Celaka,
sepertinya aku masih mencintaimu! Darimana kutahu? Dari sejak kamu
memberitahuku mengenai kedatanganmu ke pernikahan teman kita di sini...dan
ajakanmu agar aku pergi denganmu. Waktu itu, tentu saja aku mau. Tak hanya itu,
aku bahkan praktis menghabiskan sepanjang akhir pekan itu denganmu.
Lalu, bagaimana denganmu? Apakah
kamu tahu juga perasaanku?
Ya, tahun lalu. Sebelum kamu pindah
ke luar kota di lain pulau, aku sempat memberikan sesuatu. Tiga lembar, lima
halaman surat itu kuselipkan di antara halaman buku yang pernah kupinjam
darimu. Kutinggalkan buku itu di meja kerjamu malam itu, sebelum kabur seperti
pengecut.
Tentu saja kamu membacanya. Kukira
kamu akan marah padaku. Syukurlah, kamu hanya menolakku baik-baik, dengan
alasan kamu tidak sedang memikirkan hal itu. Meski sedih, aku mengerti. Kamu
baru saja putus dengan pacar terakhirmu. Kamu butuh waktu.
Lagipula, kita berdua sudah dewasa,
sama-sama harus realistis. Entah bagaimana denganmu, tapi aku enggan dengan
hubungan jarak jauh. Kamu sudah muak dengan sesaknya kota ini, sementara aku
tidak yakin mau pindah hanya demi mengikutimu belaka.
Kamu memang lelaki yang baik. Kamu
tetap memperlakukanku seperti biasa. (Ada temanku yang tidak seberuntung aku,
langsung dijauhi lelaki pujaannya begitu tahu temanku mencintainya. Benar-benar
kekanak-kanakan!)
Mungkin, karena itulah aku merasa
benar-benar kehilangan saat akhirnya kamu berpamitan padaku...
-***-
Celaka, sepertinya aku masih
mencintaimu! Tahukah kamu? Haruskah aku memberitahumu?
Kata mereka begitu. Percuma bila aku
tetap membisu. Namun, lidahku seringkali kelu. Hatiku berat oleh ragu. Rasa
takut membuat keberanianku membeku. Untunglah, dari tampak luar aku masih
berusaha keras agar tidak jadi bersikap kaku di hadapanmu.
Seperti sebelumnya, kata mereka aku
tidak punya banyak waktu. Kali ini, tidak setiap hari kita bisa bertemu.
(Astaga, kemana saja aku dulu, sewaktu kamu masih dekat denganku?)
Entahlah. Yang kutahu, aku sangan
senang saat kamu mengajak bertemu. Sabtu sore itu, kita berdua duduk dan minum
kopi sambil mengobrol, seperti dulu. Padahal, setahun lebih sudah berlalu.
Lihat, kamu bahkan masih mengantarku pulang setelahnya, layaknya seorang gentleman sejati. Kamu juga masih ingat
tempat tinggalku.
Aku sangat terkesan. Tak hanya itu,
aku sangat bahagia.
“Kujemput jam sembilan nanti malam,
ya?” janjimu sambil mengecup pipiku. Kamu baru mau beranjak pergi saat aku
sudah di balik gerbang dengan aman.
Bagi orang Indonesia, mungkin yang
kamu lakukan barusan seperti memberi ‘harapan’.
Namun, aku tahu bahwa itu hal biasa bagi lelaki Barat. Meski demikian, aku
percaya bahwa kamu masih memperlakukanku dengan hormat. Kamu bukan lelaki yang
akan memaksa.
Malam itu, kita nongkrong bareng
teman-teman lama kita setelah makan malam. Kukira mereka sedikit bertanya-tanya
mengenai kemunculan kita berdua. Bahkan, sahabatmu yang berambut merah juga
terang-terangan bilang padaku bahwa seharusnya kamu menikahiku saja sekalian.
Entah bagaimana pendapatmu soal itu. Kamu, yang telah terlalu sering terluka
oleh masa lalu.
Kamu, yang ternyata belum bisa
melupakannya – bahkan setelah setahun berlalu.Memang, kalian berdua masih
berteman baik. Itu hakmu.
Mata birumu tak bisa bohong saat
bercerita tentangnya malam itu. Kamu masih sangat mencintainya.
Mungkin karena itulah, akhirnya aku
batal jujur soal perasaan cintaku yang belum juga berlalu. Namun, aku tetap
memasang senyum saat menemanimu ke pernikahan teman kita...dan Senin itu, hari
terakhirmu di kota ini.
“Berbahagialah.”
Hanya itu yang kukatakan padamu saat kita akhirnya berpisah. Jawabmu: “Kamu
juga.”
Dasar sial, kenapa juga aku masih
mencintaimu seperti ini?
Mungkin suatu saat kamu akan membaca
ini dan tahu. Mungkin mereka yang akan memberitahumu, begitu sadar siapa sosok
bermata biru yang terlalu sering kusebut dalam banyak tulisanku...
Tulisan ini juga diikutsertakan dalam: http://www.kompasiana.com/rubyastari/kc-celaka-aku-masih-mencintaimu_560ddf7323afbd6305b501b5 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar