MIRA:
Sudah setahun. Kupandangi cermin dan selalu teringat
kamu, versi lain diriku. Padahal kamu lelaki dan hanya berjarak lima menit
kelahiran dariku. Kata Papa dan Mama, kita berdua termasuk kasus yang cukup
unik.
Ah, andai saja kita bisa selalu seunik ini...
Malam itu, aku pulang dan menemukan seluruh keluarga kita
berkumpul di ruang tamu, lengkap dengan kue ulang tahun berlilin angka 18 yang
menyala.
“Kejutan!” seru mereka berbarengan. Apakah aku senang?
Tidak. Aku murka. Tak kukira mereka akan begitu tega, seakan tahun lalu tidak
terjadi apa-apa.
Seakan mereka tidak pernah merasa kehilanganmu. Tak hanya
itu, mereka juga berani mengundangnya. Aku tahu dia sahabatmu, tapi... tapi...
Gara-gara dia, aku tidak bisa lagi merayakan ultahku
denganmu. Aku tidak mau!
“Apa-apaan ini?!” bentakku, yang langsung membunuh
keceriaan di ruangan itu. Kutuding sosok itu dengan penuh kebencian dan dendam.
“Dan ngapain dia ada di sini?”
“Mira!” Papa dan Mama tampak pucat. Aku tak lagi peduli.
Aku berbalik dan segera hengkang.
Aku harus segera
pergi dari sini!
MIKO:
Sudah setahun. Dia masih membenciku. Buktinya, malam itu
dia berbalik dan lari dariku... dari kami semua. Kami langsung mengejarnya,
berusaha mencegahnya pergi. Apa daya, Mira sudah keburu loncat ke atas motornya
dan kabur. Dia memang selalu gesit, sama gesitnya dengan Amir dulu.
Amir, sahabatku. Amir, kakak kembarnya. Seperti anak
kembar lain pada umumnya, keduanya memang sangat dekat.
Aku telah merenggut
kedekatan mereka...
Aku tidak sengaja. Malam itu aku hanya terlalu lelah.
Bukannya mencari pembenaran atau membela diri. Amir juga, tapi kuputuskan agar
biar aku saja yang menyetir.
Ini bisa terjadi pada siapa saja. Aku meleng saat mobil
lain ngebut dari belokan yang kulewati malam itu. Kami kena terjang dari
samping. Amir yang kena duluan. Aku sendiri hanya luka-luka ringan...
Mereka menemukan Mira. Dia terjungkal dari motornya
karena menabrak pembatas jalan. Untung dia memakai helm... dan masih
bernapas...
Mira, bertahanlah!
MIRA:
Sepertinya kepalaku terantuk sesuatu. Terakhir kali, yang
kuingat hanyalah mengendarai motor.
“Mira...”
Mataku terbuka.
Samar-samar kulihat sosok familiar itu, seperti berkaca di cermin.
“Amir?”
Kembaranku tersenyum sedih. Kurasakan tangannya yang
lembut di pipiku sebelum kesadaranku kembali hilang...
“Maafin gue, Mira...”
Suara itu. Kali ini aku benar-benar sadar. Kulihat Miko,
menangis di antara keluargaku. Miko, dengan air mata penyesalannya. Semua cemas
menatapku.
Dan air mataku pun mengalir. Amir, apakah kau mencoba
mengatakan sesuatu padaku? Jika ini memang benar permintaanmu, baiklah. Akan
kupenuhi.
“Maafin gue juga, Mik...” Dan maafin gue, Mir. Kali ini gue akan mengenangmu tanpa dendam
padanya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar