Waktu kecil, banyak kenakan khas yang mungkin kamu pernah lakukan. Apalagi kalau kamu tumbuh di era 80-90an. Kayak cerpen atau film zaman dulu, daftar kenakalan khas anak-anak pasti seputar: mencuri mangga dari pohon tetangga, menjahili orang, hingga berantem for the sake of berantem. Udah, gitu aja.
Kalau aku? Hmm, aku sudah pernah cerita soal ini ke sahabatku dan acara radio lokal dulu. Waktu itu, sahabatku baru saja putus dan minta ditemani ke Bandung. Ceritaku ini sempat bikin dia ngakak habis-habisan.
Baguslah. Setidaknya, aku bisa bikin dia berhenti menangis.
Kalau acara radio lokal, sebenarnya waktu itu lagi super random. Di Twitter, mereka membuka sesi curhat dengan tema: “Kenakalan Masa Kecil”. Entah kenapa, ceritaku dianggap menarik. Aku ditelepon penyiarnya dan diminta untuk menceritakan versi lengkapnya…secara ON-AIR.
Seperti sahabatku, kedua penyiar radio pagi itu ngakak hebat. Penasaran? Giliran kalian yang memutuskan.
Kalau mau tahu kisah kenakalanku secara lengkap, silakan tanya Mama. Di sini, aku cuma mau cerita satu saja.
Ada masa di mana Mama enggan mengajakku ke toserba (toko serba ada, yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan convenient store atau mini market. Entah kenapa.) Waktu itu, aku masih TK dan lagi senang-senangnya nonton film kartun. Gara-gara itulah insiden yang sama sempat berulang.
Sumpah, waktu itu aku nggak bermaksud menyusahkan. Aku hanya ingin melihat…anak ayam. Anak ayam, bebek, itik, dan…pokoknya semua unggas yang pastinya bertelur.
PRAK! PRAK!! CEPROT!!!
“RUBYYY!”
Wajah Mama merah-padam oleh geram. Anehnya, waktu itu aku malah cekikikan. Kedua tanganku sudah belepotan kuning telur mentah, sementara pecahan cangkangnya berserakan di lantai swalayan.
“Mau lihat anak ayam/bebek/itik…”
Hanya itu yang selalu jadi alasanku. Nggak kebayang Mama dulu harus membayar ratusan ribu, hanya untuk biaya ganti rugi pecahnya telur-telur itu. Aduh, bila mengingatnya sekarang, aku jadi malu. Ajaib Mama masih sabar punya anak badung sepertiku.
Pernah juga Nini (yang sekarang sudah almarhumah) mengajakku berbelanja. Pulang-pulang, beliau menenteng sekantung plastik…namun berisi telur-telur yang sudah pecah. Mama heran dan langsung bertanya:
“Ma, itu telur udah pada pecah kenapa dibeli?”
Dengan wajah datar, Nini waktu itu hanya menudingku yang – entah kenapa – masih juga berani cekikikan.
“Tanya anakmu.”
Ups.
Kalau sekarang, kami sudah bisa menertawakan ‘insiden telur’ tersebut. Tapi, diam-diam aku khawatir juga.
Duh, nanti kalau sudah punya anak sendiri, bakal kayak begini juga nggak, ya? Kualat, deh!
R.
(Jakarta, 9 September 2016 – ditulis saat Pertemuan Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, Slipi – Petamburan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar