Bersyukurlah
mereka yang diberi kesempatan menjadi seorang ibu di dunia ini. Mau ibu kandung
atau tiri...sama saja. Pekerjaan mulia sepanjang masa, dengan tanggung-jawab
tanpa henti terhadap perkembangan manusia. Bahkan surga pun ada di bawah
telapak kakinya.
Lantas, bagaimana dengan perempuan
yang masih lajang? Bagaimana pula dengan mereka yang belum atau – maaf – tidak dikaruniai keturunan, alias
anak kandung? Masih bisakah mereka menjadi – atau disebut – ibu?
Tentu saja. Kenapa tidak? Semua yang
dilakukan dengan niat tulus dari hati selalu mungkin.
Seorang teman yang pernah berprofesi
sebagai pengajar pernah ditanya begini sama anak-anak didiknya yang masih
kecil-kecil:
“Ibu
sudah punya anak?”
Namanya
juga anak kecil; belum tentu mereka bermaksud usil. Daripada marah-marah karena
menganggap mereka kurang sopan (padahal mungkin memang belum mengerti), teman
saya lebih memilih tersenyum sebelum menjawab begini:
“Punya.
Kalian ‘kan, anak-anak Ibu.”
“Maksudnya
yang beneran.” Seperti biasa, ada yang tidak (cepat) puas
dengan jawaban teman saya.
“Maksud
kalian anak kandung?” Lagi-lagi teman saya tersenyum saat mereka
mengangguk. “Kalau itu belum. Untuk saat
ini, kalianlah anak-anak Ibu.”
“Kok
gitu?”
“Kan
Ibu pengganti orang tua kalian selama kalian di sekolah!”
Alkisah,
ada lagi pasangan suami-istri. Keduanya telah menjadi pahlawan bagi lima bayi
terlantar yang dibuang di rumah sakit. (Suami
berprofesi sebagai dokter.) Berawal dari rasa tak tega, beberapa kali
dokter itu membawa pulang bayi yang ditinggal ibunya selepas melahirkan. Tak
terasa, sampai lima anak. Berdua mereka sepakat untuk membesarkan anak-anak
malang tersebut. (Mereka sendiri tidak
pernah dikaruniai anak kandung.)
Beranjak remaja, dua anak angkat
mereka sempat bertengkar dengan sengit. Menyadari betapa tidak miripnya
masing-masing (bahkan ada yang usianya terlalu berdekatan, alias hanya beda
bulan!), mereka saling menuding:
“Pasti
kamu anak angkat!”
“Kamu
yang anak angkat!”
Suami-istri
itu langsung melerai mereka dan mengumpulkan lima anak itu. Mau tak mau mereka
harus menceritakan kebenaran. Tangis kelima anak itu pun pecah.
“Kenapa?”
Kedua orang tua angkat mereka
menjelaskan bahwa mereka tak pernah tahu siapa ibu-ibu kandung kelima anak itu.
Mereka hanya tahu mereka sangat menyayangi kelima anak itu – dan rela membantu,
bila suatu saat anak-anak itu ingin melacak keberadaan orang tua kandung
masing-masing. (Subhanallah, betapa
mulia dan besar hatinya mereka...)
Hingga cerita ini ditulis, saya
tidak tahu apakah anak-anak itu akhirnya berhasil menemukan orang tua kandung
mereka masing-masing. Yang pasti, ada yang bisa dipelajari dari dua cerita di
atas:
Tak perlu dengarkan mereka yang
beranggapan bahwa Anda belum menjadi perempuan utuh/sempurna bila belum menjadi
seorang ibu (kandung). Tak ada manusia sempurna. Menjadi seorang ibu tidak
semudah puja-puji Anda yang kerap Anda lontarkan pada mereka. Ada yang lebih
dari sekedar warisan DNA. Selain bertaruh nyawa dan segalanya, sering ibu harus
berhadapan dengan realita masyarakat patriarki yang hobi ‘mendua’ : ‘katanya’ memuja ibu sebagai sosok perempuan mulia dan
terhormat tingkat ‘dewi’, tapi kerap
lalai dan abai terhadap hak-hak perempuan...
R.
(Jakarta,
22 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar