Pernah mengalami saat-saat
seperti ini? Kita membaca satu novel dan merasa sedih saat tiba di epilog.
Bukan, bukan karena ceritanya sedih atau bahkan berakhir sedih. Kita tidak
menyadari setelah larut dalam alur, tahu-tahu kita bertemu halaman terakhir.
Rasanya mungkin sama tidak relanya dengan nonton film bagus dan akhirnya harus
berjumpa juga dengan yang namanya credit
title di layar. Maunya teriak (meski mungkin dalam hati) :
“Nggak puaas! Mau
lagi, aah!”
Setelah itu, mungkin
kita akan menonton lagi film yang sama (entah memutar ulang DVD-nya di rumah
atau...rela boros uang hanya untuk membeli tiket lagi di bioskop.) Anda akan
membaca ulang buku itu, kalau perlu sampai sampulnya lecek dan orang bosan
setengah-mati melihat yang kita lakukan. Ibaratnya, kita jadi tampak seperti
orang yang sulit ‘move on’, hehe...
Mungkin kita juga akan bereaksi begini:
“Hmm, kira-kira ada
sekuelnya nggak, ya?”
Sudah lazim bagi
pekerja kreatif (seperti penulis dan sineas) untuk membuat lanjutan dari karya
mereka sebelumnya – entah sekedar taktik jualan atau memenuhi permintaan
penggemar, atau bahkan keduanya. Mungkin karena ide ceritanya menarik dan
menginspirasi. Mungkin juga ada tokoh yang membuat kita jatuh cinta, hingga
kita ingin sekali melihat kelanjutan nasib si tokoh. Apakah sosok idaman (meski
fiktif) itu akan tetap jadi idaman? Akankah kita (dibuat) makin senang – atau
malah kecewa dengan perubahan yang ada, baik sengaja maupun tidak?
Begitu pula dengan dunia nyata.
Pernah ketemu sosok yang memberi pengaruh besar bagi
hidup kita, sampai-sampai kita tidak rela melepasnya pergi? Atau, pernahkah ada
yang merasakan demikian tentang kita, hingga mereka sedih saat kita harus pergi
– atau sedang tidak bisa sering atau terus-terusan bersama mereka?
Apakah kita tahu orangnya? Apakah kita termasuk kategori
yang disebutkan di atas? Bagaimana cara mengetahuinya?
Bayangkan situasi ini: kita pernah ke suatu tempat dan
tinggal cukup lama. Tak hanya menambah jumlah teman selama di sana, mungkin
banyak juga yang lama-lama menganggap kita keluarga – seperti kita menganggap
mereka saudara.
Lalu, suatu saat – tiba-tiba kita harus pergi dan
berpisah dengan mereka. Sedih? Tentu saja. Tapi itulah bagian dari hidup, sama
seperti adegan terakhir dalam film dan epilog dalam novel. Tiada pertemuan
tanpa perpisahan.
Setelah itu, bayangkan bila tiba-tiba takdir (dan usaha
pribadi yang nyata, tentunya) membawa kita kembali ke tempat yang sama. (Semoga
ini kabar bagus, ya.) Coba hitung, ada berapa orang yang berebutan ingin ketemu
kita – begitu tahu kita kembali di antara mereka, sesibuk apa pun mereka
(lagi)?
Saya tidak sedang mengajak Anda untuk ikut ‘kontes kepopuleran’. Setiap insan
diciptakan berbeda. Tak perlu lantas kita berubah menjadi sosok yang selalu
ingin menyenangkan semua orang, terutama hanya agar selalu dirindukan. Tetap
jadilah diri sendiri – dan orang-orang yang ‘tepat’
akan mencari kita, di waktu yang tepat pula.
Sama seperti buku dan film, yang pastinya punya pangsa
pasar masing-masing. Yang pasti, alangkah menyenangkannya bila kita menjadi
sosok yang selalu dinantikan – seperti pembaca novel dan penonton film yang
berharap akan sekuel setelah epilog karya terakhir yang mereka nikmati...
R.
(Jakarta,
22 November 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar