Selasa, 25 Agustus 2015

"SENYUM BULAN SABIT-MU"

Entah sejak kapan aku berubah menjadi pelukis bulan. Mungkin sejak aku bertemu denganmu. Mungkin juga sejak tanpa sengaja aku membaca status Twitter seseorang tentang bulan sabit...atau mendengar lagu “Firasat”-nya Marcell (yang kemudian dinyanyikan lagi oleh Raisa) :
            “Bulan sabit melengkungkan senyummu...”
            Lalu aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri: apakah memang senyummu seperti itu? Ibarat bulan sabit di tengah gelapnya langit. Setiap malam aku memandang ke atas, mencari-cari bulan. Kadang dia tampak, kadang tertutup awan. Tergantung cuaca hingga polusi ibukota.
            Setelah itu, aku akan menyimpan ingatan tentang bulan itu dalam benakku. Namun, entah kenapa, setiap kali aku berusaha melukiskannya, hasilnya tidak pernah benar-benar mirip aslinya. Bulan sabit, bulan separuh, hingga bulan purnama...semuanya. Hasilnya sama saja; tidak ada yang beres.
            Kusadari bahwa aku selalu memikirkanmu setiap mencoba melukis bulan. Mengapa? Mungkin karena banyak hal yang sepertinya berkaitan dengan bulan. Seperti kita yang dulu sering bertemu di malam hari. Kamu yang sesekali suka memandangi bulan saat kita berbicara. Senyummu yang memang mengingatkanku pada bulan sabit, terutama karena deretan gigi putihmu yang rapi dan kulit legammu. Pipimu yang tidak halus-halus amat karena jerawatan. Yah, lagi-lagi mirip permukaan bulan. Lucunya, aku tidak peduli. Kamu lucu dan selalu dapat menghiburku. Seperti saat bulan purnama yang anehnya selalu mengingatkanmu pada salah satu episode “Sesame Street” yang pernah kau tonton waktu kecil dulu. Cookie Monster menganggap bulan purnama mirip dengan kue kesukaannya, sehingga terobsesi untuk memakannya. Maka, naiklah dia ke atas roket dan melaksanakan niatnya.
            Lalu, apa yang terjadi? Setelah memakan habis bulan purnama, dunia di sekeliling Cookie Monster mendadak gelap-gulita! Rupanya bulan memang tidak boleh (dan tak mungkin pula) dimakan, karena merupakan sumber cahaya di malam hari.
            Untunglah, Cookie Monster hanya bermimpi.
            “Kamu aneh,” tawa dan komentarku waktu itu. Kamu sendiri hanya nyengir dan menjawil daguku dengan gemas.
            “Tapi kamu suka, ‘kan?”
            Ah, ya. Tentu saja.
            Kau hanya menghilang setiap suamiku pulang dari penerbangannya. Tentu lebih baik memang begitu. Sayangnya, tak semudah itu aku melupakanmu. Aku rindu, meski sebaiknya dia memang tak pernah tahu. Ini tak mudah bagiku.
            Karena itulah aku mulai sering melukis bulan. Aku tak mungkin melukis wajahmu di depan dia, suamiku yang sebenarnya tampan – namun lama-kelamaan tampak bosan...dan membosankan...


           
            R.

            (Jakarta, 24 Agustus 2015)

3 komentar: