Rabu, 13 November 2013

"HANYA UNTUK DIRI"

Di ultah ke-32, sahabat yang sudah seperti abang sendiri memberi saya sepaket DVD untuk olah raga zumba. Alasannya?

            “Kamu pernah bilang kamu tertarik dengan olah raga zumba. Kamu juga pernah bilang kamu takut berakhir seperti ayahmu.”

            Saya tertegun. Jujur, kalimat terakhir sempat membuat saya sedih. Memang, pada kenyataannya, saya hanya punya kurang dari tiga dekade untuk memastikan saya takkan berakhir seperti beliau.

            Tiga dekade bukan waktu yang lama. Sebaiknya jangan diremehkan.

            Ayah saya memang bukan pria sempurna (seperti halnya manusia). Beliau pernah kelebihan berat badan, menjadi perokok berat, nyaris tidak pernah olah raga, pencinta makanan ‘enak-enak’ (berlemak, bergula, sebut sajalah), hingga suka bergadang dan minum kopi hitam. Kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, masalah jantung...semua beliau punya.

            Mungkin selama ini kita merasa akan selalu berada di posisi enak. Bebas memanjakan diri, mumpung (merasa) masih bisa. Malas bergerak, dengan alasan (takut) capek dan ogah berkeringat. Sering menyuruh-nyuruh orang lain, bahkan untuk hal paling sepele sekali pun – yang sebenarnya masih bisa (dan harus) kita lakukan sendiri. Alasannya? Mulai dari sibuk (entah sibuk beneran atau sok sibuk), tidak bisa (entah beneran tidak mampu atau hanya enggan belajar / malas), hingga sekedar...malas. Bahkan, ada komentar orang malas yang seperti ini:

            “Selama masih ada yang bisa disuruh-suruh, ngapain capek-capek ngerjain sendiri!”

            Terserah Anda. Semua hanya masalah pilihan. Memang, tidak semua (selalu) bisa dikerjakan sendiri. Ada kalanya kita tetap membutuhkan bantuan orang lain. Sampai sejauh mana? Apakah lantas kita hanya akan ongkang-ongkang kaki, sementara semuanya dikerjakan orang lain?

            Berkuasa dengan cara demikian atas orang lain mungkin terasa enak...setidaknya di awal. (Tidak perlu banyak berpikir. Bahkan kalau bisa, tidak usah berpikir sama sekali.) Tinggal duduk tenang sembari terima laporan. Kalau masih tidak puas juga, tinggal tunjuk sana-sini. Persis lagu “Radja” – nya /rif.

            Bayangkan, bila suatu saat semuanya mendadak berubah 180 derajat. Saat semua orang pergi, karena terlalu sibuk atau enggan disuruh-suruh lagi. (Yang masih ‘tidak sadar’ juga biasanya kembali berusaha mencari orang-orang lain lagi yang bisa disuruh-suruh.)

            Bayangkan, bila semua yang dulu pernah kita sepelekan mendadak hilang. Tiba-tiba kita tidak bisa lagi berpikir – dan berbicara. Bayangkan Anda bangun suatu pagi dan tiba-tiba tidak bisa berjalan lagi, meski sebenarnya masih punya kaki.

            Bayangkan ayah saya, yang sudah berjuang melawan stroke selama 4.5 tahun terakhir. Bayangkan orang-orang lain di luar sana yang perjuangannya mungkin jauh lebih berat dan panjang.

            Saya rasa, membayangkannya saja sudah lebih dari cukup. Semoga kita (yang masih diberi kesempatan untuk bergerak tanpa batas) tidak perlu sampai mengalaminya sendiri, apalagi di usia senja nanti.

            Banyak hal sederhana di dunia ini yang sebenarnya wajib diperjuangkan dan haram disepelekan. Salah satunya: kesehatan. Tak hanya untuk kini, tapi juga nanti. Tak hanya untuk diri, tapi juga bersama.

            R.


            (Jakarta, 8 November 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar