Saya yakin, ini bukan cerita
lama. Tentang cinta tak berbalas, cinta tak terucap, hingga cinta terlarang.
Apa gerangan? Cinta kepada sosok yang sebenarnya sudah ‘resmi milik orang lain’. (Nah, lho!)
Pernah mengalami? Kalau tidak, bersyukurlah. (Semoga Anda
jangan sampai pernah mengalami. Idih, amit-amit!)
Bagi yang mengalami (entah sedang atau telah
melewatinya), Anda tak sendiri. Namanya juga manusia, Anda pasti punya banyak
pilihan dalam menghadapinya.
Ada yang merasa malu dan terhina, hingga memutuskan untuk
mati-matian menyembunyikannya. (Mungkin juga mereka/Anda akan berpikir: “Kayak nggak ada yang lain aja!”)
Mengapa? Ah, misteri cinta. Kadang cinta datangnya memang suka-suka. Tanpa
bermaksud membenarkan atau menyalahkan, rasanya tak ada yang benar-benar mudah.
Ada yang menanggapinya dengan ‘sedikit’ lebih santai. Mungkin rasanya seperti cinta, tapi bisa
saja bukan yang sejati. Seperti perubahan cuaca, bisa datang dan pergi. Yang
ini tidak sampai jadi? Masih ada yang lain lagi. (Semoga yang ‘lain lagi’ itu juga masih sendiri dan
tengah mencari ‘seseorang seperti kita’.
Hehe, amin.)
Ada yang memilih untuk ‘memenangkan’ cintanya, bahkan dengan segala cara. Mau sosok itu
sudah terikat secara resmi dengan orang lain (baca: MENIKAH!) atau masih berstatus pacar atau tunangan seseorang,
pokoknya harus segera jadi milik Anda. Namanya juga hak asasi. Boleh dong, kita
mencintai siapa saja? Bukankah hidup ini penuh persaingan?
Saya sedang tidak menuding siapa-siapa. Saya juga tidak
bilang ini mudah bagi yang merasakan. Memangnya siapa sih, yang mau?
Seorang pembaca salah satu majalah perempuan pernah
mengirim sebuah artikel pengakuan. Bukan, bukan dia. Kebetulan, temannya pernah
jatuh cinta dengan suami orang lain.
Singkat cerita, si teman ngotot setelah dinasehati. Atas
nama ‘cinta’, si teman tetap
mengincar lelaki impian – bahkan rela jadi ‘simpanan’,
alias kekasih gelap.
Seperti banyak kasus serupa, akhirnya bisa ditebak.
Lelaki ‘tercinta’ hanya
menjanjikannya ‘suatu hari’. “Suatu hari
nanti kita akan benar-benar bersama.”
Ya, ya, yang benar saja. Pada kenyataannya, lelaki itu tak pernah mau
meninggalkan sang istri.
Lalu teman si pembaca menyadari kalau selama ini dia
diperlakukan ibarat daging busuk. Disimpan di kulkas dan tidak pernah
dikeluarkan. (Entah lupa atau memang sengaja enggan diingat-ingat.) Tak mungkin
juga dipamerkan ke orang-orang.
Lama-lama dia tak tahan dan minta putus. Itulah akhir
ceritanya. Sekian dan terima kasih.
Ada juga yang berhasil membuat sosok idaman akhirnya
meninggalkan pasangan resmi mereka. Dari sini, hasil bisa bervariasi. Ada yang
memang bertahan lama (ya, meski harus ada pihak yang tersakiti, sayangnya.) Ada
yang sampai menuai benci dari banyak pihak. Ada yang akhirnya menyesal setengah
mati, karena kenyataan memang tak selalu seindah impian. (Ya, seperti contoh
cerita teman si pembaca tadi.) Apalagi bila ternyata, sosok impian yang awalnya
sukses jatuh ke pelukan Anda, akhirnya malah meninggalkan Anda demi orang lain
lagi. (Emang enak?)
Ada juga yang memilih untuk mundur teratur, mati-matian
berusaha membunuh perasaan itu – atas nama kehormatan. Yang tidak mengerti
mungkin akan (tetap) memandang mereka dengan sinis, menganggap mereka munafik,
sok kuat, sok suci, in denial, dan
sebagainya. (Baiklah, terserah Anda). Mungkin saja yang tidak mengerti belum
pernah mengalami hal serupa.
Kadang perbuatan baik dan benar tak sejalan dengan
keinginan dan ego pribadi. Memang, tak semua yang (tampak) indah di bumi harus
kita miliki. (Klise sih, tapi saya yakin Anda setuju – atau minimal mencoba
mengerti.) Kadang kita hanya ditakdirkan untuk mengagumi mereka dari jauh saja,
dengan harapan suatu saat nanti...kita pun akan diberi keindahan yang sama –
atau mungkin malah lebih dari itu. Siapa tahu?
R.
(Jakarta,
15 Desember 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar