Langsung
saja, ya. Bagaimana ceritanya?
Beberapa tahun lalu, saya sedang
mencari pekerjaan baru. Berhubung waktu itu belum punya laptop sendiri dan koneksi wi-fi
belum sepopuler sekarang, saban hari saya ke warnet untuk e-mail CV. Kadang sekalian juga e-mail cerpen ke majalah-majalah
tertentu, siapa tahu dapat honor tambahan.
Sore itu, saya tidak begitu ngeh
bahwa bilik warnet yang tengah saya pakai ternyata terlalu ‘terbuka’. Maksudnya? Siapa pun yang kebetulan lewat di belakang
saya dapat melihat layar komputer di depan saya.
Saat tengah merapikan CV, mendadak
HP saya berbunyi. Kening saya berkerut saat membaca SMS dari nomor yang tidak
dikenal:
“Hai,
Ruby. Ajarin bikin puisi, dong. Kayaknya kamu jago nulis, deh.”
Siapa
ini? Saat itu saya tidak begitu memusingkan, karena masih
sibuk mengetik. Mungkin hanya teman iseng. Namun, SMS berikutnya langsung bikin
saya bergidik:
“Kok
bengong? Itu yang tertulis di CV kamu, ‘kan? Jangan bingung begitu, dong. Tapi
mukamu jadi lucu.”
Deg!
Saya
langsung melirik sekeliling dengan cemas. Tak ada sosok yang tampak
mencurigakan, tidak ada seorang pun yang tengah memandangi saya. Tidak juga ada
seorang pun yang segera menghampiri saya, mengajak kenalan, sekaligus mengaku
sebagai pengirim SMS barusan.
Tentu saja, saya ogah menanti saat
itu. Buru-buru saya selesaikan semua urusan – e-mail CV dan cerpen, lalu menghapus semua file yang perlu dihapus di hard
drive. Setelah itu saya buru-buru log
out, membayar di kasir, dan segera kabur dari situ. Eh, masih saja saya
dapat SMS:
“Lho,
kok pergi? Kita belum sempat ngobrol dan kenalan, nih!”
Tak
tahan lagi diganggu-ganggu terus, akhirnya saya balas juga SMS-nya:
“Ini
siapa? Darimana bisa tahu nama dan nomor HP saya?”
Jawaban
berikutnya semakin bikin saya merinding. Singkat cerita, dia meminta maaf
karena telah berlaku lancang. (Iyalah!)
Dia mengaku bernama berinisial ‘K’. (Tidak
perlu disebut lengkap, ya? Bikin trauma saja.) Sesuai yang saya takutkan
sebelumnya, dia mengaku melihat saya di warnet itu dan langsung tertarik ingin
berkenalan dengan saya. Namun, dia belum berani menunjukkan diri dengan alasan
malu dan takut.
Apakah lantas dia akan berharap saya
jatuh kasihan dan memberinya kesempatan? Tentu saja tidak. Saya sudah terlanjur
takut dan antipati. Habis, dari awal caranya sudah mencuri-curi begitu, sih!
Akhirnya, ‘K’ saya cuekin. Eh,
sialnya dia tidak terima. Maka, dimulailah serangkaian ‘teror’ berupa SMS dan missed
call. Tidak tanggung-tanggung, bisa tiap dini hari saya mendapatkan missed call dari dua nomor yang sama –
bergantian pula. Tidak pernah saya angkat, karena pernah sekalinya saya angkat
saat separuh sadar (akibat terbangun dari tidur dan tanpa mengecek nomor
penelepon), yang saya dengar hanya desahan napas seseorang yang berulang-ulang.
(Hiiih!)
SMS-SMS yang dikirim ‘K’ juga tak
kalah mengganggu. Mulai dari puisi-puisi ‘alay’
(astaga, masih zaman merayu perempuan dengan cara demikian?),
keluh-kesahnya mengenai betapa kejamnya saya yang enggan memberinya kesempatan
alias menolaknya mentah-mentah, hingga ekspresi amarah berupa kata makian dan
ancaman. Menurutnya, seharusnya saya tidak boleh sombong dan bersyukur bahwa
setidaknya masih ada laki-laki yang sudi memperhatikan saya. (Halo, siapa dia? Apa maksudnya, coba?)
Meski melecehkan sekali, saya masih
berusaha cuek. (Sayang sekali, waktu itu belum ada teknologi memblokir langsung
nomor HP dari nomor yang tidak diinginkan.) Bahkan, saat banyak teman yang
menyarankan agar saya segera mengganti nomor HP, saya tetap bergeming.
Alasannya? Saya enggan mengalah dan ‘kabur’
seperti pengecut hanya karena seorang laki-laki tak dikenal yang entah
kenapa tiba-tiba terobsesi dengan saya. Seram sekali, bukan? Masa iya saya
harus bertanggung-jawab atas perasaan orang yang sama sekali tidak dikenal?
Kalau bisa, dia saja yang bosan dan sekalian berhenti mengganggu saya.
Situasi bertambah mengerikan saat ‘K’
mengirim SMS seperti ini:
“Hari
Minggu ini sibuk, nggak? Aku main ke rumahmu boleh, ya? Kamu masih tinggal di
.....?” (Disebutkannya alamat lengkap saya, dengan nomor rumah, RT/RW,
hingga kode pos!)
Saat saya cuek seperti biasa, SMS
berikutnya seperti ini:
“Jawab,
dong! Boleh, nggak?”
Akhirnya
saya batal pulang ke rumah dan memilih menginap di tempat kerja, yang waktu itu
kebetulan juga usaha milik keluarga.
Tak tahan lagi diteror terus,
akhirnya saya memilih hanya memberitahu beberapa teman ‘terpercaya’. Mengapa demikian? Sayang sekali, di negara ini, kasus
penguntitan (stalking) belum
diperlakukan sebagai tindakan kriminal serius. Biasanya, pihak hukum baru
bertindak kalau: a) korban terbukti diserang secara fisik atau, b) korban
terbunuh. (Hiiih!)
Jujur, saya ogah menunggu sampai ‘kejadian’.
Selain
itu, yang tidak (atau enggan) memahami mungkin akan berkomentar begini:
“Positive
thinking ajalah. Katanya mau punya pacar.”
“Bersyukurlah.
Anggap aja lo punya penggemar rahasia. Seenggaknya ada yang perhatian ama lo.” (Persis
banget dengan ucapan si stalker. Padahal,
waktu itu belum zaman orang malah bangga karena banyak follower di akun social media
mereka.)
“Kasih
kesempatan dululah. Siapa tahu malah jodoh.” (APAAA???)
“Kamu
juga sih, nggak hati-hati.” (Lho, kok malah nyalahin korban? Ini bisa
terjadi pada siapa saja, lho!)
“Baru
gitu aja udah parno. Lebay.” (Jujur saja, yang ngomong kayak begini sama
saya waktu itu ingin sekali saya timpuk pakai sandal pas di muka!)
Jujur, saya makin eneg. Apalagi, SMS
berikutnya dari si ‘K’ makin ngaco:
“Hai,
Ruby. Mau s*x phone, gak?”
Singkat
cerita, gangguan dari stalker ini
berlangsung hingga enam bulan lamanya. Selain tidak bisa tidur nyenyak, saya
jadi paranoid sendiri. Was-was dan curigaan sama orang banyak. Kalau pergi
sendirian – apalagi malam-malam – saya suka bawa semprotan merica bikinan
sendiri. (Botol parfum bekas isi bubuk cabe dan merica yang dikocok sampai
bercampur dengan air.) Beberapa tahun setelah kejadian itu, saya menerima taser dari seorang sahabat.
Teman-teman saya yang tahu dengan
kejadian ini akhirnya tergerak membantu. Seperti saya (akhirnya), mereka
menyebarkan nomor HP si ‘K’ di dunia maya, dengan tagline: “Pemilik nomor HP ini hobi mengganggu / melecehkan perempuan
lewat SMS dan missed-call. Silakan ganggu dia sesuka Anda. Terima kasih.” Kadang
saya mendaftarkan nomor HP si stalker dengan
akun seadanya untuk langganan SMS blast produk
kecantikan agar pulsanya kemakan habis. Biar saja. Memang jahat juga sih, tapi
mau bagaimana lagi? Dia enggan berhenti.
Teman saya sampai ada yang mengerahkan
teman-temannya, terutama laki-laki yang jago gertak dan berkelahi. Beramai-ramai
mereka mengancam balik si stalker lewat
SMS dan telepon agar berhenti mengganggu saya – atau didatangi untuk dihajar.
Setelah enam bulan, ‘K’ mendadak
berhenti mengganggu saya. Akhirnya, tak ada lagi SMS maupun missed-call yang mengganggu dan bernada
melecehkan. Meski lega setengah-mati, ada trauma yang membekas dalam diri saya
hingga kini:
1. Saya
jadi ekstra hati-hati – bahkan mendekati paranoid – saat sedang di luar rumah
sendirian, apalagi malam-malam.
2. Saya
tidak pernah menjawab telepon dari nomor yang tidak dikenal, kecuali bila
mereka memperkenalkan diri dulu lewat SMS. Setelah itu, tetap terserah saya.
3. Saya
jadi sulit percaya dengan lawan jenis. (Maaf
ya, Tuan-tuan.) Mungkin kalian akan berargumen: “Tidak semua laki-laki”, tapi inilah kenyataannya. Boleh saja
menuduh saya mudah menghakimi, tapi itulah kecenderungan sesama manusia –
bahkan yang (dianggap) paling baik pun. (Hayo,
ngaku saja, deh.) Saya butuh waktu dan proses, tidak bisa dipaksa harus
sesuai maunya kalian. Selamat bersabar dan berusaha bagi yang bersedia.
Buat
Tuan-tuan dan Mas-mas yang sedang berusaha mencari calon pasangan hidup /
sekedar ‘pendekatan’ (PDKT), mohon
cara di atas jangan dicoba. Tidak semua perempuan menganggapnya romantis, malah
mengerikan. Indahnya akhir kisah cinta antara si penggemar rahasia dengan sosok
pujaannya hanya ada di novel dan film roman picisan belaka. Mohon perlakukan
mereka seperti manusia, bukan objek sasaran belaka yang harus segera Anda
dapatkan, miliki, dan kuasai – apa pun caranya.
Satu
hal lagi: jangan suka memaksa perempuan, apa pun
alasannya. Kalau dia sudah bilang ‘tidak’,
artinya ‘tidak’. Jangan selalu
berasumsi bahwa mereka hanya ‘sok jual
mahal’ (apalagi bila sudah menolak Anda sampai tiga kali atau lebih.) Kalau
masih belum paham juga artinya, mungkin Anda harus cek KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Seingat saya sih, tidak ada bedanya – mau yang ngomong laki-laki
atau perempuan. Yang ada hanya asumsi pribadi dan manipulasi emosi belaka yang
(mencoba) membuat perempuan merasa bersalah karena menolak.
Bila belum paham juga, tanyakan guru
sekolah Anda.
Bagaimana bila ini terjadi pada
saudari/putri/sahabat perempuan Anda? Mohon tanggapi cerita mereka dengan serius
dan jangan menuduh mereka berlebihan dan paranoid. Lakukan yang harus
dilakukan. Libatkan aparat hukum bila stalker
sudah dalam taraf mengancam keselamatan mereka. Mengapa?
Saudari/putri/sahabat
perempuan Anda belum tentu akan seberuntung saya, apalagi bila Anda hanya
menganggap sepi masalah mereka...
R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar