Minggu, 17 November 2013

"J."

Ada masa dimana kamu pernah menjadi segalanya. Entah apa yang merasukiku saat itu. Yang pasti, aku amat tergila-gila padamu sampai mengorbankan ambisi dan impian pribadiku sejak kecil. Semua hanya agar aku selalu bisa dekat denganmu.
            Tenang, aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Semua pilihan kuambil dalam keadaan sadar.
            Ah, semester satu. Aku akan selalu ingat saat-saat itu. Saat kamu – yang waktu itu belum mengenalku – enteng saja menggenggam tanganku di kelas, hanya karena melihatku gemetar ketakutan di hadapan para senior galak. Saat kita tanpa sengaja jadi sering mengobrol dan nongkrong bareng, hingga akhirnya berteman (cukup) dekat di kampus. Berawal dari main ‘surat-suratan’ di kelas saat jam kuliah. Kalau diingat-ingat lagi, lucu juga. Kelakuan kita mirip anak-anak SMA yang tengah tukeran contekan pas ujian. Untung saja dosen tidak melihat dan menegur. Bisa malu kita nanti.
            Entah apa yang membuatmu waktu itu mau nongkrong denganku. (Harap maklum, saat itu aku masih amat minder.) Bisa kulihat tatapan iri dan penasaran beberapa mahasiswi cantik yang terang-terangan tertarik padamu saat berpapasan dengan kita berdua. Aku tak menyalahkan mereka; cewek normal mana pun pasti ingin berada di posisiku saat itu. Kamu tak hanya tampan, tapi juga berkharisma. Auramu dingin, misterius, dan...ehem, menggiurkan. Rambut ikal gelapmu selalu kamu biarkan tergerai lepas sebahu. Hitam warna favorit pakaianmu.
            Kamu juga teguh dan penuh percaya diri. Kamu termasuk yang tidak peduli dengan omongan orang lain, karena kamu tahu apa yang kamu mau. Waktu itu, diam-diam aku juga berharap sepertimu.
            Senin itu, tiba-tiba kamu mengajakku bolos kuliah sore. Iseng saja, alasanmu waktu itu. Aku pun terpengaruh. Bersama keempat teman sekelas kita lainnya yang juga cowok-cowok (hanya aku yang cewek), kita ramai-ramai naik Timor putihmu ke PIM. Tentu saja, aku mendapatkan ‘kehormatan’ duduk di sampingmu yang pastinya menyetir. Kapan lagi bisa begini?
            Sepanjang jalan kita semua bernyanyi-nyanyi dan bersenda-gurau. Kamu suka ngebut, tapi aku tak peduli. Belum pernah aku sebahagia ini!
            Saat kembali ke kampus untuk nongkrong lagi, langit sudah menggelap. Beruntunglah, waktu itu kampus kita di Depok masih banyak area hijaunya. Udara bertambah sejuk menjelang malam.
            Jon, salah satu teman sekelas kita memberitahu kita kabar bahwa sebenarnya dosen hari itu tidak masuk. Kamu hanya memandangku dengan geli sebelum akhirnya kita terbahak. Berarti tidak ada kuliah hari itu!
            Lalu kita duduk berdua, memandang langit berbintang. Romantis? Tentu saja, hingga kamu mengucapkan sesuatu yang nyaris membuatku terguling dari kursi:
            “B., cariin gue cewek, dong!”
--- // ---
            Ada masa dimana aku ‘gamang’. Bagaimana tidak? Di satu sisi, aku ingin menjadi teman baik – dengan mencarikanmu jodoh. (Meski dalam hati aku bertanya-tanya, apa susahnya cowok setampan dan sebaik kamu mendapatkan pacar. Kulihat pasti banyak yang mau, termasuk aku. Hehe.)
            Di sisi lain, aku enggan. Tentu saja. Aku gila apa, menyakiti diriku sendiri dengan cara demikian? Aku sudah cukup lama berada di dekatmu – dan kamu masih menginginkan cewek lain. Aku kurang apa? Huh!
            Banyak teman yang menyarankan agar aku ‘menembak’-mu duluan. Aduh, mau ditaruh dimana mukaku? Bagaimana kalau kamu menolak, lalu enggan bersahabat denganku lagi?
            “Setidaknya elo tahu persis perasaan dia sama elo, jadi elo gak ‘mati penasaran’ dan buang-buang waktu lagi deketin dia,” kata mereka waktu itu.
            Sayang, tak semua mahasiswi berusia 19 tahun cerdas dan dewasa. Akulah salah satu bukti hidup fakta tersebut. (Sial.) Pada masa itu, banyak yang diam-diam telah kukorbankan hanya untuk selalu berdekatan denganmu.
            Sebenarnya, waktu itu aku sudah lolos audisi untuk ikutan paduan suara universitas yang sudah jaminan mutu. (Beberapa kali mereka sudah pernah bertanding dan tampil di luar negeri.) Coba tebak? Aku melepaskan kesempatan émas’ itu, hanya karena kamu bergabung di klub film yang tengah dirintis salah seorang seniorku. Jadwalnya sering bentrok dengan jadwal latihan paduan suara, jadi aku harus mengorbankan salah satu.
            Di situlah kamu mulai lebih dikenal. Tiba-tiba banyak mahasiswi yang juga ingin mendekatimu. Tampaknya kamu juga menikmati perhatian dari mereka.
            Suatu siang, di tengah-tengah jam istirahat sebelum kuliah sore, Andita menghampiriku. Cewek cantik berkulit putih dan berambut lurus sebahu itu tampak nelangsa.
            “Dia nolak gue!” curhatnya tentangmu. Aku terkesiap. Astaga, nekat juga Andita! Kalau yang secantik dia saja sudah ditolak, bagaimana denganku? Makin takut saja aku.
            Seperti yang sudah diperkirakan beberapa teman terdekatku, aku gagal mencarikanmu jodoh. Sesuai dugaanku, sebenarnya kamu sama sekali tidak perlu bantuanku. Kulihat kamu mulai dekat dengan Diana, salah satu teman kita di klub film.
            Dengan kata lain, kesempatanku tertutup sudah!
            Ajaib, aku masih bisa tersenyum saat memberimu selamat malam itu, saat semua kru film tengah break syuting. Kita makan malam di warung terdekat. Kamu duduk pas di hadapanku. Jujur, belum pernah kamu tampak setampan itu. Mungkin karena kamu juga sangat bahagia. Matamu tampak berbinar-binar saat bercerita pada semua orang tentang Diana. Dadaku jadi semakin sesak. Ah, teman macam apa aku ini?
            “Selamat, ya.”
            “Makasih, B,” katamu sambil tersenyum hangat. Kupaksakan senyum meski mataku mulai memanas. Untunglah, perhatianku segera teralihkan oleh kru lain. Aku menunduk dan tiba-tiba menyadari sesuatu:
            Astaga, ternyata dari tadi aku sudah mencabik-cabik potongan udang di atas piringku dengan sendok dan garpu!
--- // ---
            Malam itu, aku pulang dan menangis di kamarku. Setelah itu, hari-hari penuh perjuangan berat menanti. Ya, hari-hari dimana aku harus pura-pura bahagia, seakan tidak ada apa-apa. Lagi-lagi semua hanya demi kamu. Konyol, ya?
            Semester dua, kita tidak sekelas lagi. Mungkin memang lebih baik begitu. Kita hanya sesekali bertemu, terutama di klub film. Ada yang bilang kamu kangen aku. Wajahmu tampak sedih saat aku lebih memilih bicara dengan kru lain dan jarang denganmu, tak seperti dulu.
            “Kalo emang bener, harusnya dia duluan dong, yang nyamperin gue.” Ah, kadang aku bisa sangat keras kepala. Sebenarnya aku takut. Entah kenapa, aku takut perasaanku akan terbaca jelas olehmu di wajahku. Aku bahkan tak mau tahu, kamu masih pacaran atau lagi sendiri. Kudengar kamu sudah tidak bersama Diana lagi.
            Maafkan aku...
            Semester tiga, kuputuskan untuk total fokus pada diriku sendiri. IPK-ku berantakan. Aku terpaksa keluar dari klub film. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi?
            Untuk sesaat, semuanya terasa lebih ringan. Aku juga bergaul dengan teman-teman lain di luar klub film dan fokus kuliah. Hanya sesekali kita berpapasan, saling tersenyum sopan – dan kaku. Apa boleh buat, kita memang tidak bisa lagi sedekat dulu. Kulihat kamu juga sudah punya pacar baru. Sosok mungil berambut ikal yang beruntung.
            Saat wisuda, lagi-lagi teman-teman dekatku ‘mengompori’.
            “Just tell him how you feel,” saran Putri waktu itu. “Gue liat elo masih penasaran. Nggak usah ngarepin jawaban dia. This is your last chance. Yang penting dia tahu. Kalo lo malu, toh elo gak perlu ketemu dia lagi. Belum tentu juga bakal ketemu lagi dalam waktu yang lama.”
            Sialnya, lagi-lagi aku ‘terprovokasi’. Tapi sepertinya Tuhan tahu yang terbaik untukku. Hingga upacara wisuda berakhir, tak kutemukan juga sosokmu. Sepertinya Tuhan tahu aku takkan kuat.
            Cara terakhir yang kutempuh waktu itu adalah mengirimimu e-mail. Setelah itu, aku hanya bisa pasrah. Wallahu álam...
--- // ---
            Butuh tiga tahun bagiku untuk akhirnya total menghapus semua perasaan ini.
            Kutemukan namamu di media sosial dan ku-add. Kamu menerimaku dengan tangan terbuka. Aku senang? Tentu saja.
            Aku tak pernah tahu apa kamu telah membaca e-mail terakhir dariku. Aku tak pernah dapat balasan apa pun. Mungkin sebaiknya memang tidak usah.
            Mungkin saat kamu membaca ini suatu hari tanpa sengaja, kamu akan tahu dengan sendirinya. Mungkin kamu akan menganggapku menggelikan, mungkin juga tidak. Mungkin kamu juga sudah tidak lagi peduli. Itu hanya masa lalu, toh?
            Yang kutahu, sekarang kamu sudah menikah dan punya anak. Kamu bahagia dan bagiku itu sudah lebih dari cukup.
            Hmm, mungkin ini yang dinamakan ‘move on’...
-selesai-

(Jakarta, 16/9/2013 – 9:45 am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar