“What’s the story, morning glory?” nyanyi
Liam Gallagher bersama band-nya,
Oasis. Mendengarnya, kamu selalu teringat dengan pertanyaan salah satu sahabat
terdekatmu – saat kalian pertama kali bertemu dulu.
“How
are you?”(Apa kabarmu?) Lalu
kamu akan berkedip, terdiam sesaat. Entah kenapa, butuh waktu agak lama bagimu
untuk menjawab. Kadang bukan karena kamu sedang bersedih, lalu ingin
berpura-pura bahwa kamu baik-baik saja.
Mungkin akan berbeda bila pertanyaan
barusan diganti dengan: “Ceritakan
tentang dirimu.” Apa? Tidak juga? Yah, baiklah. Mungkin hanya berhasil saat
wawancara kerja. (Mau tidak mau harus cerita, dong. Saat itu, kamu bisa cerita
tentang yang perlu kamu ceritakan – seperti kenapa kamu melamar / menginginkan
pekerjaan itu, apa kelebihanmu, hingga seberapa besar kamu menginginkan
pekerjaan itu, dan seterusnya.)
Bagaimana dengan situasi informal,
misalnya saat kumpul dengan teman-teman baru atau...kencan pertama? Oke, untuk sementara – lupakan dulu ‘prospek masa depan’ bernama ‘calon pasangan hidup’. Diammu dan sifat
(sok?) misteriusmu kerap
menyulitkanmu mencapai kemungkinan itu. Mungkin banyak yang akan menyalahkanmu
seperti biasa, tapi...soal jodoh siapa sih, yang benar-benar tahu? Ada juga
kok, yang (kelewat) bawel sampai akhirnya ditinggal pergi.
Ah, sudahlah. Tak perlu saling
menuding. Cukup berkaca pada cermin masing-masing. Tak usah menilai diri
terlalu rendah / tinggi. Masa mau mengambil-alih pekerjaan Sang Ilahi?
Memangnya bisa?
Apa yang bisa kau ceritakan tentang
dirimu pada mereka? Kau, yang selalu merasa sudah terbiasa menjadi sekedar
penonton, berdiri di balik layar pula. Kau yang lebih banyak diam dan
memperhatikan, lalu merekam semuanya dalam ingatan. Sering kau mengubahnya
menjadi sekumpulan aksara bermakna di atas lembar-lembar kertas atau layar
laptopmu. Kau merasa bahwa hanya dengan itu, kau dapat ‘berbicara’ dengan lebih jelas, keras, dan lancar – meski belum
tentu mereka akan membaca dan (setidaknya berusaha) memahaminya. Setidaknya,
dengan itu kamu bisa mengurangi resiko disela dan dicela dengan segera.
Kau, yang sangat menyayangi ibumu,
terutama setelah ayahmu berpulang. Mungkin karena itulah kau lebih memilih diam
daripada membuat beliau resah saat ada masalah. Kadang beliau tahu, tapi tak
pernah bertanya. Yang lebih sering beliau tanyakan adalah kabarmu, apakah kau
akan pulang akhir pekan ini...hal-hal semacam itu.
Pekerjaanmu? Baik-baik saja. Kau
sedikit bertualang, meski setidaknya berhasil mencapai impianmu menjadi penulis
yang dibayar. Kau menikmatinya. Bahkan, kadang kau terlalu menyibukkan diri
untuk menghindari perasaan kesepian dan kekhawatiran akan perasaan tidak
berguna.
Kau sudah berada di satu saat dimana
persahabatan bukan lagi perkara kuantitas. Ya, kau memang berteman dengan
semua, namun hanya benar-benar bercerita pada beberapa yang benar-benar kau
percaya. (Daftar khusus ini telah melalui seleksi ketat dan bisa berubah kapan
saja, tergantung mereka.) Itu pun jarang dan kadang harus dipaksa. Soal cinta?
Banyak yang tidak menyadari bahwa kau selalu menempatkan mereka sebagai tokoh
utama, meski sayangnya mereka hanya menganggapmu teman biasa – atau malah bukan
siapa-siapa.
Ah, memang belum saja. Sabarlah...
“Hei,
kamu!” tegur sahabat terdekatmu pada satu waktu. “Kamu sadar nggak sih, kalau sebenarnya kamu itu tidak selalu hanya
jadi penonton? Banyak juga kok, yang perhatian sama kamu!”
Benarkah?
Jika demikian, mungkin memang sesekali saatmu untuk bercerita. Begitulah, bila
kamu adalah aku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar