Entah
sejak kapan aku berubah menjadi pelukis bulan. Mungkin sejak aku bertemu
denganmu. Mungkin juga sejak tanpa sengaja aku membaca status Twitter seseorang tentang bulan
sabit...atau mendengar lagu “Firasat”-nya
Marcell (yang kemudian dinyanyikan lagi oleh Raisa) :
“Bulan
sabit melengkungkan senyummu...”
Lalu
aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri: apakah
memang senyummu seperti itu? Ibarat bulan sabit di tengah gelapnya langit.
Setiap malam aku memandang ke atas, mencari-cari bulan. Kadang dia tampak,
kadang tertutup awan. Tergantung cuaca hingga polusi ibukota.
Setelah itu, aku akan menyimpan
ingatan tentang bulan itu dalam benakku. Namun, entah kenapa, setiap kali aku
berusaha melukiskannya, hasilnya tidak pernah benar-benar mirip aslinya. Bulan
sabit, bulan separuh, hingga bulan purnama...semuanya. Hasilnya sama saja;
tidak ada yang beres.
Kusadari bahwa aku selalu
memikirkanmu setiap mencoba melukis bulan. Mengapa? Mungkin karena banyak hal
yang sepertinya berkaitan dengan bulan. Seperti kita yang dulu sering bertemu
di malam hari. Kamu yang sesekali suka memandangi bulan saat kita berbicara.
Senyummu yang memang mengingatkanku pada bulan sabit, terutama karena deretan
gigi putihmu yang rapi dan kulit legammu. Pipimu yang tidak halus-halus amat
karena jerawatan. Yah, lagi-lagi mirip permukaan bulan. Lucunya, aku tidak
peduli. Kamu lucu dan selalu dapat menghiburku. Seperti saat bulan purnama yang
anehnya selalu mengingatkanmu pada salah satu episode “Sesame Street” yang pernah kau tonton waktu kecil dulu. Cookie Monster menganggap bulan purnama
mirip dengan kue kesukaannya, sehingga terobsesi untuk memakannya. Maka,
naiklah dia ke atas roket dan melaksanakan niatnya.
Lalu, apa yang terjadi? Setelah
memakan habis bulan purnama, dunia di sekeliling Cookie Monster mendadak gelap-gulita! Rupanya bulan memang tidak
boleh (dan tak mungkin pula) dimakan,
karena merupakan sumber cahaya di malam hari.
Untunglah, Cookie Monster hanya bermimpi.
“Kamu
aneh,” tawa dan komentarku waktu itu. Kamu sendiri hanya nyengir dan
menjawil daguku dengan gemas.
“Tapi
kamu suka, ‘kan?”
Ah,
ya. Tentu saja.
Kau hanya menghilang setiap suamiku
pulang dari penerbangannya. Tentu lebih baik memang begitu. Sayangnya, tak
semudah itu aku melupakanmu. Aku rindu, meski sebaiknya dia memang tak pernah
tahu. Ini tak mudah bagiku.
Karena itulah aku mulai sering
melukis bulan. Aku tak mungkin melukis wajahmu di depan dia, suamiku yang
sebenarnya tampan – namun lama-kelamaan tampak bosan...dan membosankan...
R.
(Jakarta, 24 Agustus 2015)
Huwaaaa...
BalasHapusLike it!
duh...selingkuh lagi
BalasHapuskenapa suaminya yang tampan malah disia-siakan? adakah yang salah dengan dia?
BalasHapus