Jumat, 29 November 2013

"AKU DAN TATO TEMPORER"

Saya penyuka tato temporer, bukan permanen. Selain alasan religius, saya juga mudah bosan. Bayangkan kalau suatu saat tiba-tiba saya harus menghapus tato lama - atau malah menindihnya dengan yang baru, seperti kerjaan Johnny Depp paska putus dari Winona Ryder di tahun '90-an dulu. Belum lagi mahal dan sakitnya itu, hiih!

Mengapa saya menyukai tato temporer? Meski (masih) banyak yang mengidentifikasi tato dengan pemberontakan dan premanisme (alias hak milik para berandal belaka!), bagi saya tato merupakan ekspresi seni. Toh, saya juga tidak sering-sering melakukannya.

Kelas tiga SMA adalah kala pertama saya mencoba tato temporer. Tertarik pada salah satu desain si artis tato, saya mampir ke gerai mereka di sebuah mall. Cukup lama buat mereka untuk melukis seekor kalajengking hitam di leher saya.

Kenapa leher? Waktu itu saya masih berstatus pelajar. Takutnya ada guru yang mempermasalahkan hingga saya terpaksa keluar sekolah sebelum waktunya, alias D.O.

Alhasil, selama dua minggu, saya melindungi tato dari pandangan penghuni sekolah selama jam belajar. Hanya di luar sekolah saya baru berani menguncir rambut. Hehe, badung juga, ya.

Pas kuliah, saya kembali tertarik sama tato. Kali ini seekor kucing hitam 'mangkal' di lengan kiri saya. Setelah itu tak terhitung. Yang terbesar mungkin saat ultah Jakarta di Kemang, dimana saya minta si artis tato menggambar seekor naga raksasa di sepanjang betis kanan saya - tepatnya bagian luar. (Biar kelihatan!) Pengerjaannya memakan 1.5 jam, sampai saya sempat ketiduran di atas karpet Persia. (Untung yang jualan tidak marah, berhubung tempatnya juga pas di sebelah gerai tato.)

Awalnya, ibu saya sering geleng-geleng melihat ulah saya. "Kurang kerjaan," komentar beliau waktu itu. Ada juga teman yang bilang keren. (Sampai ada rekan kerja dari Kanada berkomentar dengan nada kecewa:"Yaah, yang asli, doong!")

Sayang, waktu itu saya belum punya ponsel berkamera dan media sosial belum semarak seperti sekarang. Tapi, saya masih ingat kalau itu salah satu tato terkeren yang pernah saya miliki.

Berikutnya ada tato hati patah dengan tulisan "Love Bites" berwarna hitam di lengan saya saat Valentine. (Jangan tanya.) Lalu, lagi-lagi seekor kalajengking hitam di lengan kiri saat saya berlibur ke Bali bersama sahabat saya tahun lalu. (Sayangnya, kali ini tato itu berakhir dengan gatal-gatal di lengan saya. Hiks, dasar alergi!)

Belum kapok juga, saya kembali mencobanya saat ke Anyer akhir Oktober lalu. Kali ini tato henna sungguhan di tangan kiri saya. Bagaimana saya yakin itu sungguhan? Setelah dilukis, perlahan-lahan kulit tangan saya mulai terasa adem. Saya bahkan tak peduli tato itu hanya bertahan seminggu, karena - kali ini - ibu saya menyukainya. Salah seorang murid saya yang masih SD bahkan berkomentar kalau saya mirip putri India, hahaha!

Ada juga yang mengira saya baru saja menikah. Sambil tertawa saya berkomentar:

"Kalo gitu, harusnya saya ditato sekujur tubuh dong, kayak pengantin Arab sama India sebelum menikah!" (Mohon koreksi saya bila saya salah.)

Sayang, lagi-lagi saya alergi. Tangan saya kembali gatal-gatal, hingga sahabat yang sudah seperti abang sendiri menegur:

"Kayaknya kamu jangan tatoan lagi, deh."

Hiks, kayaknya demikian. Tapi, entahlah kalau suatu saat nanti mendadak saya tergoda lagi. Hihihi...

R.

(Jakarta, 24 November 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar