Apakah ekspresi ke(tidak)bahagiaan Anda?
Memang, pertanyaan di atas termasuk "enggak banget", apalagi kalau ditanyakan saat akhir pekan. Liburan 'kan, harusnya buat senang-senang! Serius amat?
Pernah (merasa?) lagi diomongin orang? Atau suka ngomongin orang? Atau pernah berada di dua posisi itu - jadi obyek pergunjingan atau jadi tukang gunjing itu sendiri?
Pasti pernahlah. Namanya juga manusia. Saya sendiri juga enggan munafik. Meski demikian, ada satu faktor yang membedakan - baik bagi para pelaku maupun korban pergunjingan:
Frekuensi.
Seberapa sering Anda menjadi korban pergunjingan? Sebelumnya, darimana Anda bisa tahu? Ada yang bisik-bisik? Yakin itu sumber terpercaya? Kalau memang (terbukti) benar atau salah, lantas Anda mau apa? Menangis dan merasa menjadi korban paling merana sedunia? Marah-marah? Melabrak si penyebar - kalau bisa sampai pencipta - gosip sampai puas? Atau buru-buru bikin 'pengumuman' ke seluruh dunia kalau Anda tidak seperti yang (selama ini) digunjingkan?
Atau malah diam saja? Sebodo' amat mereka mau ngomong apa. Toh, ini hidup Anda. Kalau benar, mereka mau ngomong apa? Kalau omongan mereka salah, toh mereka juga yang dosa. Ya, asal selama Anda merasa tidak merugikan siapa-siapa. (Kalau Anda sadar tidak sadar sudah pernah menyakiti orang lain...ya, siap-siap saja menerima akibatnya. Namanya juga karma.)
Bagaimana dengan peran Anda sebagai tukang gunjing? Seberapa sering Anda memainkannya? Apa tujuannya?
Bahagiakah Anda bila berhasil menjatuhkan reputasi seseorang lewat gosip yang Anda sebar? Mengapa? Anda kesal karena pernah disakiti, lantas memutuskan balas dendam dengan cara demikian? Anda iri sama dia, karena lebih ekspresif dan berani, sementara Anda diam-diam merasa minder sama diri sendiri? Atau mungkin Anda diam-diam menginginkan pacarnya, hingga Anda gatal ingin menjelek-jelekkan dia yang belum tentu tahu perasaan Anda - atau bahkan tidak pernah jahat sama Anda?
Jika Anda merasakan bahagia karenanya, maka selamat: Anda sukses mengerdilkan mentalitas dan harga diri Anda. Bayangkan, Anda baru merasa hebat setelah kejatuhan orang lain - apalagi gara-gara gosip yang Anda sebar. Entah dimana hebatnya.
Maaf kalau saya terdengar sinis, tapi capek nggak sih, mendengarkan tukang gosip? Yang diomongin / diurus selalu kehidupan orang lain terus. Entah si A yang gaya berpakainnya 'kok gitu', si B yang pacarnya C yang dianggap 'nggak selevel' / 'cantik permakan' / 'cantik modal make-up doang', dan seterusnya. (Yeee, suka-suka orang, dong! Masalah buat Anda? Memangnya hidup Anda sudah paling beres sejagat?)
Yang lucu, nggak hanya orang-orang yang mereka kenal, bahkan random strangers (orang lewat entah siapa) pun kerap jadi korban mulut si tukang gosip. (Salah apa ya, mereka? Kebetulan berdandan 'tak sesuai' selera si tukang gosip - atau memang si tukang gosip sendiri tengah bosan dan mencari-cari bahan pembicaraan? Halo, memangnya Anda siapa? Mereka harus minta izin dulu sama Anda untuk berdandan begitu? Sayang, topik Anda sama sekali nggak mutu!)
Apakah Anda tengah dijauhi teman satu-persatu karena ini? Siapa sih, yang tahan dekat-dekat terlalu lama - bila Anda keseringan meracuni pendengaran mereka? Apalagi kalau mereka pernah menjadi menu racun Anda!
Apakah ini ekspresi ke(tidak)bahagiaan Anda akan hidup Anda sendiri? Kasihan. Sayangnya, hal itu tidak bisa terus-terusan (di)jadi(kan) alasan, apalagi pembenaran. Ayolah, Anda sudah dewasa! Bahagia itu pilihan. Selalu ada pilihan untuk bahagia.
Saya pernah membaca potongan kisah mitologi dari novel "You Belong To Me" karya Mary Higgins Clark (asli, kalau yang ini bukan gosip. Silakan dicari.) Pada zaman dahulu, seorang tukang fitnah mendapatkan hukuman aneh. Ada bantal yang sengaja dikoyak agar bulu-bulu angsa di dalamnya beterbangan ke segala arah. Tugas orang itu adalah segera mengumpulkan kembali bulu-bulu angsa yang sudah terlanjur beterbangan. Pastinya susah. Selamat aja, deh.
Sama sulitnya dengan mengklarifikasi kembali berita bohong yang sudah kepalang Anda sebar, apalagi bila isinya kerap berubah-ubah - entah jadi kurang atau lebih - begitu sampai ke telinga orang ke sekian...
R.
(Jakarta, 7 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar