"Hahaha, bego lu! Masa gitu aja gak bisa / ngerti?"
"Logika lo dimana, sih? Otak lo ketinggalan?"
"Dasar goblok! Idiot!!"
Sering dengar ucapan-ucapan bernada kasar di atas? Dari orang-orang tersayang, mungkin? (Sayang sekali.)
Jika Anda merasa nggak nyaman membaca makian-makian di atas, bersyukurlah. Berarti Anda masih manusia yang punya hati (terlepas dari sosok-sosok 'sok jagoan' di luar sana yang mungkin akan menganggap Anda terlalu cengeng, lembek seperti tempe, dan kelewat sensi. "Payah, baru gitu aja udah tersinggung!" Halooo, siapa sih, yang senang dihina-hina - apalagi di muka umum pula?!)
Saya sadar, dulu saya bukan murid langganan ranking tinggi. Prestasi saya ibarat berat badan saya - sama-sama senang main yo-yo. (Hehe.) Kadang naik, kadang turun. (Andai saja tidak kebalik - yang prestasi naik terus, berat badan kalo bisa turun terus.) Belum lagi harus minta bantuan tutor sepulang sekolah. Jujur, saat itu saya sempat merasa 'bodoh'. Apalagi banyak ucapan bernada kecewa ditujukan pada saya, seperti: "Kalo orang lain bisa, kenapa kamu enggak?"
Hal itu diperparah sistem pendidikan di Indonesia. Kayak sistem pembagian IPA dan IPS, serta 'pendewaan' jurusan IPA oleh sejuta umat. Ortu lebih bangga bila anak mereka lulusan IPA. (Kayaknya, hingga kini masih banyak juga ortu yang bercita-cita punya anak dokter.)
Nggak hanya itu. Seseorang baru dianggap cerdas kalo tahu banyak hal, alias mampu mengingat banyak fakta. (Baca = menghapal.) Selain itu, pasti langsung dituduh kurang atau nggak pernah baca...atau dianggap kurang atau nggak cerdas. Sesederhana itu. Yang berpikir kritis malah masih dianggap pembangkang yang nggak tahu aturan atau sopan-santun.
Saking 'silau'-nya sama gelar dan IQ ("Wah, dia punya dua gelar S1!" atau "IQ-nya ada 180!"), banyak yang suka lupa bahwa - sama seperti rezeki dan jodoh - kecerdasan pun berkah dari Allah. Bukannya nakutin, tapi berhak lagi-lagi bisa diambil kembali bila yang diberi menjadi sombong dan lupa daratan. (Apalagi bila disumpahi sama yang sakit hati.) Apa gunanya bila cerdas tapi nggak bisa jaga perasaan orang? Apa gunanya gelar bila hanya dipamerkan? Bukankah pada dasarnya manusia saling membutuhkan? Ngapain malah saling merendahkan?
Mungkin orang-orang yang hobi memaki-maki Anda merasa lebih cerdas dan berhak mencari pembenaran atas perbuatan mereka yang menyakiti hati Anda. Entah karena kehabisan kesabaran, kurang bijak, lelah, hingga ego belaka. Apa pun alasannya, mereka suka lupa bahwa ucapan mereka hanya akan mengundang rasa benci, bukan simpati. Selain itu, sebenarnya mereka juga pencinta standar ganda: mereka sendiri juga nggak suka dimaki-maki.
Terlepas dari siapa yang benar dan salah, mengapa harus berdialog dengan makian? Bukankah masih banyak cara lain yang lebih elegan? Hayo, ngakunya cerdas??
Lagi-lagi, kita rajin diingatkan (agar bisa saling mengingatkan) untuk belajar merendah - terutama di bulan puasa ini. Tundukkan ego, agar tidak menyesal di kemudian hari. Semoga setelah Ramadan kali ini, kita menjadi pribadi yang lebih cerdas luar-dalam - bukan sekedar gelar. Amin ya rabbal áalamiin...
Seperti biasa, semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.
R.
(Jakarta, 14 Juli 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar