"Let's move on!"
Ajakan itu selalu terdengar manis dan positif. Memang lebih baik bila kita tidak melulu berkutat pada masalah yang sama, dengan urusan yang itu-itu saja. Manusia yang mau berkembang harus berani maju. Jangan stuck di tempat yang sama terus.
Maunya sih, semua juga gitu. Hehe...
Memang ngomong selalu lebih gampang, apalagi bagi mereka yang (setidaknya merasa) sudah melalui ujian 'maha berat' dan berniat 'mulia' untuk menyemangati orang lain yang tengah berkubang masalah. Ada juga yang (masih?) mengira kalo yang butuh 'move on' hanya mereka yang lagi patah hati.
Kadang 'moving on' baru benar-benar lancar jaya bila lingkungan sekitar juga mendukung. (Baca = tidak lagi mengungkit-ungkit masa lalu, apalagi sampai membahasnya panjang-lebar - yang bisa berbuntut saling menuduh dan menyalahkan. Kalo masalah sudah selesai, sebaiknya nggak dibahas lagi - apalagi sampai berlarut-larut yang kemudian berujung pada perkara baru!)
Gimana kalo kita sebenarnya sudah siap untuk 'move on', tapi lingkungan sekitar masih juga tidak mendukung? Contoh: saat kita baru saja mencoba membangun (kembali) kepercayaan diri kita yang sempat hancur akibat kegagalan di masa lalu atau peristiwa yang menyakitkan dan traumatis (semoga nggak sampai segitunya, ya), masih saja ada orang-orang yang masih saja menyinggung ketidaksempurnaan kita.
Yang sudah cukup percaya diri dan kuat iman mungkin memilih cuek dan menganggap suara-suara sumbang sebagai angin lalu. Ada juga yang berusaha keras membuktikan bahwa pendapat orang lain yang - maaf - hobi nyinyir dan mencampuri urusan pribadi mereka, salah besar. Misalnya, Anda baru saja putus dari kekasih dan buru-buru mencari yang baru agar tidak dicap 'nggak laku'.(Entah kenapa masih aja ada yang menyamakan manusia dengan barang dagangan, hehe.)
Ada yang memilih untuk menyendiri untuk sementara waktu. Entah menjauh dari semua tempat yang mengingatkan mereka akan peristiwa nggak enak tersebut, menjaga jarak dengan orang-orang usil yang selalu ingin tahu masalah mereka dan hobi mencari-cari kesalahan mereka, dan menyibukkan diri. (Bahkan, kadang mereka yang mengaku sayang dan mengerti kita sebenarnya tidak selalu paham saat kita tengah mencoba untuk 'move on'.)
Salahkah? Apakah berarti mereka lelah dan hanya pengecut yang hobi melarikan diri, mencari perlindungan, dan enggan menghadapi tantangan?
Mungkin tidak juga. Lagipula, siapa kita yang bisa menilai - terutama bila belum tentu mengalami hal serupa? Bukankah setiap orang punya kapasitas masing-masing dalam menangani masalah?
Banyak orang yang bisa memberi kita jutaan nasihat (yang semoga bermanfaat). Pada akhirnya, keputusan selalu ada di tangan kita: mau segera 'move on' atau stuck di tempat yang sama.
R.
(Jakarta,9 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar