Kamis, 23 Juni 2016

"UNTUK DUKA DI DALAM DIAM DAN SUSAH DI BALIK SENYAP..."

Seorang kawan yang lebih bijak pernah mengaku bahwa dia bukan tipe yang suka (terlalu) mengumbar masalah pribadinya di social media. Kalau pun akhirnya bercerita, biasanya dia hanya menunggu dulu sampai masalahnya benar-benar selesai. Itu pun bukan karena ingin minta dikasihani atau mencari simpati. Dia menjadikannya sebagai contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari, dengan harapan pembaca akan terinspirasi dan dapat mengambil hikmah darinya. Tidak ada nama-nama yang disebut sebagai bagian dari peristiwa yang bersangkutan. (Iyalah, nggak etis juga. Salah-salah ada yang tidak suka, merasa difitnah, atau sakit hati karena merasa reputasinya dicoreng. UU ITE bisa dimanfaatkan secara maksimal, tuh. Tidak peduli siapa yang akhirnya terbukti bersalah, intinya tetap merepotkan.)
Masih menurut kawan saya, terlalu sering berkeluh-kesah di social media tidak ada gunanya. Selain terlihat sebagai tukang mengeluh dan kurang bersyukur akan karunia hidup, rasanya juga seperti menebar aib atau kelemahan diri sendiri hingga orang lain. (Boleh lho, kalau ada yang tidak sepakat.)
Makanya, kawan saya ini lebih memilih berpasrah pada Tuhan YME, baik saat sakit secara fisik maupun disakiti orang lain. Kawan ini percaya bahwa selalu akan ada akhir bahagia bagi para penyabar. Hebat sekali, bukan?
Eits, jangan lihat saya dulu. Jangankan nyaris, sedikit mendekati saja sepertinya belum. Bukannya mencari alasan atau tidak mencoba berusaha. Yang pasti, saya sepakat dengan kawan saya dalam satu hal:
Ada kalanya, dalam sebuah perdebatan (apalagi termasuk yang sengit), tidak masalah siapa yang benar dan salah. Menjelaskan satu perkara yang benar kepada pihak yang sedang dikuasai amarah sama saja dengan buang-buang waktu dan tenaga. Apalagi bila mereka hobi banget memotong ucapan lawan bicara, entah karena ingin selalu didengar, dianggap benar, atau yang paling bikin gegar...dua-duanya. Atau mungkin juga sadar bahwa mereka sebenarnya salah, namun masih terlalu gengsi hingga memutuskan untuk mati-matian membela harga diri. Pokoknya melelahkan setengah mati. Sampai mulut berbusa pun sama saja. Lebih baik diam dan menunggu situasi tenang sebelum langkah selanjutnya. Apa itu? Ya, terserah Anda. Mau kembali berusaha menyelesaikan masalah (meski belum tentu juga Anda yang memulai, apalagi salah), membiarkannya mengendap lama hingga ada penyelesaian (entah bagaimana dan kapan), atau tidak lagi menganggapnya sebagai masalah. Terserah bila pihak lawan bicara masih menganggapnya sebagai masalah, selama Anda tetap berusaha berbaik-baik dengan mereka. Kata teman saya yang lain, hidup sebegini singkat kok dibikin berat sama dendam kesumat? Sayang amat.
Mungkin saya sendiri juga sudah berubah cukup kejam bagi beberapa orang yang dulu pernah cukup dekat dengan saya. Jangan salah, ada masa di mana saya sendiri pernah amat membenci saya yang dulu (kata mereka, nih): cengeng (ini pernah ada yang bilang, bahkan kadang dengan seringai mengejek pula),tukang curhat nggak penting (yang celakanya sampai berulang dan yang mendengar membutuhkan terapi musik klasik untuk menghilangkan depresi sekunder, hihihi!), dan...ah, pokoknya semua hal yang kadang bikin saya sendiri sampai berpikir: "Para terapis jiwa itu hebat-hebat, ya? Giliran mereka curhat pada ke mana, ya?" Tidak hanya dibayar untuk menjadi 'tong sampah berjalan' bagi curhatan para klien, namun bonus point mereka adalah bila bisa membantu klien mengolah sampah mereka sendiri agar menjadi sesuatu yang "indah". Sampah beneran saja ada yang bisa didaur ulang jadi sesuatu yang berguna, berarti seharusnya masalah juga bisa begitu, dong?
Buat kupingnya yang sudah pernah mengalami 'kegendutan metaforis' akibat semua curhatan sampah saya, mohon maaf dan terima kasih telah dengan sabar meladeni saya yang kadang lebih mirip konsumen Prozac yang butuh dosis ekstra. Apakah kini saya sudah banyak berubah? Entahlah. Semoga itu pertanda baik, ya. Lagi-lagi saya hanya bisa berusaha.
Maafkan juga bila sekarang saya terkesan dingin dan tidak pedulian dalam menanggapi curhatan Anda seputar beberapa masalah ini: Anda tidak suka gaya berpakaian dan gaya ngomong si A, sentimen sama si B karena satu dan lain hal, hingga lagi musuhan sama si C, entah karena apa. (Bukan karena sekarang bulan puasa saja, tapi sepertinya untuk seterusnya.) Maaf, saya juga peduli dengan kewarasan saya. Jika si A, B, dan C tidak pernah bermasalah sama saya dan sebaliknya, tidak pantaslah berusaha bikin saya ikutan sebal atau marah sama mereka. Astaga, memangnya saya siapa? Belum tentu juga saya kenal-kenal amat sama mereka.
Saya juga mengagumi mereka yang cukup tegar untuk tidak terlalu mengumbar - atau bahkan tidak sama sekali - masalah pribadi mereka di social media. Padahal, bisa jadi masalah mereka jauh lebih berat daripada kita yang seringkali tanpa sadar kebiasaan curhat terbuka soal hal-hal yang lebih remeh, mulai dari slek sama rekan kerja, ribut sama pacar, ditolak idaman, hingga musuhan sama teman.
Bisa jadi mereka sedang menjadi korban kekerasan, baik secara berulang di rumah maupun di tempat lain. Bisa jadi mereka diam-diam memendam trauma...atau sedang dalam masa pemulihan yang tidak mudah.
Bisa jadi mereka juga sedang sakit...dan memilih untuk tidak bercerita pada siapa-siapa, bahkan mungkin Anda yang (merasa) cukup dekat dengan mereka.
Mungkin ada alasan yang takkan pernah Anda ketahui, saat akhirnya mendengar kabar mengejutkan: ternyata mereka telah berpulang. Kalau sudah begini, biasanya Anda hanya bisa berdoa agar arwah mereka tenang di alam sana...
R.
(Jakarta, 21 Juni 2016 - 13:00)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar