Selama
beberapa hari di pantai itu, dia selalu di sana. Duduk di atas bukit berumput,
memandangi lautan lepas. Tinggi dan tegap, tampak atletis dengan kaos putih dan
celana kargo abu-abu tuanya.
Sebenarnya
dia bukan tipeku, meski mungkin banyak wanita lain yang akan terpikat sosoknya.
Wajah persegi, kulit coklat sempurna, alis tebal, hidung bangir, dan mata besar
yang menyorot tajam bak elang.
Oke,
dia lumayan tampan. Hari ketiga liburanku di sana, akhirnya tergoda juga aku.
Bukan mendekatinya, meski memang aku naik ke bukit yang sama. Dudukku agak
menjauh, sambil mengeluarkan buku sketsa dan peralatan gambarku dari dalam tas
kanvas. Tak lama kemudian, aku memulai pada selembar halaman baru.
Tentu
saja, karena bukitnya sepi, aku cepat ketahuan. Pria itu menoleh dan langsung
tersenyum melihat yang sedang kulakukan. Malah aku yang salah tingkah.
“Lagi
gambar apa?”
Kutunjukkan
saja, meski malu-malu.
“Bagus,”
pujinya tulus, meski yang terlihat di halaman itu baru garis dahi, hidung,
bibir, dan dagunya. Aku senang sekali. “Terusin, dong.”
Aku
menurut. Tidak butuh waktu lama sebelum kuperlihatkan lagi hasil akhir sketsa
wajahnya. Pria itu tampak terkesan.
“Aku
tersanjung,” ujarnya. “Terima kasih, ya.”
“Buatmu?”
kutawarkan. Aku bahkan membubuhkan namaku pada bagian kanan bawah halaman: Artemia. Namun, pria itu menggeleng.
“Buatmu
saja.” Saat membaca namaku, dia tampak kagum. “Namamu unik. Beda sama namaku.”
“Memang
namamu siapa?”
“Raka.”
“Oke,
Raka.” Kulihat sunset pertanda
matahari sudah siap undur diri dari langit negeri ini. “Panggil saja aku Mia.
Aku pulang dulu.”
“Hati-hati
ya, Mia.”
Oke.”
Baru saja aku berjalan beberapa langkah, ketika mendadak teringat ingin
menanyakan sesuatu. Sayang, saat menoleh, Raka sudah tidak ada di tempat. Cepat
sekali perginya.
Ah,
sudahlah. Besok mungkin masih bisa ketemu lagi...
---//---
Aku
memang masih sempat melihat Raka beberapa hari berikutnya, meski hanya saling
melambai dari jauh. Sebenarnya ingin mengobrol dengannya lebih jauh, namun
entah kenapa kuurungkan. Sepertinya dia tidak ingin diganggu dan aku juga bukan
wanita yang mudah mendekati pria.
Hingga
sore itu...
Baru
saja aku melambai dan tersenyum pada Raka, ketika tiba-tiba terdengar jeritan
ngeri dari pantai. Aku berbalik. Rasa ingin tahuku membuatku menghampiri
kerumunan orang di sana. Mereka tengah mengelilingi sesuatu.
Dan
aku pun melihatnya. Sesosok jenazah tenggelam yang terseret arus hingga ke
pantai. Tubuhnya sudah sedikit biru dan bengkak, dengan kaos putih yang sudah
kotor tercampur pasir.
Wajahnya...
Kupeluk
tas kanvas isi buku sketsaku dengan jantung berdebar-debar. Kuarahkan kembali
pandanganku pada puncak bukit, tempat Raka tadi berada.
Dia
telah hilang. Pria penunggu pantai itu tidak lagi berada di sana...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar