Senin, 28 September 2015

“SAATNYA BERHENTI (KESERINGAN) ‘TANYA KENAPA?’ “

“Kok dia milih cewek itu? Nggak banget!”
            “Apa sih, yang dia liat dari cowok itu? Yang cakep masih banyak!”
            “Jodohnya kayak gitu. Alamat harus ekstra sabar dia!”
            Sering banget denger komentar-komentar ‘miring’ di atas? Mungkin saat menggosipkan selebriti yang pacaran / menikah dengan sosok yang menurut fans / publik (termasuk Anda?) nggak selevel? Atau mungkin bukan selebriti, tapi dari lingkaran pertemanan sendiri? Atau mungkin itu isi status Anda di social media?
            Atau malah Anda yang (ternyata) jadi bahan obrolan yang demikian? Bila ya, bagaimana rasanya?
            Dalam hal ini, apa peran Anda biasanya? Bila (hanya) sebagai pendengar, apa reaksi Anda? Lama-lama muak akibat energi negatif mereka (habis ngomongin orang lain melulu!) hingga memilih ogah dekat-dekat? Atau malah senang karena ada hiburan ‘gratis’ (dengan kualitas yang udah nggak usah disebut lagi) dan bahkan ikut ‘mengamini’ ucapan mereka – baik secara terang-terangan atau hanya dalam hati saja?
            Apakah Anda pelakunya, yang gemar membagi info tentang seseorang dan opini Anda mengenai mereka ke semua orang, tak peduli mereka suka atau tidak? (Ada kemungkinan kalau begini Anda termasuk yang juga aktif di social media, mungkin bahkan jauh lebih aktif di dunia maya daripada yang nyata.)
            Mungkin Anda akan sewot dan berpendapat: “Suka-suka orang mau bilang apa!” Saya mungkin juga akan membela korban gunjingan Anda: “Suka-suka orang mau milih siapa. Kok jadi Anda yang ribut? Memangnya situ mau, urusan pribadi diusik-usik orang lain? Lain cerita kalo situ emang doyan cari perhatian, apa pun bentuknya!”
            Sadar tidak sadar, kita cenderung menjadi kritikus paling gesit dan berani, bahkan untuk hal-hal yang (belum / enggan) kita ketahui dan pahami. Kalau sudah begini, kita suka lupa bahwa keadaan bisa selalu berbalik. Lain kali Anda bisa jadi bahan pembicaraan orang lain. Jangan langsung marah-marah dulu dan merasa jadi korban pergunjingan paling menderita. Cukup tanyakan pada diri sendiri: pernah khilaf berbuat serupa? Kalau ya, anggap saja karma sedang bekerja memperingatkan Anda. Kalau tidak, anggap saja Anda tengah diberi pelajaran berupa kesabaran serta contoh nyata perbuatan yang tidak perlu Anda tiru, apa pun alasannya.
            Mungkin, sebelum lain kali mulut (atau jari-jari) ‘gatal’ ingin beraksi, ada baiknya kita pikir-pikir dulu beberapa kemungkinan di bawah ini:

1.    Apa alasannya dan apa untungnya bagi Anda?
2.    Jika mereka tahu ulah Anda dan membalas dengan melabrak Anda (atau menuntut secara hukum dengan pasal perbuatan tak menyenangkan atau pencemaran nama baik – terutama di social media), Anda sudah siap? Kalau mereka anteng-anteng aja, siap-siap Anda yang jadi kelihatan konyol dan memalukan di mata dunia. (Itu kalau Anda masih peduli dan tahu diri, ya!)
3.    Memangnya Anda siapa, merasa berhak mengatur-atur si A harus jadian sama siapa? Kalau Anda ternyata ketahuan diam-diam naksir si A, bukankah Anda hanya akan dipandang sebagai sosok pencemburu, iri, dan pendengki? Hiiih!
4.    Lama-lama jumlah teman Anda berkurang, kecuali mereka yang sesama tukang (dan penikmat) gosip. Memang sih, sahabat sejati harusnya bisa menerima Anda apa adanya. Cuma, jangan juga Anda jadi keenakan sehingga malah terus memelihara kebiasaan buruk ini. Percuma juga Anda mencari pembenaran dengan alasan “Cuma ingin jujur” atau “Emang kenyataannya dia kayak gitu, kok!” Terus, Anda harus menjadikannya masalah pribadi Anda, begitu?
5.    Kata siapa kebiasaan ini nggak akan mempengaruhi karir maupun relationship Anda? Zaman sekarang, pihak HR perusahaan juga memantau kegiatan social media karyawan mereka. (Lain cerita kalau Anda men-setting akun Anda hingga tidak bisa diakses semua orang – atau Anda malah tidak punya sama sekali.) Meski awalnya HANYA menggosipkan selebriti yang tidak kenal secara pribadi dengan Anda, sadar tidak sadar Anda bisa lama-lama bablas – beralih ngomongin keluarga, teman, rekan kerja, dan bahkan pasangan Anda – ke banyak orang. Bukan tidak mungkin pihak perusahaan akan berpikir sekian kali untuk menerima / mempertahankan Anda. Takutnya aib orang sekantor (atau parahnya, RAHASIA PERUSAHAAN!) Anda sebar-sebar.

Pasangan mungkin lama-lama bisa hengkang bila tiap kali berdua, yang Anda bahas / kritik hanya kehidupan asmara orang lain, seolah-olah Anda yang paling ahli dan tidak ada topik lain. Capek nggak, sih? Bukan nggak mungkin lagi bahwa Anda juga akan menggunjingkan pasangan setiap kali berselisih – atau mungkin malah setelah putus! Lupakan predikat “Mantan Elegan” bila mulut (dan jari-jari) masih saja sulit direm.

6.    Anda terlihat kurang bahagia, kurang sibuk, atau mungkin keduanya. Butuh kerjaan?

Ingat-ingat saja pepatah dari Eleanor Roosevelt:
“Small minds discuss people.”
(Terjemahan gamblang: otak dangkal bisanya hanya ngomongin orang. Gitu.)
Seorang rekan lama (yang waktu itu kebetulan sudah menikah) pernah punya teori begini:
“Yang menentukan seseorang cepat dapat pasangan hidup atau jodoh itu attitude  mereka.”
Jujur, saya tidak setuju. Ini bukan semata karena saya masih lajang. Mungkin Anda juga diam-diam suka bertanya-tanya. Si A yang menurut Anda baik/cantik/ganteng/tajir/soleh(ah)/pokoknya yang bagus-bagus, ternyata masih melajang hingga kini. Sementara itu, si B yang menurut Anda biasa banget – bahkan banyak kurangnya – malah sudah menikah. Bagaimana bisa?
Dan kenapa Anda yang rasanya cukup baik belum dilirik-lirik juga? Apa yang salah? (Hayo, jangan sampai ‘terjebak’ jadi sombong!)
Jawabannya sederhana: semua rahasia Tuhan. Beliau punya Kebijakan Sendiri yang Anda, saya, dan kita semua belum tentu paham dan selalu bisa menerima. Manusia hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Sekian.
Bisa jadi, sosok yang Anda anggap baik dan nyaris mendekati sempurna itu punya ‘aib’ yang tidak terlihat. Begitu pula sebaliknya, yang Anda pandang sebelah mata gara-gara menurut Anda ‘banyak cacatnya’, mungkin punya kebaikan yang hanya bisa dilihat sosok yang memilih mereka sebagai pendamping hidup. Kita tidak pernah tahu. Waktu dan tempat selalu dapat mengubah manusia.
Karena itulah, saya merasa bahwa teori rekan saya mengenai korelasi attitude dengan cepat mendapatkan jodoh itu tidak adil. Kesannya orang baru dinilai ‘baik’ kalau sudah menikah, sementara yang (masih) lajang (apalagi dianggap kelamaan) dipandang sebagai pecundang dalam urusan asmara. Terdengar seperti kesombongan akut bagi saya.
            Bukankah jodoh itu tak hanya berkah, tapi juga cobaan – sama seperti kekayaan dan jabatan? Lagipula, semua butuh proses dan relatif, alias tidak bisa dipaksakan harus sama dan sejalan. Mie instan saja perlu dimasak dulu!
Seperti fakta bahwa yang baik tidak selalu berjodoh dengan yang sama baik. Bisa jadi Tuhan tengah menguji mereka dengan dua hal di bawah ini:
1)    Agar yang baik dapat bersabar dan menjadi inspirasi bagi yang kurang baik.
2)    Agar yang kurang baik dapat memperbaiki diri dengan mencontoh yang baik.

Apakah mereka akan berhasil? Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Mending doakan yang baik-baik saja daripada hanya nyinyir nggak karuan. Toh, kalau Beliau sudah memutuskan, Anda mau apa?
Bagaimana? Masih mau ngomongin juga? Nggak ada topik lain? Jangan sampai nanti giliran pasangan Anda yang ditanya kenapa dia mau saja sama Anda yang hobi usil dan nyinyir sama urusan pribadi orang lain. Males banget, ‘kan?
Itu kalau Anda punya pasangan, lho. Ups, hihihihi!

R.

(Jakarta, 25 September 2015 – 11:00)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar