Saya tidak anti pernikahan.
Saya juga tidak sedang dalam penyangkalan akut atau sok tidak butuh laki-laki.
(Nggak mungkinlah. Manusia pada dasarnya egois, sekaligus saling membutuhkan.
Dasar mahluk kontradiktif – alias cenderung labil nan galau!)
Jujur, lebih dari sekali
saya tergoda untuk menulis status macam ini di media sosial:
“Kenapa
ya, sepertinya hanya di Indonesia para lajang dibikin merasa minder dan
insecure tiap kali datang ke kawinan?”
Hehe, itu memang sindiran.
Setelah melewati masa-masa cukup ‘rentan’
(usia 25 – 30), entah kenapa saya malah mulai merasa lebih santai. Mungkin
banyak yang menyangka saya gila, tapi saya sudah tidak mau begitu peduli lagi –
apalagi sampai harus pusing / dipusingkan. Kenapa?
Mungkin karena saya sudah
ikhlas menerima sisi realita yang satu ini – dan hanya mencoba berbahagia. Itu
saja. Sebenarnya mudah, andai saja tidak sering direcoki lingkungan sekitar
yang hobi membuat seseorang merasa ‘kurang’.
Mewakili para perempuan
lajang (terutama yang usia 30+) yang sering ‘diusik-usik’
akan status kelajangan kami, kadang saya merasa agak terganggu. Apa salah kami?
Percaya deh, tidak ada niat saya untuk tetap sendiri di umur segini. Kalau pun
ada yang memutuskan untuk tetap melajang, kenapa malah Anda yang harus ribut?
‘Kan pilihan pribadi. Hak asasi!
“Ya,
tapi ini ‘kan Indonesia!”
Ya, ya, ya. Lagi-lagi
argumen yang sama. Sulit sekali menjadi diri sendiri di negeri ini, meski
(katanya) menganut asas demokrasi. Hihihi.
Saya bukannya sinis sama
orang yang menikah, mau menikah, atau bahkan ide pernikahan itu sendiri.
Serius. Kalau mereka yang memilih demikian dan bisa berbahagia karenanya,
kenapa tidak?
Kalau suatu saat giliran
saya (akhirnya) tiba, kenapa tidak?
Yang mengganggu adalah saat
mereka menjadikan pernikahan sebagai ‘ajang
kompetisi’ – sadar tidak sadar. Buru-buru menikah agar segera ganti ‘status’, supaya bisa dibanggakan.
Buru-buru menikah untuk membalap umur, agar sesuai patokan lingkungan sosial.
(Kalau tidak, siap-siap saja dicap ‘bujang
lapuk’ / ‘perawan tua’!) Buru-buru menikah supaya nggak ketinggalan sama
teman-teman atau saudara yang sudah. Buru-buru cari pacar untuk segera menikah,
agar tidak dituduh ‘melanggar kodrat’.(???)
Bahkan ada yang sampai diam saja dan merasa ‘down’
saat beragam komentar ‘miring’ menyerang,
menyamakan orang dengan barang dagangan. (“Belum
laku?”)
“Ya,
wajarlah kalo gitu. Biar makin termotivasi untuk segera menikah!”
Nah, lho!
Sebenarnya, sesuatu dianggap
wajar bila ‘dikondisikan’ demikian
dan diaminkan sejuta umat. Sama wajarnya dengan perbedaan.
Setiap orang punya alasan
tersendiri untuk menikah. Yang pasti, saya enggan melakukannya untuk alasan
yang (menurut saya, lho) salah. ‘Kan niatnya untuk sekali seumur hidup!
Menikahlah untuk tujuan
mulia menurut versi Anda masing-masing, tapi tolong. Tak perlu ‘mengusik-usik’ si lajang; cukup doakan
agar segera menyusul dan berbahagia. Tak perlu berkomentar ‘merendahkan’ hanya karena mereka belum dapat giliran. Jangan
kotori ibadah suci dengan menciptakan sifat iri dan dengki di hati mereka.
Nggak mau ‘kan, kalau sampai didoakan yang ‘tidak-tidak’?
(Bukannya berniat ngancam, lho!)
R.
(Jakarta, 30/6/2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar