Sekilas,
rumah berlantai tiga di ujung jalan itu tampak suram. Tapi, kamu akan berubah
pikiran bila melihat para penghuninya.
Satu keluarga tinggal di dalamnya.
Ada suami, istri, dan kedua anak mereka. Pasangan itu masih tampak muda untuk
ukuran orang tua dari dua anak yang sudah masuk sekolah dasar.
Sang suami, Adrian, adalah seorang
jaksa penuntut yang sudah berhasil memenjarakan banyak pelaku kriminal. Dia
laki-laki tampan berwajah ramah, dengan kerut samar yang muncul setiap dia
tersenyum. Istrinya, Cara, adalah seorang ibu rumah-tangga sekaligus konsultan
hortikultura dari rumah. Cantik, cerdas, dan kelihatan rajin merawat diri.
Tipikal soccer mom. Rajin
mengantar-jemput kedua anak mereka yang masih sekolah. Menyetir Pontiac Fiero
tua yang masih bagus kondisinya, entah keluaran tahun berapa.
Kedua anak mereka ternyata kembar
berusia delapan tahun. Yang laki-laki bernama Bryan dan yang perempuan Beth,
mungkin panggilan dari ‘Bethany’ atau
‘Elizabeth’. Keduanya juga manis,
baik dan ramah, meski Bryan lebih pendiam. Beth-lah yang rajin menyapaku setiap
kali berpapasan.
“Hi,
Mr. Franks.”
Siang
itu, kedua anak itu saling bergandengan saat masuk ke dalam rumah. Kuperhatikan
mereka, sebelum masuk ke dalam rumah sewaku sendiri di seberang. Ada yang harus
kuselesaikan...
---***---
“Jangan
lupa. Tepat tengah malam.”
Kubaca
lagi SMS dari klienku dengan enggan. Lewat jendela, kuperhatikan rumah itu di
ujung jalan. Tampak sepi dan tenang. Semua penghuninya pasti sudah terlelap.
Kulirik senapan otomatisku dan
menghela napas. Mungkin kamu akan heran, kenapa baru kali ini rasanya berat
menjalankan tugasku.
Untuk pertama kalinya, aku diminta ‘menangani’ satu keluarga, termasuk
perempuan dan anak-anak. Salahku, yang kali ini membiarkan diriku terlalu dekat
dengan targetku sendiri...
(Untuk
Tantangan Mingguan “Monday Flash Fiction” dengan Prompt#125: “Rumah di Ujung
Jalan”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar