampai harus berulang-kali diberitahu. Tidak perlu membuat mereka merasa kurang atau jelek karena sesuatu yang belum mereka dapatkan, apalagi bila ternyata mereka masih enjoy dengan status lajang mereka. Tidak perlu mendikte. Kata siapa semua harus jadi urusan Anda juga?
Ingin menjodohkan mereka dengan seseorang? Kadang nggak perlu langsung bilang-bilang. Ajak saja mereka hang-out dengan Anda setelah acara itu, lalu kenalkan mereka dengan sosok yang ingin Anda jodohkan dengan mereka. Cuma jangan terlalu berharap, apalagi pakai acara memaksa mereka segera jadian. Semua yang bagus butuh proses dan kesabaran.
"Ini pacarnya? Kapan nikah?" Daripada langsung menodong mereka dengan pertanyaan itu, mending ajak ngobrol keduanya dulu pelan-pelan. Berusahalah mengenal mereka dengan cara yang tidak terlalu kentara, alias kelewat kepo. Kalau terkesan dengan si pacar, bisa bilang: "Wah, insya Allah kalian berjodoh, ya?" Komentar itu pasti akan lebih dihargai daripada pertanyaan yang bernada menodong. Percaya deh, kalau mereka memang sudah berniat serius, Anda tinggal menunggu undangan.
"Kapan punya momongan?" Please, hati-hati banget deh, kalau mau menanyakan sesuatu yang sesensitif ini! Apalagi bila mereka memang sudah berusaha dengan sedemikian rupa - atau malah baru saja keguguran. Nggak perlu juga selalu bilang akan mendoakan mereka (apalagi dengan bonus ekspresi dan nada kasihan.) Justru doa yang nggak ketahuan sama orang lain alias diam-diam biasanya doa yang paling tulus.
Mau yang lebih sederhana? Cukup tanyakan kabar mereka, lalu lakukan 3D (Duduk, Diam, dan Dengarkan.) Gampang, 'kan? Nggak perlu pakai drama pula.
Jadilah sosok yang selalu dirindukan dan tidak hanya tiap halal bi halal dengan bertanya kabar tanpa saling menghakimi, peduli tanpa (terlalu) usil dan menggurui, hingga memberi saran tanpa mendikte. Dengan begitu, yang ditanya nggak hanya merasa nyaman - namun makin bersedia membuka diri. Yang bertanya juga tidak akan dipandang seperti orang yang hobi mencampuri urusan pribadi orang lain.
Akhir kata, mohon maaf bila tulisan ini kurang berkenan. Saya hanya menawarkan solusi alternatif agar semua pihak sama-sama enak dan dapat menikmati halal bi halal. Minal aidin wal faidzin. Hati-hati di perjalanan bagi yang mudik.Mohon maaf lahir dan batin.
R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar