Rabu, 31 Juli 2013

"RUBY? RUBI?? RUBBY???"

Bukan bermaksud narsis, tapi memang banyak cerita di balik nama saya. Banyak ejaan dan panggilan berbeda, mulai dari karena salah dengar, salah asumsi, hingga ‘cuma’ tidak peduli.

Orang tua memberi nama saya Ruby Astari. ibu menyukai batu mulia berwarna merah yang dinilai sangat mahal itu. Beliau juga penggemar Astari Rashid. Tampaknya beliau berharap saya tumbuh menjadi pencinta seni sekaligus perempuan anggun dan feminin.

Setidaknya yang pertama terwujud.

Sejak kecil, mayoritas tetangga sekitar rumah memanggil saya Robi. Entah mengapa demikian. Berkali-kali Ibu dan saya membetulkan, “Ruby, bukan Robi.” Masih saja ada yang salah panggil. Lama-lama saya curiga, jangan-jangan mereka tidak peduli. Yang penting saya masih menengok dan menyahut saat dipanggil. (Padahal, saya hanya capek mengoreksi.) Gara-gara itulah saya sempat berspekulasi bahwa itu sindiran. Maklum, saya bukan perempuan feminin sejak kecil.

Kasus salah panggil kerap terjadi saat pertemuan keluarga besar. Memang, kami jarang sekali bertemu. Entah mengapa ada yang memanggil saya ‘Ribby’. Setiap dibetulkan, hasilnya sama saja. Lama-lama saya pun lelah. Sudahlah.

Selain salah panggil, yang juga sering terjadi adalah salah asumsi. Sepengetahuan saya, ‘Ruby’ hanyalah nama untuk perempuan - terutama di dunia barat dan internasional. Anehnya, hanya di Indonesia nama itu diberikan juga untuk laki-laki. Malah lebih banyak yang mengira nama itu ‘hanya’ untuk laki-laki. Beberapa kali saya memperkenalkan diri, ada saja yang berkomentar: “Ruby? Kayak nama cowok!”

Gara-gara itu pula, nama saya sempat ‘nyasar’ ke dalam daftar penduduk laki-laki saat pilkada gubernur. Panitia penyelenggara langsung memindahkannya ke daftar yang benar saat saya muncul dengan KTP saya. Memalukan.

Masih ada lagi, yaitu soal salah eja. Ibu pernah marah besar waktu menerima kartu pasien untuk saya dari salah satu rumah sakit di Jakarta. Di kartu itu tercetak nama ‘RUBBY ASTARI’. Sayangnya, saat beliau menuntut penggantian nama (berikut kartunya), tidak ada tindakan apa-apa. Dari SD hingga kuliah, nama saya di kartu pasien RS tersebut masih sama.

Hingga saat dompet saya kecopetan. Berhubung malas meminta penggantian kartu dari RS yang sama, saya mendaftar ke rumah sakit lain dan untungnya kali ini nama saya dicetak dengan benar.

Ada juga yang berulang-kali menulis nama saya dengan: ‘RUBI ASTARI’. Boleh saja berdebat dengan alasan bunyinya tetap sama atau orang Indonesia tidak terbiasa melafalkan akhiran ‘y’ sebagai ‘i’. Argumen saya tetap sama: bukan itu nama yang tercantum dalam akte kelahiran, KTP, maupun CV saya.

Bahkan, ratu talkshow dari Amerika Serikat pun mengalami nasib yang membuatnya terpaksa mengganti nama. Bayangkan, hanya karena kesalahan pencatatan sipil, nama Orpah Winfrey bisa menjadi Oprah Winfrey. Untung nama itu membawa hoki.

Seorang rekan melihat bahwa masih banyak orang tua di Indonesia yang memberi nama anak tanpa riset lebih lanjut. Selain nama saya yang ‘kata mereka’ seperti nama laki-laki, rekan saya mengenal seorang laki-laki bernama Eva. (Eva / Hawa adalah istri Nabi Adam AS.) Padahal, asal terdengar keren tanpa benar-benar mengetahui arti dan asal nama tersebut, sang anak bisa menghadapi kesulitan nantinya. Contoh: apabila laki-laki yang bernama Eva tersebut pergi ke luar negeri dan berinteraksi dengan orang-orang yang mengetahui arti dan asal namanya, bukan tidak mungkin nanti dia akan ditertawakan. Belum lagi masalah asumsi petugas catatan administrasi di bagian imigrasi. Bagaimana kalau nasibnya seperti saya saat pilkada gubernur, meski kali ini dengan alasan valid bahwa Eva sebenarnya memang nama untuk hanya perempuan?

Mungkin banyak yang akan menuduh saya terlalu sensitif perihal nama. Yang gemar menggampangkan masalah juga pasti berdalih dengan alasan: “Ah, cuma beda satu huruf. Ribut amat!”

Entah apa mereka masih berargumen demikian, jika suatu saat mereka batal ke Eropa - ‘cuma’ gara-gara nama yang tercantum di tiket selisih satu huruf dengan yang ada di paspor. Atau seperti yang dialami seorang mahasiswa dari Florida. Zachary Garcia sempat panik setengah mati saat iseng meng-google namanya sendiri dan menemukan fotonya sebagai tersangka pembunuhan. Usut punya usut, ternyata kepolisian Folk County Office keliru memasukkan biodata dan foto Zachary dengan pelaku sebenarnya dengan nama ZACHERY GARCIA.

Dalam hal ini, hanya satu yang perlu diingat: komputer hanya menyimpan data yang disimpan manusia. Masih mau meremehkan nama yang salah dieja?

R.

( 04 August 2011 | 17:42)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar