Minggu, 25 Oktober 2015

“SAYA PERNAH DIKUNTIT STALKER TAK DIKENAL SELAMA ENAM BULAN...”

Langsung saja, ya. Bagaimana ceritanya?
            Beberapa tahun lalu, saya sedang mencari pekerjaan baru. Berhubung waktu itu belum punya laptop sendiri dan koneksi wi-fi belum sepopuler sekarang, saban hari saya ke warnet untuk e-mail CV. Kadang sekalian juga e-mail cerpen ke majalah-majalah tertentu, siapa tahu dapat honor tambahan.
            Sore itu, saya tidak begitu ngeh bahwa bilik warnet yang tengah saya pakai ternyata terlalu ‘terbuka’. Maksudnya? Siapa pun yang kebetulan lewat di belakang saya dapat melihat layar komputer di depan saya.
            Saat tengah merapikan CV, mendadak HP saya berbunyi. Kening saya berkerut saat membaca SMS dari nomor yang tidak dikenal:
            “Hai, Ruby. Ajarin bikin puisi, dong. Kayaknya kamu jago nulis, deh.”
            Siapa ini? Saat itu saya tidak begitu memusingkan, karena masih sibuk mengetik. Mungkin hanya teman iseng. Namun, SMS berikutnya langsung bikin saya bergidik:
            “Kok bengong? Itu yang tertulis di CV kamu, ‘kan? Jangan bingung begitu, dong. Tapi mukamu jadi lucu.”
            Deg! Saya langsung melirik sekeliling dengan cemas. Tak ada sosok yang tampak mencurigakan, tidak ada seorang pun yang tengah memandangi saya. Tidak juga ada seorang pun yang segera menghampiri saya, mengajak kenalan, sekaligus mengaku sebagai pengirim SMS barusan.
            Tentu saja, saya ogah menanti saat itu. Buru-buru saya selesaikan semua urusan – e-mail CV dan cerpen, lalu menghapus semua file yang perlu dihapus di hard drive. Setelah itu saya buru-buru log out, membayar di kasir, dan segera kabur dari situ. Eh, masih saja saya dapat SMS:
            “Lho, kok pergi? Kita belum sempat ngobrol dan kenalan, nih!”
            Tak tahan lagi diganggu-ganggu terus, akhirnya saya balas juga SMS-nya:
            “Ini siapa? Darimana bisa tahu nama dan nomor HP saya?”
            Jawaban berikutnya semakin bikin saya merinding. Singkat cerita, dia meminta maaf karena telah berlaku lancang. (Iyalah!) Dia mengaku bernama berinisial ‘K’. (Tidak perlu disebut lengkap, ya? Bikin trauma saja.) Sesuai yang saya takutkan sebelumnya, dia mengaku melihat saya di warnet itu dan langsung tertarik ingin berkenalan dengan saya. Namun, dia belum berani menunjukkan diri dengan alasan malu dan takut.
            Apakah lantas dia akan berharap saya jatuh kasihan dan memberinya kesempatan? Tentu saja tidak. Saya sudah terlanjur takut dan antipati. Habis, dari awal caranya sudah mencuri-curi begitu, sih!
            Akhirnya, ‘K’ saya cuekin. Eh, sialnya dia tidak terima. Maka, dimulailah serangkaian ‘teror’ berupa SMS dan missed call. Tidak tanggung-tanggung, bisa tiap dini hari saya mendapatkan missed call dari dua nomor yang sama – bergantian pula. Tidak pernah saya angkat, karena pernah sekalinya saya angkat saat separuh sadar (akibat terbangun dari tidur dan tanpa mengecek nomor penelepon), yang saya dengar hanya desahan napas seseorang yang berulang-ulang. (Hiiih!)
            SMS-SMS yang dikirim ‘K’ juga tak kalah mengganggu. Mulai dari puisi-puisi ‘alay’ (astaga, masih zaman merayu perempuan dengan cara demikian?), keluh-kesahnya mengenai betapa kejamnya saya yang enggan memberinya kesempatan alias menolaknya mentah-mentah, hingga ekspresi amarah berupa kata makian dan ancaman. Menurutnya, seharusnya saya tidak boleh sombong dan bersyukur bahwa setidaknya masih ada laki-laki yang sudi memperhatikan saya. (Halo, siapa dia? Apa maksudnya, coba?)
            Meski melecehkan sekali, saya masih berusaha cuek. (Sayang sekali, waktu itu belum ada teknologi memblokir langsung nomor HP dari nomor yang tidak diinginkan.) Bahkan, saat banyak teman yang menyarankan agar saya segera mengganti nomor HP, saya tetap bergeming. Alasannya? Saya enggan mengalah dan ‘kabur’ seperti pengecut hanya karena seorang laki-laki tak dikenal yang entah kenapa tiba-tiba terobsesi dengan saya. Seram sekali, bukan? Masa iya saya harus bertanggung-jawab atas perasaan orang yang sama sekali tidak dikenal? Kalau bisa, dia saja yang bosan dan sekalian berhenti mengganggu saya.
            Situasi bertambah mengerikan saat ‘K’ mengirim SMS seperti ini:
            “Hari Minggu ini sibuk, nggak? Aku main ke rumahmu boleh, ya? Kamu masih tinggal di .....?” (Disebutkannya alamat lengkap saya, dengan nomor rumah, RT/RW, hingga kode pos!)
            Saat saya cuek seperti biasa, SMS berikutnya seperti ini:
            “Jawab, dong! Boleh, nggak?”
            Akhirnya saya batal pulang ke rumah dan memilih menginap di tempat kerja, yang waktu itu kebetulan juga usaha milik keluarga.
            Tak tahan lagi diteror terus, akhirnya saya memilih hanya memberitahu beberapa teman ‘terpercaya’. Mengapa demikian? Sayang sekali, di negara ini, kasus penguntitan (stalking) belum diperlakukan sebagai tindakan kriminal serius. Biasanya, pihak hukum baru bertindak kalau: a) korban terbukti diserang secara fisik atau, b) korban terbunuh. (Hiiih!)
            Jujur, saya ogah menunggu sampai ‘kejadian’.
            Selain itu, yang tidak (atau enggan) memahami mungkin akan berkomentar begini:
            “Positive thinking ajalah. Katanya mau punya pacar.”
            “Bersyukurlah. Anggap aja lo punya penggemar rahasia. Seenggaknya ada yang perhatian ama lo.” (Persis banget dengan ucapan si stalker. Padahal, waktu itu belum zaman orang malah bangga karena banyak follower di akun social media mereka.)
            “Kasih kesempatan dululah. Siapa tahu malah jodoh.” (APAAA???)
            “Kamu juga sih, nggak hati-hati.” (Lho, kok malah nyalahin korban? Ini bisa terjadi pada siapa saja, lho!)
            “Baru gitu aja udah parno. Lebay.” (Jujur saja, yang ngomong kayak begini sama saya waktu itu ingin sekali saya timpuk pakai sandal pas di muka!)
            Jujur, saya makin eneg. Apalagi, SMS berikutnya dari si ‘K’ makin ngaco:
            “Hai, Ruby. Mau s*x phone, gak?”
            Singkat cerita, gangguan dari stalker ini berlangsung hingga enam bulan lamanya. Selain tidak bisa tidur nyenyak, saya jadi paranoid sendiri. Was-was dan curigaan sama orang banyak. Kalau pergi sendirian – apalagi malam-malam – saya suka bawa semprotan merica bikinan sendiri. (Botol parfum bekas isi bubuk cabe dan merica yang dikocok sampai bercampur dengan air.) Beberapa tahun setelah kejadian itu, saya menerima taser dari seorang sahabat.
            Teman-teman saya yang tahu dengan kejadian ini akhirnya tergerak membantu. Seperti saya (akhirnya), mereka menyebarkan nomor HP si ‘K’ di dunia maya, dengan tagline: “Pemilik nomor HP ini hobi mengganggu / melecehkan perempuan lewat SMS dan missed-call. Silakan ganggu dia sesuka Anda. Terima kasih.” Kadang saya mendaftarkan nomor HP si stalker dengan akun seadanya untuk langganan SMS blast produk kecantikan agar pulsanya kemakan habis. Biar saja. Memang jahat juga sih, tapi mau bagaimana lagi? Dia enggan berhenti.
            Teman saya sampai ada yang mengerahkan teman-temannya, terutama laki-laki yang jago gertak dan berkelahi. Beramai-ramai mereka mengancam balik si stalker lewat SMS dan telepon agar berhenti mengganggu saya – atau didatangi untuk dihajar.
            Setelah enam bulan, ‘K’ mendadak berhenti mengganggu saya. Akhirnya, tak ada lagi SMS maupun missed-call yang mengganggu dan bernada melecehkan. Meski lega setengah-mati, ada trauma yang membekas dalam diri saya hingga kini:
1.    Saya jadi ekstra hati-hati – bahkan mendekati paranoid – saat sedang di luar rumah sendirian, apalagi malam-malam.
2.    Saya tidak pernah menjawab telepon dari nomor yang tidak dikenal, kecuali bila mereka memperkenalkan diri dulu lewat SMS. Setelah itu, tetap terserah saya.
3.    Saya jadi sulit percaya dengan lawan jenis. (Maaf ya, Tuan-tuan.) Mungkin kalian akan berargumen: “Tidak semua laki-laki”, tapi inilah kenyataannya. Boleh saja menuduh saya mudah menghakimi, tapi itulah kecenderungan sesama manusia – bahkan yang (dianggap) paling baik pun. (Hayo, ngaku saja, deh.) Saya butuh waktu dan proses, tidak bisa dipaksa harus sesuai maunya kalian. Selamat bersabar dan berusaha bagi yang bersedia.

Buat Tuan-tuan dan Mas-mas yang sedang berusaha mencari calon pasangan hidup / sekedar ‘pendekatan’ (PDKT), mohon cara di atas jangan dicoba. Tidak semua perempuan menganggapnya romantis, malah mengerikan. Indahnya akhir kisah cinta antara si penggemar rahasia dengan sosok pujaannya hanya ada di novel dan film roman picisan belaka. Mohon perlakukan mereka seperti manusia, bukan objek sasaran belaka yang harus segera Anda dapatkan, miliki, dan kuasai – apa pun caranya.
Satu hal lagi: jangan suka memaksa perempuan, apa pun alasannya. Kalau dia sudah bilang ‘tidak’, artinya ‘tidak’. Jangan selalu berasumsi bahwa mereka hanya ‘sok jual mahal’ (apalagi bila sudah menolak Anda sampai tiga kali atau lebih.) Kalau masih belum paham juga artinya, mungkin Anda harus cek KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Seingat saya sih, tidak ada bedanya – mau yang ngomong laki-laki atau perempuan. Yang ada hanya asumsi pribadi dan manipulasi emosi belaka yang (mencoba) membuat perempuan merasa bersalah karena menolak.
            Bila belum paham juga, tanyakan guru sekolah Anda.
            Bagaimana bila ini terjadi pada saudari/putri/sahabat perempuan Anda? Mohon tanggapi cerita mereka dengan serius dan jangan menuduh mereka berlebihan dan paranoid. Lakukan yang harus dilakukan. Libatkan aparat hukum bila stalker sudah dalam taraf mengancam keselamatan mereka. Mengapa?
Saudari/putri/sahabat perempuan Anda belum tentu akan seberuntung saya, apalagi bila Anda hanya menganggap sepi masalah mereka...

R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar