Jumat, 20 Juni 2014

"SUATU HARI DI DALAM LIFT..."

Tenang, ini bukan cerita horor. Cuma cukilan mengenai ragam kelakuan 'ajaib' manusia saat memakai lift.
Anak kecil mainan tombol lift, alias memencet semua tombol? Sudah biasa. (Meski demikian, rada ganggu juga saat orang dewasa yang mendampingi mereka - entah ortu atau pengasuh - mendiamkan kelakuan mereka. Secara tidak langsung, anak-anak itu belajar bahwa ternyata mereka bisa sesukanya di ruang publik, tanpa peduli itu mengganggu orang lain.)
Nah, kalau orang dewasa yang begitu? Baru amat mengganggu. Okelah, kadang kita merasa  bosan saat menunggu lift mencapai lantai tujuan kita. Tapi, ayolah. Masa itu harus jadi alasan - atau bahkan pemakluman? Apalagi bila mereka sambil saling terkekeh-kekeh dengan teman mereka (entah apa yang lucu), lalu tanpa sadar memencet tombol lantai tujuan orang lain yang tengah terburu-buru. Akibatnya? Tentu saja, lantai tujuan orang itu terlewat, sementara mereka tidak merasa bersalah sama sekali. Bukannya minta maaf dan buru-buru memencet kembali tombol yang sama, saat orang itu menggerutu dan melototi mereka sambil memencet tombol yang terlewat tadi, reaksi yang didapat cuma berupa komentar: "Duh, galak amat sih, Mbak."
Hmm, sepertinya mereka belum pernah tahu rasanya telat ke kantor, cuma gara-gara terhambat ulah orang kurang kerjaan di lift? Baguslah kalau begitu. Mungkin mereka harus tahu rasanya dulu, setidaknya barang sekali-dua kali.
Ah, sudahlah.
Ada juga yang hobi mengobrol keras-keras di telepon saat di dalam lift. (Gile, sinyal ponselnya kuat juga!) Tak peduli suara mereka - yang belum tentu semerdu Pavarotti atau seempuk Waljinah - memantul di dalam lift. Bergema deh, ibarat di dalam gua. Apalagi saat mereka ngakak atau ngikik. (Yang entah kenapa, sekarang banyak ditulis "Wkwkwk!" Saya bacanya malah "Wekwekwek!" - dan itu tidak sama dengan suara bebek, apalagi angsa!)
Kalau sampai ada 'penunggu gaib' di dalam lift, jangan-jangan mereka sampai pensiun dini karena ngeri mendengar suara tawa itu. Hiii...
Yang juara dalam hal 'paling mengganggu' ada di contoh kasus nomor tiga:
Pernah nggak, Anda buru-buru mengejar lift yang pintunya mau menutup, meski ada orang lain di dalamnya? Apa pasal? Ada beragam kemungkinan:
1.Yang di dalam lift lagi bengong, alias sibuk dengan pikiran sendiri. Bahkan, saking 'sibuk'-nya, mereka seakan tidak 'menjejak' realita. Makanya, kalau sampai tidak ada yang menahan pintu lift untuk Anda meski sedang banyak orang di dalam sana, maklumi saja, deh. Jangankan menyadari kehadiran Anda, jangan-jangan mereka malah lupa punya tangan yang masih bisa dipakai. Apalagi kalau mereka berdiri dekat sekali dengan tombol-tombol di dinding...
2.Mereka...memang...egois. Akui saja, tak perlu memperhalus bahasa segala. Mereka menyadari kehadiran Anda? Ya. Apakah mereka peduli? Sayangnya tidak. Mau Anda sudah ngos-ngosan menghampiri lift dari jauh atau tangan Anda sedang terlalu penuh untuk memencet tombol di dinding luar lift, sama saja. Jangan harap mereka akan tergerak untuk membantu, terutama bila tidak mengenal Anda. Paling-paling mereka hanya menatap Anda dengan ekspresi kosong, sampai kadang Anda khawatir isi lift itu hanya ada...zombie. (Sekali lagi, hiii!)
Dengan kata lain, menurut mereka itu 'DL' - 'derita lo'.
3.Jangan-jangan...mereka memang bukan manusia sungguhan, alias cuma pajangan...atau...hiii!
Oke, yang nomor tiga barusan cuma sindiran.
Shock therapy juga belum tentu berhasil. Pernah tangan saya penuh dengan dompet dan secangkir kopi panas saat mau buru-buru masuk ke dalam lift yang pintunya akan segera menutup. Celakanya, di dalam lift sedang banyak orang - namun tak satu pun yang bersedia menahan pintunya untuk saya, meski jelas-jelas masih ada tempat. Saking geramnya (terutama karena saya juga buru-buru dan malas menunggu lift berikutnya), saya tendang saja pintu lift hingga kembali terbuka. Yang di dalam kaget? Pastinya.
"Terima kasih ya, atas bantuannya," sengaja saya sindir keras-keras saat sudah di dalam lift. Krik...krik...krik...tak ada respon. Mungkin mereka malu, ngeri melihat reaksi saya barusan, menganggap saya mahluk menyebalkan dan sok jagoan, atau - yang paling parah - tidak peduli.
Entahlah. Yang saya tahu sih, mereka manusia sungguhan - bukan sekedar pajangan, apalagi 'jadi-jadian'. (JANGAN, DONG!) Tapi, lagi-lagi ya, sudahlah. Namanya juga realita ibukota, yang katanya banyak berisi mereka yang 'berpendidikan'...
R.
(Jakarta, 17 Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar