“Kok dia milih cewek itu? Nggak banget!”
“Apa
sih, yang dia liat dari cowok itu? Yang cakep masih banyak!”
“Jodohnya
kayak gitu. Alamat harus ekstra sabar dia!”
Sering
banget denger komentar-komentar ‘miring’ di
atas? Mungkin saat menggosipkan selebriti yang pacaran / menikah dengan sosok
yang menurut fans / publik (termasuk
Anda?) nggak selevel? Atau mungkin bukan selebriti, tapi dari lingkaran
pertemanan sendiri? Atau mungkin itu isi status Anda di social media?
Atau malah Anda yang (ternyata) jadi
bahan obrolan yang demikian? Bila ya, bagaimana rasanya?
Dalam hal ini, apa peran Anda
biasanya? Bila (hanya) sebagai pendengar, apa reaksi Anda? Lama-lama muak
akibat energi negatif mereka (habis ngomongin orang lain melulu!) hingga memilih
ogah dekat-dekat? Atau malah senang karena ada hiburan ‘gratis’ (dengan kualitas yang udah
nggak usah disebut lagi) dan bahkan ikut ‘mengamini’ ucapan mereka – baik secara terang-terangan atau hanya
dalam hati saja?
Apakah Anda pelakunya, yang gemar
membagi info tentang seseorang dan opini Anda mengenai mereka ke semua orang,
tak peduli mereka suka atau tidak? (Ada kemungkinan kalau begini Anda termasuk
yang juga aktif di social media,
mungkin bahkan jauh lebih aktif di dunia maya daripada yang nyata.)
Mungkin Anda akan sewot dan
berpendapat: “Suka-suka orang mau bilang
apa!” Saya mungkin juga akan membela korban gunjingan Anda: “Suka-suka orang mau milih siapa. Kok jadi
Anda yang ribut? Memangnya situ mau, urusan pribadi diusik-usik orang lain?
Lain cerita kalo situ emang doyan cari perhatian, apa pun bentuknya!”
Sadar
tidak sadar, kita cenderung menjadi kritikus paling gesit dan berani, bahkan
untuk hal-hal yang (belum / enggan) kita ketahui dan pahami. Kalau sudah
begini, kita suka lupa bahwa keadaan bisa selalu berbalik. Lain kali Anda bisa
jadi bahan pembicaraan orang lain. Jangan langsung marah-marah dulu dan merasa
jadi korban pergunjingan paling menderita. Cukup tanyakan pada diri sendiri: pernah khilaf berbuat serupa? Kalau ya,
anggap saja karma sedang bekerja memperingatkan Anda. Kalau tidak, anggap saja
Anda tengah diberi pelajaran berupa kesabaran serta contoh nyata perbuatan yang
tidak perlu Anda tiru, apa pun alasannya.
Mungkin, sebelum lain kali mulut
(atau jari-jari) ‘gatal’ ingin
beraksi, ada baiknya kita pikir-pikir dulu beberapa kemungkinan di bawah ini:
1.
Apa
alasannya dan apa untungnya bagi Anda?
2.
Jika
mereka tahu ulah Anda dan membalas dengan melabrak Anda (atau menuntut secara
hukum dengan pasal perbuatan tak menyenangkan atau pencemaran nama baik –
terutama di social media), Anda sudah siap? Kalau mereka anteng-anteng aja,
siap-siap Anda yang jadi kelihatan konyol dan memalukan di mata dunia. (Itu
kalau Anda masih peduli dan tahu diri, ya!)
3.
Memangnya
Anda siapa, merasa berhak mengatur-atur si A harus jadian sama siapa? Kalau
Anda ternyata ketahuan diam-diam naksir si A, bukankah Anda hanya akan
dipandang sebagai sosok pencemburu, iri, dan pendengki? Hiiih!
4.
Lama-lama
jumlah teman Anda berkurang, kecuali mereka yang sesama tukang (dan penikmat)
gosip. Memang sih, sahabat sejati harusnya bisa menerima Anda apa adanya. Cuma,
jangan juga Anda jadi keenakan sehingga malah terus memelihara kebiasaan buruk
ini. Percuma juga Anda mencari pembenaran dengan alasan “Cuma ingin jujur” atau “Emang
kenyataannya dia kayak gitu, kok!” Terus, Anda harus menjadikannya masalah
pribadi Anda, begitu?
5.
Kata
siapa kebiasaan ini nggak akan mempengaruhi karir maupun relationship Anda?
Zaman sekarang, pihak HR perusahaan juga memantau kegiatan social media
karyawan mereka. (Lain cerita kalau Anda
men-setting akun Anda hingga tidak bisa diakses semua orang – atau Anda malah
tidak punya sama sekali.) Meski awalnya HANYA menggosipkan selebriti yang
tidak kenal secara pribadi dengan Anda, sadar tidak sadar Anda bisa lama-lama
bablas – beralih ngomongin keluarga, teman, rekan kerja, dan bahkan pasangan
Anda – ke banyak orang. Bukan tidak mungkin pihak perusahaan akan berpikir
sekian kali untuk menerima / mempertahankan Anda. Takutnya aib orang sekantor
(atau parahnya, RAHASIA PERUSAHAAN!) Anda sebar-sebar.
Pasangan
mungkin lama-lama bisa hengkang bila tiap kali berdua, yang Anda bahas / kritik
hanya kehidupan asmara orang lain, seolah-olah Anda yang paling ahli dan tidak
ada topik lain. Capek nggak, sih? Bukan nggak mungkin lagi bahwa Anda juga akan
menggunjingkan pasangan setiap kali berselisih – atau mungkin malah setelah
putus! Lupakan predikat “Mantan Elegan”
bila mulut (dan jari-jari) masih saja sulit direm.
6.
Anda
terlihat kurang bahagia, kurang sibuk, atau mungkin keduanya. Butuh kerjaan?
Ingat-ingat
saja pepatah dari Eleanor Roosevelt:
“Small minds discuss people.”
(Terjemahan
gamblang: otak
dangkal bisanya hanya ngomongin orang. Gitu.)
Seorang
rekan lama (yang waktu itu kebetulan sudah menikah) pernah punya teori begini:
“Yang menentukan seseorang
cepat dapat pasangan hidup atau jodoh itu attitude
mereka.”
Jujur,
saya tidak setuju. Ini bukan semata karena saya masih lajang. Mungkin Anda juga
diam-diam suka bertanya-tanya. Si A yang menurut Anda
baik/cantik/ganteng/tajir/soleh(ah)/pokoknya yang bagus-bagus, ternyata masih
melajang hingga kini. Sementara itu, si B yang menurut Anda biasa banget – bahkan banyak kurangnya – malah sudah menikah.
Bagaimana bisa?
Dan
kenapa Anda yang rasanya cukup baik belum dilirik-lirik juga? Apa yang salah?
(Hayo, jangan sampai ‘terjebak’ jadi
sombong!)
Jawabannya
sederhana: semua rahasia Tuhan. Beliau
punya Kebijakan Sendiri yang Anda, saya, dan kita semua belum tentu paham dan
selalu bisa menerima. Manusia hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa.
Sekian.
Bisa
jadi, sosok yang Anda anggap baik dan nyaris mendekati sempurna itu punya ‘aib’ yang tidak terlihat. Begitu pula
sebaliknya, yang Anda pandang sebelah mata gara-gara menurut Anda ‘banyak cacatnya’, mungkin punya
kebaikan yang hanya bisa dilihat sosok yang memilih mereka sebagai pendamping
hidup. Kita tidak pernah tahu. Waktu dan tempat selalu dapat mengubah manusia.
Karena
itulah, saya merasa bahwa teori rekan saya mengenai korelasi attitude
dengan cepat mendapatkan jodoh itu tidak adil. Kesannya orang baru
dinilai ‘baik’ kalau sudah menikah,
sementara yang (masih) lajang (apalagi dianggap kelamaan) dipandang sebagai
pecundang dalam urusan asmara. Terdengar seperti kesombongan akut bagi saya.
Bukankah jodoh itu tak hanya berkah,
tapi juga cobaan – sama seperti kekayaan dan jabatan? Lagipula, semua butuh
proses dan relatif, alias tidak bisa dipaksakan harus sama dan sejalan. Mie
instan saja perlu dimasak dulu!
Seperti
fakta bahwa yang baik tidak selalu berjodoh dengan yang sama baik. Bisa jadi
Tuhan tengah menguji mereka dengan dua hal di bawah ini:
1) Agar
yang baik dapat bersabar dan menjadi inspirasi bagi yang kurang baik.
2) Agar
yang kurang baik dapat memperbaiki diri dengan mencontoh yang baik.
Apakah
mereka akan berhasil? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Mending doakan yang baik-baik
saja daripada hanya nyinyir nggak karuan. Toh, kalau Beliau sudah memutuskan,
Anda mau apa?
Bagaimana?
Masih mau ngomongin juga? Nggak ada topik lain? Jangan sampai nanti giliran
pasangan Anda yang ditanya kenapa dia mau saja sama Anda yang hobi usil dan
nyinyir sama urusan pribadi orang lain. Males banget, ‘kan?
Itu
kalau Anda punya pasangan, lho. Ups,
hihihihi!
R.
(Jakarta,
25 September 2015 – 11:00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar