Rabu, 12 Agustus 2015

"TENTANG PENONTON DI BALIK LAYAR"


“What’s the story, morning glory?” nyanyi Liam Gallagher bersama band-nya, Oasis. Mendengarnya, kamu selalu teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat terdekatmu – saat kalian pertama kali bertemu dulu.
            “How are you?”(Apa kabarmu?) Lalu kamu akan berkedip, terdiam sesaat. Entah kenapa, butuh waktu agak lama bagimu untuk menjawab. Kadang bukan karena kamu sedang bersedih, lalu ingin berpura-pura bahwa kamu baik-baik saja.
            Mungkin akan berbeda bila pertanyaan barusan diganti dengan: “Ceritakan tentang dirimu.” Apa? Tidak juga? Yah, baiklah. Mungkin hanya berhasil saat wawancara kerja. (Mau tidak mau harus cerita, dong. Saat itu, kamu bisa cerita tentang yang perlu kamu ceritakan – seperti kenapa kamu melamar / menginginkan pekerjaan itu, apa kelebihanmu, hingga seberapa besar kamu menginginkan pekerjaan itu, dan seterusnya.)
            Bagaimana dengan situasi informal, misalnya saat kumpul dengan teman-teman baru atau...kencan pertama? Oke, untuk sementara – lupakan dulu ‘prospek masa depan’ bernama ‘calon pasangan hidup’. Diammu dan sifat (sok?) misteriusmu kerap menyulitkanmu mencapai kemungkinan itu. Mungkin banyak yang akan menyalahkanmu seperti biasa, tapi...soal jodoh siapa sih, yang benar-benar tahu? Ada juga kok, yang (kelewat) bawel sampai akhirnya ditinggal pergi.
            Ah, sudahlah. Tak perlu saling menuding. Cukup berkaca pada cermin masing-masing. Tak usah menilai diri terlalu rendah / tinggi. Masa mau mengambil-alih pekerjaan Sang Ilahi? Memangnya bisa?
            Apa yang bisa kau ceritakan tentang dirimu pada mereka? Kau, yang selalu merasa sudah terbiasa menjadi sekedar penonton, berdiri di balik layar pula. Kau yang lebih banyak diam dan memperhatikan, lalu merekam semuanya dalam ingatan. Sering kau mengubahnya menjadi sekumpulan aksara bermakna di atas lembar-lembar kertas atau layar laptopmu. Kau merasa bahwa hanya dengan itu, kau dapat ‘berbicara’ dengan lebih jelas, keras, dan lancar – meski belum tentu mereka akan membaca dan (setidaknya berusaha) memahaminya. Setidaknya, dengan itu kamu bisa mengurangi resiko disela dan dicela dengan segera.
            Kau, yang sangat menyayangi ibumu, terutama setelah ayahmu berpulang. Mungkin karena itulah kau lebih memilih diam daripada membuat beliau resah saat ada masalah. Kadang beliau tahu, tapi tak pernah bertanya. Yang lebih sering beliau tanyakan adalah kabarmu, apakah kau akan pulang akhir pekan ini...hal-hal semacam itu.
            Pekerjaanmu? Baik-baik saja. Kau sedikit bertualang, meski setidaknya berhasil mencapai impianmu menjadi penulis yang dibayar. Kau menikmatinya. Bahkan, kadang kau terlalu menyibukkan diri untuk menghindari perasaan kesepian dan kekhawatiran akan perasaan tidak berguna.
            Kau sudah berada di satu saat dimana persahabatan bukan lagi perkara kuantitas. Ya, kau memang berteman dengan semua, namun hanya benar-benar bercerita pada beberapa yang benar-benar kau percaya. (Daftar khusus ini telah melalui seleksi ketat dan bisa berubah kapan saja, tergantung mereka.) Itu pun jarang dan kadang harus dipaksa. Soal cinta? Banyak yang tidak menyadari bahwa kau selalu menempatkan mereka sebagai tokoh utama, meski sayangnya mereka hanya menganggapmu teman biasa – atau malah bukan siapa-siapa.
            Ah, memang belum saja. Sabarlah...
            “Hei, kamu!” tegur sahabat terdekatmu pada satu waktu. “Kamu sadar nggak sih, kalau sebenarnya kamu itu tidak selalu hanya jadi penonton? Banyak juga kok, yang perhatian sama kamu!”

            Benarkah? Jika demikian, mungkin memang sesekali saatmu untuk bercerita. Begitulah, bila kamu adalah aku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar