Waktu terasa panjang dan lama
sejak Sang Raja jatuh sakit. Kastil itu sekarang disebut sebagai Kastil Sunyi.
Sang Raja telah kehilangan kemampuannya untuk berjalan maupun berbicara. Beliau
lebih banyak duduk-duduk dan berbaring. Matanya tampak lelah. Sesekali mata itu
meneteskan air mata.
Semua penghuni berduka. Sri Ratu
tak lagi banyak tertawa. Tuan Putri lebih banyak berpura-pura bahwa semuanya
masih sama, baik-baik saja. Pangeran Manis – anak termuda Sang Raja dan Sri
Ratu, sekaligus pewaris tahta kerajaan di masa mendatang – berubah menua
beberapa tahun dalam sekejap. Diam tak dapat menyembunyikan ketakutan yang
tampak di matanya. Pangeran Manis belum siap, meski hanya dia satu-satunya
putra dalam keluarga. Sri Ratu membutuhkannya lebih dari sebelumnya. Jangan
sampai tahta dan seisi Kastil Sunyi jatuh ke tangan orang lain selain keluarga
mereka.
Bagaimana dengan Penjaga Kastil?
Putri kedua Sang Raja dan Sri Ratu yang terang-terangan menolak gelar – maupun
perilaku khas – Tuan Putri ini lebih memilih menjadi Penjaga Kastil, meski
jelas-jelas dia perempuan. Penjaga Kastil memilih melakukan semua yang bisa
dilakukannya, terutama dalam rangka menyembunyikan luka hatinya. Mungkin
karena Penjaga Kastil memiliki kemampuan
seorang empath (dapat merasakan emosi
orang-orang di sekitarnya jauh lebih dalam daripada manusia normal pada
umumnya, terutama bila orang-orang tersebut sangat dia sayangi dan begitu dekat
dengannya), tragedi ini terasa lebih berat baginya. Tak hanya lebih banyak diam dan jarang tertawa, namun Penjaga
Kastil juga lebih sering uring-uringan – dan dia berusaha keras
menyembunyikannya dari semua orang.
Akibatnya, Penjaga Kastil banyak
menebarkan aura – dan energi – negatif. Hanya beberapa teman sejati – biasanya
sesama empath – yang tahan berdekatan
dengannya. Kekasih terakhirnya kehilangan rasa sayang dan berpaling kepada
gadis lain. Tidurnya tak lagi lelap. Tak hanya itu, Penjaga Kastil pun mulai
ikut sering sakit-sakitan. Kadang yang muncul berupa sesak napas, kadang sakit
kepala tak tertahankan. Kalau sudah begitu, Penjaga Kastil harus berbaring dan
kehilangan sehari dalam hidupnya. Benar-benar menjengkelkan!
Ini sama sekali tidak bisa dibenarkan, pikir gadis pemberani itu
dengan gusar. Bagaimana dia bisa melakukan tugasnya, menjaga semua orang dalam
Kastil Sunyi itu, bila dia sering sakit-sakitan begini? Ini tidak boleh
dibiarkan terus!
Namun, apa yang dapat dilakukan
Penjaga Kastil? Semua orang punya masalah masing-masing. Tak banyak tempat
untuk bercerita. Dia merasa sendirian. Apalagi, kerap Sang Raja memandangnya
dengan mata basah oleh air mata, seakan ingin mengatakan sesuatu. Seakan ingin
mengatakan banyak hal yang selama beliau masih dapat berbicara, beliau tak
pernah sempat atau mau mengatakannya.
Hingga suatu saat, lewatlah
seorang tabib di depan Kastil Sunyi. Entah apa yang membuat Penjaga Kastil
tergoda untuk memanggil Sang Tabib dan meminta pengobatan yang paling manjur
untuk baik ayahnya, Sang Raja, dengan dirinya. Apa pun akan dilakukannya untuk
mengembalikan kebahagiaan dan kesehatan semua penghuni kastil itu seperti sedia
kala, terutama agar kastil itu tidak lagi disebut sebagai Kastil Sunyi.
Sang Tabib setuju mengobati
penyakit Penjaga Kastil. Namun, entah kenapa, Sang Tabib tidak begitu antusias
saat diminta untuk mengobati Sang Raja juga.
“Penyakit Paduka sudah
berlangsung terlalu lama,” ucap Sang Tabib, saat memeriksa kesehatan Sang Raja
di tempat tidur. Saat itu, Sang Raja sudah sangat kurus sekali dan nyaris
kehilangan selera makan. Tak hanya itu, beliau mulai sering kehilangan
kesadaran. "Entah apa obat-obatan hamba dapat cukup membantu.”
“Tolonglah, Tabib,” pinta Penjaga
Kastil putus-asa. Tuan Putri menangis, sementara Pangeran Manis tampak
pucat-pasi dalam diamnya. Anehnya, hanya Sri Ratu yang tampak luar biasa
tenang. Penjaga Kastil menatap ibunya yang seakan mengangguk paham pada Sang
Tabib. Entah kenapa, ada perasaan tak enak merambat di dalam hati.
“Baiklah,” akhirnya Sang Tabib
mengalah. Dikeluarkanlah dua botol ramuan – satu untuk Sang Raja dan satu untuk
Penjaga Kastil. Anehnya, beliau tidak memberi apa pun bagi Sri Ratu, Tuan Putri,
maupun Pangeran Manis. Namun saat ditanya oleh Penjaga Kastil, dengan tenang
Sang Tabib menjawab:
“Ampuni hamba, namun hamba hanya
memberikan pengobatan kepada yang membutuhkan.”
Meski masih merasa heran dalam
hati, anehnya Penjaga Kastil tidak bertanya lagi. Diterimanya botol itu dengan
kening berkerut. Lalu, dengan sabar Sang Tabib menjelaskan:
“Itu ramuan mimpi indah,”
ucapnya. “Dengan meminumnya seteguk sekali setiap malam sebelum tidur, maka
Paduka Putri dapat tidur lelap dan tidak merasakan sakit yang mengganggu.
Bahkan, Paduka dapat bertemu dan berbicara dengan siapa pun yang Paduka
inginkan dalam mimpi.”
“Lalu bagaimana dengan botol
itu?” tanya Penjaga Kastil, melihat botol yang satu lagi untuk ayahnya. “Untuk
apa?”
“Yang itu sama,” jelas Sang
Tabib, masih dengan sabar. Setelah itu, Sang Tabib mohon diri. Hanya beberapa
saat setelah keluar dari kastil, sosoknya lenyap dengan cepat.
Malam itu juga, Penjaga Kastil
yang penasaran akan khasiat obat itu segera mencobanya. Setelah sekali teguk,
dia pun jatuh tertidur dan bermimpi.
Dalam mimpi itu, Penjaga Kastil
bertemu Sang Raja di sebuah taman yang sangat indah. Bidadari berpakaian serba
putih berlarian, bermain gembira. Penjaga Kastil melihat ayahnya
sehat-walafiat, kembali seperti sediakala. Beliau dapat berjalan dan berbicara,
tersenyum dan tertawa. Tak ada lagi air mata. Keduanya mengobrol seperti biasa,
seperti dulu sebelum sakit mencuri gerak dan suara Sang Raja dan mengubah
semuanya.
Karena itulah, Penjaga Kastil tak
bahagia saat terbangun dari tidurnya. Saat ke kamar Sang Raja, tampak beliau
kembali seperti sebelumnya – sakit dan terbaring tanpa daya. Merasa kecewa,
Penjaga Kastil tak sabar menanti malam. Kembali dia meneguk ramuan mimpi indah.
Mimpi kedua juga sama. Kali ini,
Penjaga Kastil dan Sang Raja berbincang-bincang tentang buku kesukaan mereka.
Sama seperti waktu Penjaga Kastil masih kecil.
Namun, seperti sebelumnya, mimpi
itu berlangsung begitu singkat. Kembali Penjaga Kastil terbangun dengan
perasaan sedih dan kecewa. Bukankah seharusnya obat itu juga menghilangkan rasa
sakit Sang Raja? Mengapa kondisi beliau masih tetap sama? Kembali Penjaga
Kastil tak sabar menanti malam berikutnya.
Namun, alangkah terkejutnya dia
saat menyadari bahwa isi botol itu tinggal seteguk. Apa yang akan terjadi bila
dia menghabiskannya? Akankah kali ini Sang Raja benar-benar sembuh, karena Sri
Ratu juga menunjukkan bahwa isi botol ramuan mimpi indah untuk Sang Raja juga
sudah tinggal seteguk.
Merasa putus-asa dan tidak punya
pilihan lain, akhirnya Penjaga Kastil itu menghabiskan isi botol ramuan mimpi
indah miliknya. Kembali dia bertemu Sang Raja dalam mimpinya. Namun, kali ini
ada yang berbeda. Sang Raja tidak lagi berbicara. Beliau hanya tersenyum lembut
saat menggandengnya keluar dari taman itu. Di luar gerbang, tampak sosok Sri
Ratu, Tuan Putri, dan Pangeran Manis menantinya.
Penjaga Kastil berpaling pada
ayahnya dengan tatapan bingung. Namun, Sang Raja hanya tersenyum lembut sebelum
mengecup keningnya. Lalu beliau mendorong Penjaga Kastil agar segera menghampiri
keluarga mereka.
“Ta-tapi...” Penjaga Kastil
kembali menoleh. Jantungnya berdebar-debar keras sekali saat menyadari Sang
Raja tak lagi berada di belakangnya. Taman yang indah itu juga hilang.
Dan Penjaga Kastil pun terbangun,
kali ini dengan rasa takut yang luar biasa. Benar saja, saat berlari ke kamar
Sang Raja – tampak penghuni seisi Kastil Sunyi berada di sana. Tuan Putri
menangis keras. Pangeran Manis menyeka air matanya, masih dalam diam. Sementara
itu, Sri Ratu hanya duduk di samping suaminya yang kali ini tak lagi bernyawa.
Wajahnya tampak tenang oleh rasa rela, meski pedih masih di sana.
“Sang Tabib bohong!” pekik
Penjaga Kastil penuh amarah. Air matanya berderai-derai. “Katanya obat itu
dapat menghilangkan rasa sakit!”
“Lihat ayahmu, nak,” pinta Sri
Ratu dengan tenang. Tetes-tetes air matanya mulai menitik, meski beliau masih
berusaha tersenyum. “Sang Tabib sama sekali tidak berbohong.”
Penjaga Kastil tertegun. Sang
Raja tampak seperti tersenyum dalam tidurnya. Tak hanya itu, beliau tidak lagi
tampak kesakitan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar