“Aah,
liburan tiba juga akhirnya!”
Itulah
ekspresi sangat lega saya sejak terakhir kali bekerja minggu kemarin. Cuma
seminggu, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Liburan ini ibarat surga
dunia bagi para workaholic, terutama
yang akut macam saya. (Bayangkan, enam hari seminggu bekerja tetap – dan sisanya
proyek lepasan kalau lagi ada.) Tak ada stres, lelah, hingga serangan migraine yang berpotensi melumpuhkan
kemampuan berpikir saya untuk sesaat. (Curcol? Biarin.) Ibarat gadget yang keseringan dipakai online, ada saatnya di-recharge. Begitu pun tubuh manusia.
Mustahil Anda mengharap – bahkan memaksa – seseorang untuk terus bekerja tanpa
lelah, kecuali bila manusia super memang hidup beneran di dunia nyata. (Selamat
berharap.)
Apakah
saya lantas ikutan ‘mudik’, seperti
tradisi tahunan warga Jakarta (atau/dan mereka yang hari-hari biasa mencari
penghasilan di ibukota)?
Tidak.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sekeluarga tetap di Jakarta Lebaran ini.
Alasannya:
1.Ayah
saya masih belum bisa diajak jalan-jalan terlalu jauh (baca: luar kota) karena stroke yang sudah diderita beliau selama empat tahun terakhir.
2.Banyak
kerabat bermukim di ibukota. Kenapa tidak berkumpul di sini saja?
3.Minim
budget. (Bukannya pelit, tapi
realistis. Kalau memang dana belum ada, untuk apa memaksa?)
4.Ngeri
lihat berita. (Hmm, mungkin yang ini sebenarnya alasan saya pribadi.) Jumlah
pemudik naik tiap tahun, terutama yang lewat jalan darat pakai motor. Jumlah
korban kecelakaan ikut meningkat, terutama akibat sesama pengguna jalan yang
ugal-ugalan – serasa lupa kemarin-kemarin mereka belajar bersabar lewat puasa.
Singkat
kata: tidak. Terima kasih. Kalau yang masih sanggup dan bersedia
menjalankannya, silakan. Itu masalah pilihan.
Kangen
jalan-jalan? Tentu saja. Jenuh sama Jakarta? Pastinya.
Setelah
pernah tahu rasanya berlibur saat ‘off-season’,
pandangan saya berubah. Apalagi jam kerja saya tidak selazim orang kantor
kebanyakan yang model 9 to 5 – entah lima
atau enam hari seminggu. Saya jadi terbiasa libur saat orang lain kerja – dan juga
sebaliknya. (Meski kadang ‘sesak’ juga
rasanya saat mau bikin janji dengan teman-teman yang jam kerjanya lebih umum.
Selain susah, ada kalanya saya merasa tak enak hati saat mereka menunggui saya
selesai kerja. Kadang malah akhirnya saya tidak bisa ikut serta, serasa
terlempar dari ‘orbit’ bernama
pergaulan sosial. Memang sudah resiko, tapi tetap saja...)
Seperti
sekarang ini. Saya bersyukur bisa menikmati Jakarta yang lebih sunyi dari
biasanya. (Kapan lagi?) Istirahat dari macet, bising, kebanyakan polusi yang
bikin paru-paru kita terlihat sama dengan perokok berat saat dicek dokter –
meski kita sudah mencoba hidup sehat. Tidak perlu takut ditabrak pengendara
motor saat melenggang santai di trotoar yang memang sudah haknya pejalan kaki.
(Yang punya motor tidak perlu merasa tersinggung, ya. Selama Anda bukan
pelakunya, santai saja.)
Memang
benar pepatah orang bijak:
Sering
kita terlalu tenggelam dalam hal-hal besar hingga lupa menghargai yang kecil
dan sederhana, tapi tak kalah penting dan bermakna. Seperti menikmati hari-hari
pendek bebas stres, yang sepi dan damai di ibukota. Tanpa drama, otak dan batin
bisa beristirahat dengan lebih lega.
Kapan
ya, Jakarta bisa seperti ini lagi?
Ah,
sudahlah. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.
R.
(Jakarta,
7 Agustus 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar