Bertemu
denganmu adalah kesialan. Mengenalmu adalah kesalahan.
Bersamamu setara dengan
kegilaan...meski sesaat.
Ya, mereka semua akan bilang aku
melakukan kesalahan saat denganmu. Aku yang kata mereka sedang rapuh setelah
patah hati terakhirku, sehingga tidak lagi mampu berpikir jernih. Kamu
yang...ah, harus kusebut apa, ya? Bajingan? Tukang cari mangsa yang berjenis
kelamin perempuan?
Pencari selingan? Ah, untungnya jadi
kau, wahai laki-laki yang menganggapku menawan. Yang malam itu cukup lancang
untuk menciumku, bahkan saat kencan pertama.
Yang langsung mengajakku ke kamar
selepas makan malam, saat itu juga. Yang memberi saran konyol berupa role-playing:
“Kita
bisa jadi siapa pun yang kita inginkan malam ini.”
Aku
tersenyum. Ya, malam itu kuikuti saja permainanmu. Kita bisa jadi dua jiwa
kesepian yang mencari pelampiasan. Persetan dengan moral! Aku muak terkungkung
olehnya, sementara kalian para laki-laki bebas ke mana-mana dan “ngapain aja” – bahkan sama “siapa saja”.
Mungkin,
bagimu semua ini sama saja. Hanya rutinitas pengusir kebosanan sang petualang.
Lalu, bagaimana denganku?
Ah, entahlah. Sudahlah, aku tidak
peduli lagi. Yang kutahu, kamu sangat tipikal. Kuyakin banyak sekali laki-laki
sepertimu di luar sana. Ya, meskipun lagi-lagi mereka akan memberikan argumen
basi yang sama, hanya agar aku tidak terlalu kecewa dan memandang suram pada
cinta serta seluruh dunia:
“Tidak
semua laki-laki...”
Heh,
mungkin benar. Tidak semua, tapi banyak, ‘kan? Seperti kamu contohnya. Bebas,
tidak pedulian. Kamu ingin melakukan semuanya tanpa aturan maupun pengamanan.
Sangat tipikal.
Setidaknya, kamu tidak pernah
berpura-pura baik dan bermartabat, seperti mereka yang selalu berharap pada
perawan di pelaminan, sementara mereka sendiri boleh suka-suka.
Pagi itu, kamu masih terlelap di
ranjang kamar hotelmu. Semalam kamu bilang bahwa kamu terbiasa bangun siang,
paling sekitar jam dua.
Cepat-cepat aku berpakaian. Lalu aku
diam-diam keluar dari kamarmu dan kabur lewat tangga darurat gedung itu. Tidak
ada ciuman, berbeda dengan semalam.
Tidak ada ucapan selamat tinggal.
Tidak perlu, karena kita berdua sama-sama tahu. Kita tidak akan bertemu lagi
setelah malam itu. Mungkin kamu akan meneleponku. Mungkin aku yang tidak mau.
Tidak ada untungnya bagiku.
Hanya satu yang mungkin belum kamu
tahu...atau bahkan tidak akan peduli. Malam itu, aku memberimu hadiah dari
mantan suamiku. Mungkin diam-diam kamu juga sudah punya atau barangkali ada
juga yang lainnya.
Tidak masalah. Kita bisa saling
bertukar racun, saling membunuh dalam diam. Tidak perlu bilang-bilang. Toh,
malam itu kita juga sama-sama senang.
Selamat menikmati hadiah terkutuk
dari mantan suamiku, yang pernah dia dapatkan juga entah dari siapa di luar
sana. Yang kini dan selamanya bersemayam dalam tubuhku, membunuh janin yang
pernah kami ciptakan berdua.
Hadiah yang tak pernah kuminta
itulah bentuk penghargaannya...untuk seorang istri yang selama ini setia, penurut,
dan lebih banyak diam di rumah saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar