Senin, 20 April 2015

"SAAT KISAH-KISAH MENYEBAR DENGAN CEPAT..."

Saya masih ingat dongeng yang menjadi latar plot / ilustrasi cerita dalam novel thriller berjudul “You Belong To Me” karya Mary Higgins Clark:
            Alkisah, dahulu hiduplah seorang tukang gosip. Hobinya menyebarkan berita – tanpa dicek dulu kebenarannya alias kemungkinan besar bohong – membuat masyarakat gerah. Bagaimana tidak? Sudah banyak yang jadi korban fitnah.
            Saat ditangkap dan diadili, si tukang gosip mendapatkan hukuman aneh dan merepotkan:
            Sebuah bantal dirobek di lapangan terbuka saat angin tengah bertiup kencang. Tentu saja bulu-bulu angsa yang menjadi isi bantal langsung beterbangan kemana-mana. Si tukang gosip harus mengumpulkan kembali semua bulu angsa yang sudah terpencar dan memasukkannya kembali ke dalam bantal yang sudah robek. Tentu saja ini bukan perkara mudah, sama sulitnya dengan harus mendatangi tiap orang untuk mengoreksi berita bohong yang sudah terlanjur tersebar.
            Terlepas dari benarkah si tukang gosip banyak menyebarkan cerita bohong atau tidak, dari zaman ke zaman – berita semakin menyebar cepat. Tergantung (ingatan atau...kepentingan?) pencerita dan pendengar, nasib kisah pun bisa berubah: menjadi lebih panjang atau malah makin pendek. Kalau sudah begini, mana yang benar, ya? Benar sebenar-benarnya, bukan sekedar yang (ingin) dipercayai orang.
            Lagi-lagi, seperti biasa, hanya Tuhan yang (Maha) Tahu.
            Terdengar familiar? Tentu saja. Entah kenapa, kebanyakan manusia – baik lelaki maupun perempuan – cenderung suka sama rumor, baik sebagai pendengar maupun penyebar. (Tidak perlu ribut soal gender di sini, karena pada kenyataannya – semua manusia sama saja. Tidak perlu mengaku atau membantah juga. Cukup kita berkaca pada diri masing-masing. Sekian.) Terutama di era social media. Tinggal sekali klik, selesai sudah. Gampang, ya? Enaknya, pilihan selalu ada di tangan Anda.
            Yang jadi masalah? Seperti biasa, hobi kita yang terburu-buru – bahkan kadang / kerap tanpa membaca dan menelaah terlebih dahulu, kalau bisa sedalam mungkin. Pokoknya hanya baca sebentar (meski kadang malah hanya sekilas baca judulnya), terus main sebar begitu saja. (Mungkin ada juga yang menyebutnya ‘sampah internet’.)
            Setelah itu? Reaksi orang beragam. Ada yang langsung mengiyakan atau membantah. Mungkin saja mereka langsung percaya karena alasan tertentu, misalnya: punya pengalaman serupa, ingin ikut menjatuhkan pihak tertentu, atau asal percaya karena – seperti biasa, lagi-lagi – malas berpikir. Ada juga yang tidak peduli, karena toh itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka.
            Berkat social media, lagi-lagi kita dapat memilih. Apa yang ingin kita baca, resapi, hingga percayai. Semua tergantung cara kita bernalar dan kesediaan kita meluangkan waktu sejenak untuk meresapi, sebelum memutuskan untuk meneruskannya – entah ke semua orang, beberapa kenalan saja, atau tidak sama sekali – alias disimpan sendiri. Tak perlu khawatir dibilang: “Ahh, berita itu sudah basi lima hari / jam / puluh menit yang lalu.” Memangnya Anda sedang berlomba? Tidak lelah? Memangnya kita semua sanggup menghabiskan semua makanan bila hujan makanan benar-benar terjadi, layaknya film “Cloudy and A Chance of Meatballs”? Apakah kita mau?
            Tidak perlu tahu semuanya kalau yang ada Anda malah stres karena isi kepala kebanyakan informasi (apalagi yang belum tentu Anda perlukan atau ada hubungannya dengan hidup Anda). Kadang hal itu malah jauh lebih menyehatkan mental!
            R.

            (Jakarta, 14 Maret 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar