“Tak ada yang salah dengan menjadi yang kedua.”
Benarkah?
Aku sangsi. Entah kenapa aku merasa takdirku seakan selalu menempatkanku
menjadi yang kedua. Contohnya saja, aku anak kedua di keluarga. Tidak apa-apa
sebenarnya, asal aku tidak selalu dibanding-bandingkan dengan kakakku yang
sepertinya punya ‘segalanya’. Wajah
cantik (menurut laki-laki yang mengaguminya, terutama), tinggi langsing, otak
cerdas, karir lancar, hingga kehidupan asmara yang selalu ramai. Setiap rentang
hidupnya selalu ada mantan.
Aku sendiri?
Jangan ditanya. Wajah biasa, postur pendek gempal, otak yang lumayan cerdas
namun tidak seperti dia, karir oke, hingga kehidupan asmaraku yang
nyaris...tidak ada.
Jujur,
kadang rasanya sepi. Apalagi saat kakakku seperti menyita perhatian semua
orang. Saat aku juga butuh perhatian mereka, semua sudah kelelahan. Aku tidak
dapat apa-apa, hingga akhirnya harus berjuang sendirian.
“Untuk apa kamu bersedih?” tanyamu waktu
itu. “Menjadi yang pertama tak selalu
enak. Mereka tak selalu jawara. Ada kalanya mereka lelah dan muak dengan
beragam tuntutan yang ada, seperti tiada habisnya.”
“Benarkah?”
“Tentu saja,” katamu lagi. “Bayangkan,
kamu harus jadi panutan semua orang. Diharapkan agar tidak gagal dan tidak
mudah menyerah. Harus selalu kuat.”
“Tapi kamu selalu mendapatkan perhatian banyak orang,” debatku tak mau kalah. Mungkin hatiku
yang sudah lama sakit akhirnya ikutan bicara. “Nggak ada yang positif dari istilah ‘the second best’.”
“Kata siapa?” bantahmu, namun masih dengan senyum. “Kamu tahu apa yang terjadi bila usaha pertama gagal?”
“Apa?”
“Selalu ada kesempatan kedua. A second chance.”
“Oh.” Dan hatiku pun menghangat. Sahabatku yang anak pertama dari
keluarganya hanya tersenyum sambil mengelus kepalaku, seakan aku juga adiknya
sendiri.
R.
(Jakarta, 27 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar