Rabu, 16 November 2016

"PRIA PENUNGGU PANTAI"

Selama beberapa hari di pantai itu, dia selalu di sana. Duduk di atas bukit berumput, memandangi lautan lepas. Tinggi dan tegap, tampak atletis dengan kaos putih dan celana kargo abu-abu tuanya.

Sebenarnya dia bukan tipeku, meski mungkin banyak wanita lain yang akan terpikat sosoknya. Wajah persegi, kulit coklat sempurna, alis tebal, hidung bangir, dan mata besar yang menyorot tajam bak elang.

Oke, dia lumayan tampan. Hari ketiga liburanku di sana, akhirnya tergoda juga aku. Bukan mendekatinya, meski memang aku naik ke bukit yang sama. Dudukku agak menjauh, sambil mengeluarkan buku sketsa dan peralatan gambarku dari dalam tas kanvas. Tak lama kemudian, aku memulai pada selembar halaman baru.

Tentu saja, karena bukitnya sepi, aku cepat ketahuan. Pria itu menoleh dan langsung tersenyum melihat yang sedang kulakukan. Malah aku yang salah tingkah.

“Lagi gambar apa?”

Kutunjukkan saja, meski malu-malu.

“Bagus,” pujinya tulus, meski yang terlihat di halaman itu baru garis dahi, hidung, bibir, dan dagunya. Aku senang sekali. “Terusin, dong.”

Aku menurut. Tidak butuh waktu lama sebelum kuperlihatkan lagi hasil akhir sketsa wajahnya. Pria itu tampak terkesan.

“Aku tersanjung,” ujarnya. “Terima kasih, ya.”

“Buatmu?” kutawarkan. Aku bahkan membubuhkan namaku pada bagian kanan bawah halaman: Artemia. Namun, pria itu menggeleng.

“Buatmu saja.” Saat membaca namaku, dia tampak kagum. “Namamu unik. Beda sama namaku.”

“Memang namamu siapa?”

“Raka.”

“Oke, Raka.” Kulihat sunset pertanda matahari sudah siap undur diri dari langit negeri ini. “Panggil saja aku Mia. Aku pulang dulu.”

“Hati-hati ya, Mia.”

Oke.” Baru saja aku berjalan beberapa langkah, ketika mendadak teringat ingin menanyakan sesuatu. Sayang, saat menoleh, Raka sudah tidak ada di tempat. Cepat sekali perginya.

Ah, sudahlah. Besok mungkin masih bisa ketemu lagi...

---//---

Aku memang masih sempat melihat Raka beberapa hari berikutnya, meski hanya saling melambai dari jauh. Sebenarnya ingin mengobrol dengannya lebih jauh, namun entah kenapa kuurungkan. Sepertinya dia tidak ingin diganggu dan aku juga bukan wanita yang mudah mendekati pria.

Hingga sore itu...

Baru saja aku melambai dan tersenyum pada Raka, ketika tiba-tiba terdengar jeritan ngeri dari pantai. Aku berbalik. Rasa ingin tahuku membuatku menghampiri kerumunan orang di sana. Mereka tengah mengelilingi sesuatu.

Dan aku pun melihatnya. Sesosok jenazah tenggelam yang terseret arus hingga ke pantai. Tubuhnya sudah sedikit biru dan bengkak, dengan kaos putih yang sudah kotor tercampur pasir.

Wajahnya...

Kupeluk tas kanvas isi buku sketsaku dengan jantung berdebar-debar. Kuarahkan kembali pandanganku pada puncak bukit, tempat Raka tadi berada.


Dia telah hilang. Pria penunggu pantai itu tidak lagi berada di sana...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar