1. Berlawanan
dengan cara beberapa orang yang mungkin akan dengan senang hati pamer pada Anda
bahwa mereka (sok) kuat karena bisa
cepat move on, langkah pertama yang
harus Anda ambil adalah: akui masalah.
Jujurlah pada diri sendiri bahwa ya, Anda patah hati. Sakit itu benar-benar ada
‘di sini’ (*sambil menunjuk dada –
dan mungkin juga kepala, bila sampai pakai acara pusing segala!*)
Sayangnya,
tidak semua orang di dunia ini akan (selalu) mengerti masalah Anda, jadi tidak
perlulah ‘diumbar’ kepada sejuta
umat, meski ada social media segala.
Walaupun ada beberapa teman dekat yang bisa jadi tempat curhat, tetap jangan
sering-sering juga membanjiri telinga mereka dengan cerita sedih yang sama.
Bukan apa-apa, Anda pasti juga eneg ‘kan, bila selalu disuguhi cerita yang
sama? Kecuali bila Anda terapis handal.
2. Banyak-banyak
berdoa. Ya, maaf. Ini harusnya memang di urutan pertama. Caranya? Terserah
agama dan kepercayaan masing-masing.
3. Puas-puasin
deh, melampiaskan emosi – selama masih dalam takaran wajar dan cara yang sehat.
Mau menangis pas lagi sendirian di kamar? Silakan. Sambil dengerin lagu-lagu mellow atau yang heavy metal sekalian? (‘Kan
tergantung selera masing-masing.) Tidak ada yang melarang. Kalau sampai
ada, cuekin saja. Memangnya siapa mereka? Suka-suka Anda, dong!
Mau
pakai acara banting-banting barang atau “pecahkan
saja gelasnya, biar ramai...biar gaduh sampai mengaduh” kayak puisinya
Rangga yang dibacakan Cinta? Jangan. Selain berisik dan asli bisa ganggu orang
sekitar, ada kemungkinan besar Anda akan menyesal saat menyadari bahwa ternyata
Anda masih membutuhkan barang-barang tersebut, namun sayangnya sudah terlanjur
Anda pecahkan semua. Nah, lho.
4. Lakukan
selective hearing dan sharing. Meski sedang sangat haus akan
perhatian, pengertian, dan dukungan – ada baiknya Anda tidak bercerita kepada
sembarang orang. (Darimana Anda bisa
tahu? Maaf, saya sendiri juga bukan ahli nujum. Selamat berburu.) Selain
tidak / belum tentu semua orang akan mengerti masalah Anda, kemungkinan
terburuk adalah Anda yang malah akan disalahkan. “Cewek/cowok kayak gitu kok, diharapin.” Atau: “Sudahlah, masih banyak ikan di laut ini.” (Padahal, jelas-jelas
Anda maunya sama orang, bukan ikan!)
Meski
dalam hal ini kebetulan memang Anda yang salah, yakin Anda mau mendengar omelan
mereka? Apa gunanya coba? Sudah kejadian. (Dengan catatan: Anda cukup
dewasa dan berbesar hati untuk mengakui bahwa Anda manusia biasa yang banyak
salah, bukan selalu bertingkah seperti korban tak berdaya.)
5.
Saatnya libur jadi ‘orang dewasa dengan segudang problema/drama’. Sediakan sehari
dimana Anda bisa (pura-pura) jadi anak-anak lagi. Mau nonton film kartun, baca
buku cerita anak, main sama keponakan yang masih kecil, menggambar, terserah.
Percaya atau tidak, cara ini cukup ampuh mengusir stres dan bikin rileks, dengan
catatan: tidak keterusan dan
tidak dilakukan saat jam kerja, kecuali ingin atasan mengirim Anda ke ahli jiwa
atau meminta Anda berhenti bekerja – atau malah keduanya!
6.
Sibukkan diri Anda dengan berbagai
kegiatan yang lebih berguna. Kalau bisa, sampai Anda tidak punya waktu lagi
untuk memikirkan si penyebab patah hati. Kerja kek, nongkrong dengan
teman-teman (semoga nggak ada yang
menyinggung-nyinggung ‘sosok itu’),
berkumpul dengan keluarga (semoga nggak
ada yang ribut bertanya kapan Anda akan berhenti melajang dan segera menikah
sesuai harapan mereka), dan mengerjakan hobi. (Ya, terutama menulis.)
7.
Mungkin Anda bukan tipe yang banyak
bicara atau tukang curhat, tapi biarkanlah karya Anda yang ‘berbicara’. Mau melukis, menari, menyanyi, menulis puisi, cerpen,
novel, atau artikel semacam ini? Terserah. Mau ada yang mengejek Anda sebagai
sosok cengeng atau kayak Taylor Swift yang hobi menyindir mantan lewat
lagu-lagu ciptaannya? Aminkan saja untuk ejekan terakhir, siapa tahu Anda
beneran bisa jadi ngetop dan tajir kayak Taylor Swift. Bayangkan, siapa sih,
yang tidak ingin karyanya laku keras di pasaran dan diingat banyak orang?
8.
“Kapan
lo liburan?” Ini yang sering banget ditanyakan pada
penulis gila kerja. Saran ini boleh dicoba. Tidak hanya sukses mengusir rasa
jenuh dan (semoga) menyembuhkan patah hati, Anda juga bisa kembali dengan
ide-ide baru dan segar untuk calon-calon tulisan berikutnya.
9.
Saatnya lebih berprestasi, baik di
tempat kerja maupun dalam berkarya. Jangan lupa jaga kesehatan. Rugi banget
kalau Anda sampai jatuh sakit hanya gara-gara memikirkan mereka yang belum
tentu peduli perasaan Anda. Mau ikut lomba menulis? Tinggal cari lewat Google atau subscribe situs tulis-menulis pilihan Anda. Selain bisa dapat
penghasilan tambahan, Anda juga bisa terkenal dan – siapa tahu – dapat menginspirasi sesama.
10. Relakan,
bersyukur, dan berbahagialah. Tiada yang abadi. Coba ingat-ingat lagi, sebelum
ketemu sosok itu, Anda masih bernapas, ‘kan? Sesudahnya juga sama
saja, ‘kan? Cukup ingat-ingat saat-saat terindah bersama mereka. Kalau tidak
kuat, tidak usah dipaksa.
Mungkin
Anda merasa masih (dan akan selalu) mencintai mereka, tapi belum tentu mau/bisa
bersama...atau enggan kembali bersama. Cukup kirim doa agar mereka selalu
baik-baik saja. Tidak perlu menyimpan marah, sakit hati, maupun dendam. Rugi
bandar, apalagi kalau sampai kelamaan. Salah-salah gagal deh, usaha Anda untuk
terlihat seawet muda mungkin, hehe.
11. Terlepas
dari ‘apa kata banyak orang’, tidak
perlu langsung menerima sosok baru dalam hidup Anda bila
ternyata Anda memang belum siap. Yang tahu kapan butuh hanya Anda, bukan
mereka. Jangan sampai Anda menumbalkan sosok itu jadi rebound, alias pelampiasan belaka. ‘Kan kasihan kalau ternyata
mereka beneran mau serius dengan Anda.
12. Masih
susah move on? Silakan kunjungi
terapis terdekat. (Maaf, saya tidak
sedang mengejek Anda, karena ini bisa terjadi pada siapa saja – terutama mereka
yang merasa kuat, padahal sebenarnya tidak juga.)
Bagaimana
bila cara-cara di atas tidak berhasil juga? Maaf, saya hanya penulis ‘gila kerja’, bukan terapis berlisensi!
R.
(Jakarta,
30 September 2015 – 11:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar