Di ultah ke-32, sahabat yang
sudah seperti abang sendiri memberi saya sepaket DVD untuk olah raga zumba.
Alasannya?
“Kamu pernah bilang kamu tertarik dengan olah raga zumba.
Kamu juga pernah bilang kamu takut berakhir seperti ayahmu.”
Saya tertegun. Jujur, kalimat terakhir sempat membuat
saya sedih. Memang, pada kenyataannya, saya hanya punya kurang dari tiga dekade
untuk memastikan saya takkan berakhir seperti beliau.
Tiga dekade bukan waktu yang lama. Sebaiknya jangan
diremehkan.
Ayah saya memang bukan pria sempurna (seperti halnya
manusia). Beliau pernah kelebihan berat badan, menjadi perokok berat, nyaris
tidak pernah olah raga, pencinta makanan ‘enak-enak’
(berlemak, bergula, sebut sajalah), hingga suka bergadang dan minum kopi hitam.
Kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, masalah jantung...semua beliau punya.
Mungkin selama ini kita merasa akan selalu berada di
posisi enak. Bebas memanjakan diri, mumpung (merasa) masih bisa. Malas
bergerak, dengan alasan (takut) capek dan ogah berkeringat. Sering
menyuruh-nyuruh orang lain, bahkan untuk hal paling sepele sekali pun – yang sebenarnya
masih bisa (dan harus) kita lakukan sendiri. Alasannya? Mulai dari sibuk (entah
sibuk beneran atau sok sibuk), tidak bisa (entah beneran tidak mampu atau hanya
enggan belajar / malas), hingga sekedar...malas. Bahkan, ada komentar orang
malas yang seperti ini:
“Selama masih ada
yang bisa disuruh-suruh, ngapain capek-capek ngerjain sendiri!”
Terserah Anda. Semua
hanya masalah pilihan. Memang, tidak semua (selalu) bisa dikerjakan sendiri.
Ada kalanya kita tetap membutuhkan bantuan orang lain. Sampai sejauh mana?
Apakah lantas kita hanya akan ongkang-ongkang kaki, sementara semuanya
dikerjakan orang lain?
Berkuasa dengan cara demikian atas orang lain mungkin
terasa enak...setidaknya di awal. (Tidak perlu banyak berpikir. Bahkan kalau
bisa, tidak usah berpikir sama sekali.) Tinggal duduk tenang sembari terima
laporan. Kalau masih tidak puas juga, tinggal tunjuk sana-sini. Persis lagu “Radja” – nya /rif.
Bayangkan, bila suatu
saat semuanya mendadak berubah 180 derajat. Saat semua orang pergi, karena
terlalu sibuk atau enggan disuruh-suruh lagi. (Yang masih ‘tidak sadar’ juga biasanya kembali berusaha mencari orang-orang
lain lagi yang bisa disuruh-suruh.)
Bayangkan, bila semua yang dulu pernah kita sepelekan
mendadak hilang. Tiba-tiba kita tidak bisa lagi berpikir – dan berbicara.
Bayangkan Anda bangun suatu pagi dan tiba-tiba tidak bisa berjalan lagi, meski
sebenarnya masih punya kaki.
Bayangkan ayah saya, yang sudah berjuang melawan stroke
selama 4.5 tahun terakhir. Bayangkan orang-orang lain di luar sana yang
perjuangannya mungkin jauh lebih berat dan panjang.
Saya rasa, membayangkannya saja sudah lebih dari cukup.
Semoga kita (yang masih diberi kesempatan untuk bergerak tanpa batas) tidak
perlu sampai mengalaminya sendiri, apalagi di usia senja nanti.
Banyak hal sederhana di dunia ini yang sebenarnya wajib
diperjuangkan dan haram disepelekan. Salah satunya: kesehatan. Tak hanya untuk kini, tapi juga nanti. Tak hanya untuk
diri, tapi juga bersama.
R.
(Jakarta,
8 November 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar