Selasa, 28 Juli 2015

"TANPA KEMBARANKU..."

MIRA:
            Sudah setahun. Kupandangi cermin dan selalu teringat kamu, versi lain diriku. Padahal kamu lelaki dan hanya berjarak lima menit kelahiran dariku. Kata Papa dan Mama, kita berdua termasuk kasus yang cukup unik.
            Ah, andai saja kita bisa selalu seunik ini...
            Malam itu, aku pulang dan menemukan seluruh keluarga kita berkumpul di ruang tamu, lengkap dengan kue ulang tahun berlilin angka 18 yang menyala.
            “Kejutan!” seru mereka berbarengan. Apakah aku senang? Tidak. Aku murka. Tak kukira mereka akan begitu tega, seakan tahun lalu tidak terjadi apa-apa.
            Seakan mereka tidak pernah merasa kehilanganmu. Tak hanya itu, mereka juga berani mengundangnya. Aku tahu dia sahabatmu, tapi... tapi...
            Gara-gara dia, aku tidak bisa lagi merayakan ultahku denganmu. Aku tidak mau!
            “Apa-apaan ini?!” bentakku, yang langsung membunuh keceriaan di ruangan itu. Kutuding sosok itu dengan penuh kebencian dan dendam. “Dan ngapain dia ada di sini?”
            “Mira!” Papa dan Mama tampak pucat. Aku tak lagi peduli. Aku berbalik dan segera hengkang.
            Aku harus segera pergi dari sini!

MIKO:
            Sudah setahun. Dia masih membenciku. Buktinya, malam itu dia berbalik dan lari dariku... dari kami semua. Kami langsung mengejarnya, berusaha mencegahnya pergi. Apa daya, Mira sudah keburu loncat ke atas motornya dan kabur. Dia memang selalu gesit, sama gesitnya dengan Amir dulu.
            Amir, sahabatku. Amir, kakak kembarnya. Seperti anak kembar lain pada umumnya, keduanya memang sangat dekat.
            Aku telah merenggut kedekatan mereka...
            Aku tidak sengaja. Malam itu aku hanya terlalu lelah. Bukannya mencari pembenaran atau membela diri. Amir juga, tapi kuputuskan agar biar aku saja yang menyetir.
            Ini bisa terjadi pada siapa saja. Aku meleng saat mobil lain ngebut dari belokan yang kulewati malam itu. Kami kena terjang dari samping. Amir yang kena duluan. Aku sendiri hanya luka-luka ringan...
            Mereka menemukan Mira. Dia terjungkal dari motornya karena menabrak pembatas jalan. Untung dia memakai helm... dan masih bernapas...
            Mira, bertahanlah!

MIRA:
            Sepertinya kepalaku terantuk sesuatu. Terakhir kali, yang kuingat hanyalah mengendarai motor.
            “Mira...”
            Mataku terbuka. Samar-samar kulihat sosok familiar itu, seperti berkaca di cermin.
            “Amir?”
            Kembaranku tersenyum sedih. Kurasakan tangannya yang lembut di pipiku sebelum kesadaranku kembali hilang...
            “Maafin gue, Mira...”
            Suara itu. Kali ini aku benar-benar sadar. Kulihat Miko, menangis di antara keluargaku. Miko, dengan air mata penyesalannya. Semua cemas menatapku.
            Dan air mataku pun mengalir. Amir, apakah kau mencoba mengatakan sesuatu padaku? Jika ini memang benar permintaanmu, baiklah. Akan kupenuhi.

            “Maafin gue juga, Mik...” Dan maafin gue, Mir. Kali ini gue akan mengenangmu tanpa dendam padanya...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar