Rabu, 19 Oktober 2016

#Lilanna

Foto. Video. Ucapan sayang. Sapaan hangat penuh kasih. Pamer kemesraan sana-sini.
Pokoknya meyakinkan sekali. Buktinya? Banyak yang komen. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang suka, ada yang mencela.
Ada juga yang menghujat dengan sedemikian rupa. Kata mereka, kami perusak moral bangsa. Kami meracuni isi kepala anak-anak muda. Padahal, itu tanggung jawab mereka sebagai orang tua. ‘Kan mereka bisa mengajarkan anak-anak mereka tentang pilihan dan tanggung-jawab.
Malah kami yang (di)jadi(kan) kambing hitam. Huh, malas rasanya. Sepertinya mereka semua masih belum benar-benar dewasa. Semua serba dilarang. Dikit-dikit gampang tergoda.
“Alanna?” panggil Lilo. Aku melirik dan mendapati sosok jangkung, atletis, dan ganteng itu berlutut di sampingku. Berdua kami memandang salah satu foto kami di akun social media-ku.
Di sana, aku tampak sedang memejamkan mata sambil tersenyum. Ada wajah Lilo di leherku, sementara kedua lenganku yang bertato naga hitam raksasa melingkari lengannya. Aku hanya mengenakan bikini, sementara Lilo bertelanjang dada.
“Cukup meyakinkan, nggak?” tanyaku. Kalau melihat semua komen di bawah foto kami, aku sudah tahu jawabannya. Isinya beragam, mulai dari sekadar “aw co cwiiit” ala anak alay sampai makian dengan frase semacam “neraka jahanam”.
“Banget,” jawab Lilo datar. Mendadak ponsel kami berdua berdering. Di layarku ada nama Clarissa. Kulirik sekilas ponsel Lilo. Ada nama David di layarnya.
Kami menjawab ponsel kami berbarengan:
“Hi, baby.”
Yah, beginilah nasib anak tunggal di keluarga. Entah sampai kapan kami berdua harus terus bersandiwara…
R.
(Jakarta, 6 Oktober 2016 – ditulis untuk Tantangan Menulis Mingguan Klub Penulis Couchsurfing Jakarta di Anomali Coffee – Setiabudi One. Topik: “romansa media sosial/social media romance”.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar