Saya
masih ingat dongeng yang menjadi latar plot / ilustrasi cerita dalam novel thriller berjudul “You Belong To Me” karya Mary Higgins Clark:
Alkisah, dahulu hiduplah seorang
tukang gosip. Hobinya menyebarkan berita – tanpa dicek dulu kebenarannya alias
kemungkinan besar bohong – membuat masyarakat gerah. Bagaimana tidak? Sudah
banyak yang jadi korban fitnah.
Saat ditangkap dan diadili, si
tukang gosip mendapatkan hukuman aneh dan merepotkan:
Sebuah bantal dirobek di lapangan
terbuka saat angin tengah bertiup kencang. Tentu saja bulu-bulu angsa yang
menjadi isi bantal langsung beterbangan kemana-mana. Si tukang gosip harus
mengumpulkan kembali semua bulu angsa yang sudah terpencar dan memasukkannya
kembali ke dalam bantal yang sudah robek. Tentu saja ini bukan perkara mudah,
sama sulitnya dengan harus mendatangi tiap orang untuk mengoreksi berita bohong
yang sudah terlanjur tersebar.
Terlepas dari benarkah si tukang
gosip banyak menyebarkan cerita bohong atau tidak, dari zaman ke zaman – berita
semakin menyebar cepat. Tergantung (ingatan atau...kepentingan?) pencerita dan
pendengar, nasib kisah pun bisa berubah: menjadi lebih panjang atau malah makin
pendek. Kalau sudah begini, mana yang benar, ya? Benar sebenar-benarnya, bukan
sekedar yang (ingin) dipercayai orang.
Lagi-lagi, seperti biasa, hanya
Tuhan yang (Maha) Tahu.
Terdengar familiar? Tentu saja.
Entah kenapa, kebanyakan manusia – baik lelaki maupun perempuan – cenderung
suka sama rumor, baik sebagai pendengar maupun penyebar. (Tidak perlu ribut
soal gender di sini, karena pada kenyataannya – semua manusia sama saja. Tidak
perlu mengaku atau membantah juga. Cukup kita berkaca pada diri masing-masing.
Sekian.) Terutama di era social media. Tinggal
sekali klik, selesai sudah. Gampang, ya? Enaknya, pilihan selalu ada di tangan
Anda.
Yang jadi masalah? Seperti biasa,
hobi kita yang terburu-buru – bahkan kadang / kerap tanpa membaca dan menelaah
terlebih dahulu, kalau bisa sedalam mungkin. Pokoknya hanya baca sebentar
(meski kadang malah hanya sekilas baca judulnya), terus main sebar begitu saja.
(Mungkin ada juga yang menyebutnya ‘sampah
internet’.)
Setelah itu? Reaksi orang beragam.
Ada yang langsung mengiyakan atau membantah. Mungkin saja mereka langsung
percaya karena alasan tertentu, misalnya: punya pengalaman serupa, ingin ikut
menjatuhkan pihak tertentu, atau asal percaya karena – seperti biasa, lagi-lagi
– malas berpikir. Ada juga yang tidak peduli, karena toh itu tidak ada
hubungannya sama sekali dengan mereka.
Berkat social media, lagi-lagi kita dapat memilih. Apa yang ingin kita
baca, resapi, hingga percayai. Semua tergantung cara kita bernalar dan
kesediaan kita meluangkan waktu sejenak untuk meresapi, sebelum memutuskan
untuk meneruskannya – entah ke semua orang, beberapa kenalan saja, atau tidak
sama sekali – alias disimpan sendiri. Tak perlu khawatir dibilang: “Ahh, berita itu sudah basi lima hari / jam
/ puluh menit yang lalu.” Memangnya Anda sedang berlomba? Tidak lelah?
Memangnya kita semua sanggup menghabiskan semua makanan bila hujan makanan
benar-benar terjadi, layaknya film “Cloudy
and A Chance of Meatballs”? Apakah kita mau?
Tidak perlu tahu semuanya kalau yang
ada Anda malah stres karena isi kepala kebanyakan informasi (apalagi yang belum
tentu Anda perlukan atau ada hubungannya dengan hidup Anda). Kadang hal itu
malah jauh lebih menyehatkan mental!
R.
(Jakarta, 14 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar