Minggu, 22 Desember 2013

"DARI PEREMPUAN LAJANG DAN TANPA ANAK"

Bersyukurlah mereka yang diberi kesempatan menjadi seorang ibu di dunia ini. Mau ibu kandung atau tiri...sama saja. Pekerjaan mulia sepanjang masa, dengan tanggung-jawab tanpa henti terhadap perkembangan manusia. Bahkan surga pun ada di bawah telapak kakinya.
            Lantas, bagaimana dengan perempuan yang masih lajang? Bagaimana pula dengan mereka yang belum atau – maaf – tidak dikaruniai keturunan, alias anak kandung? Masih bisakah mereka menjadi – atau disebut – ibu?
            Tentu saja. Kenapa tidak? Semua yang dilakukan dengan niat tulus dari hati selalu mungkin.
            Seorang teman yang pernah berprofesi sebagai pengajar pernah ditanya begini sama anak-anak didiknya yang masih kecil-kecil:
            “Ibu sudah punya anak?”
            Namanya juga anak kecil; belum tentu mereka bermaksud usil. Daripada marah-marah karena menganggap mereka kurang sopan (padahal mungkin memang belum mengerti), teman saya lebih memilih tersenyum sebelum menjawab begini:
            “Punya. Kalian ‘kan, anak-anak Ibu.”
            “Maksudnya yang beneran.” Seperti biasa, ada yang tidak (cepat) puas dengan jawaban teman saya.
            “Maksud kalian anak kandung?” Lagi-lagi teman saya tersenyum saat mereka mengangguk. “Kalau itu belum. Untuk saat ini, kalianlah anak-anak Ibu.”
            “Kok gitu?”
            “Kan Ibu pengganti orang tua kalian selama kalian di sekolah!”
            Alkisah, ada lagi pasangan suami-istri. Keduanya telah menjadi pahlawan bagi lima bayi terlantar yang dibuang di rumah sakit. (Suami berprofesi sebagai dokter.) Berawal dari rasa tak tega, beberapa kali dokter itu membawa pulang bayi yang ditinggal ibunya selepas melahirkan. Tak terasa, sampai lima anak. Berdua mereka sepakat untuk membesarkan anak-anak malang tersebut. (Mereka sendiri tidak pernah dikaruniai anak kandung.)
            Beranjak remaja, dua anak angkat mereka sempat bertengkar dengan sengit. Menyadari betapa tidak miripnya masing-masing (bahkan ada yang usianya terlalu berdekatan, alias hanya beda bulan!), mereka saling menuding:
            “Pasti kamu anak angkat!”
            “Kamu yang anak angkat!”
            Suami-istri itu langsung melerai mereka dan mengumpulkan lima anak itu. Mau tak mau mereka harus menceritakan kebenaran. Tangis kelima anak itu pun pecah.
            “Kenapa?”
            Kedua orang tua angkat mereka menjelaskan bahwa mereka tak pernah tahu siapa ibu-ibu kandung kelima anak itu. Mereka hanya tahu mereka sangat menyayangi kelima anak itu – dan rela membantu, bila suatu saat anak-anak itu ingin melacak keberadaan orang tua kandung masing-masing. (Subhanallah, betapa mulia dan besar hatinya mereka...)
            Hingga cerita ini ditulis, saya tidak tahu apakah anak-anak itu akhirnya berhasil menemukan orang tua kandung mereka masing-masing. Yang pasti, ada yang bisa dipelajari dari dua cerita di atas:
            Tak perlu dengarkan mereka yang beranggapan bahwa Anda belum menjadi perempuan utuh/sempurna bila belum menjadi seorang ibu (kandung). Tak ada manusia sempurna. Menjadi seorang ibu tidak semudah puja-puji Anda yang kerap Anda lontarkan pada mereka. Ada yang lebih dari sekedar warisan DNA. Selain bertaruh nyawa dan segalanya, sering ibu harus berhadapan dengan realita masyarakat patriarki yang hobi ‘mendua’ : ‘katanya’  memuja ibu sebagai sosok perempuan mulia dan terhormat tingkat ‘dewi’, tapi kerap lalai dan abai terhadap hak-hak perempuan...

R.

(Jakarta, 22 Desember 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar