Siapa
sih, yang nggak sebal sama orang yang bermuka dua? Di depan kita mereka diam
saja atau tersenyum manis, bahkan kadang mengiyakan semua ucapan kita. Giliran
di belakang, mereka ‘menikam’ kita
dengan menyebar kabar keburukan kita pada orang lain. Mengerikan sekali, bukan?
Apalagi bila kita sudah sangat percaya sama mereka.
Tapi, bagaimana dari sisi ‘si muka dua’ itu sendiri? Benarkah
mereka selalu sejahat itu?
Saya tidak sedang membela atau
memaklumi orang yang hobi bermuka dua. Saya hanya sedang berusaha melihat sisi
lain dalam sebuah situasi dan / atau kondisi. Dengan kata lain, ini hanyalah
fakta yang jarang – atau mungkin nyaris tidak pernah – dibahas atau dianggap
ada.
Oke, memang ada orang yang bermuka
dua gara-gara niat mereka yang kurang baik. Entah oportunis atau sengaja ingin
menjebak atau menjatuhkan seseorang yang mereka anggap saingan atau benci.
Namun, tak perlulah lagi kita bertanya-tanya siapa saja yang berpotensi menjadi
manusia bermuka dua. Suka tidak suka, Anda pun bisa. (Seperti biasa, namanya
juga manusia.) Never say never.
Jangan sok yakin bahwa Anda tidak akan pernah begitu. (Semoga Anda juga tidak
akan pernah kepikiran untuk berbuat demikian.) Manusia tidak pernah ada yang
sempurna. Kita takkan pernah tahu kapan kita tiba-tiba ‘khilaf’.
Pernahkah Anda meragukan senyum
tulus teman yang berada di depan Anda? Mungkin Anda hanya berprasangka (dan
diam-diam - biasanya itu membuat Anda merasa bersalah.) Mungkin juga insting
Anda tengah berbicara, meski belum ada bukti nyata.
Atau, pernahkah Anda tersenyum
setengah hati pada seseorang di depan Anda? Mungkin Anda tidak sepakat dengan
mereka, namun malas berdebat. Mungkin sebenarnya mereka begitu menjengkelkan
bagi Anda, namun sayangnya Anda merasa tetap harus berbaik-baik dengan mereka.
Alasannya bisa macam-macam, mulai dari: atas nama sopan-santun, takut, hingga
malas ribut – terutama bila mereka tipe yang sulit atau enggan didebat, alias
selalu merasa paling benar sendiri. (Baca: egois!) Sayangnya, tipe macam ini di
Indonesia sangat lazim pada mereka yang lebih tua, berjabatan lebih tinggi,
hingga punya uang banyak. (Nggak usah heran!) Biasanya mereka hanya akan
menganggap ‘sepi’ pendapat Anda, terutama bila di mata mereka –
Anda dianggap tidak selevel.
Kalau sudah begitu, wajar saja bila
Anda kesal. Namun, berhubung malas buang-buang waktu dan tenaga Anda yang
sangat berharga hanya untuk berdebat dengan mereka, Anda memilih diam saja –
memendam dongkol dalam hati. Kalau sudah tidak tahan lagi, biasanya yang Anda
lakukan adalah membicarakan orang itu dengan orang lain. Yang lebih taktis
mungkin yang memilih teman bicara yang tidak kenal dengan si objek gosip,
dengan harapan bahwa mereka berdua takkan pernah bertemu – apalagi sampai
berteman. Hiiih!
Kalau enggan terlibat dalam drama
yang tidak perlu, diam itu selalu emas. (Lain cerita kalau orang itu sudah
mengancam posisi, kredibilitas, dan keselamatan nyawa Anda secara serius!) Tak
ada gunanya juga Anda cerita-cerita ke semua orang, kecuali bila Anda punya
bukti cukup sebagai peringatan agar mereka lebih waspada. Kalau sudah begitu,
Anda justru akan makin tersiksa lahir-batin dan sulit sekali untuk benar-benar
berbahagia dengan hidup Anda, apalagi bila masih perlu berpura-pura baik pada
sosok yang bersangkutan. Meski Anda korban dan tak bersalah, tetap saja ‘jatuh’-nya sama: Anda juga bermuka dua.
Dalam hidup, memang tak semua selalu
menyenangkan, begitu pula sesama manusia. Menyebalkan memang saat Anda terpaksa
harus menerima kenyataan pahit itu. Akan selalu ada orang yang selalu merasa
paling benar sendiri dan menganggap Anda sama dengan anak kecil yang tidak tahu
apa-apa. Biar saja. Toh, setidaknya mereka sudah mengajarkan satu hal pada
Anda:
Mereka adalah contoh yang tidak
perlu Anda ikuti bila tidak ingin. Gampang, ‘kan?
Lalu, bagaimana bila situasinya
dibalik? Anda sedih dan sakit hati saat tahu banyak yang diam-diam membicarakan
keburukan Anda di belakang Anda. Benarkah niat mereka selalu hanya ingin ‘menjatuhkan’ Anda, entah karena iri
atau benci? Bagaimana bila – ternyata – selama ini mereka telah berusaha jujur
dan terbuka dengan Anda, namun Anda-nya yang tidak mau dengar, bersikap
defensif, atau marah-marah? Lantas Anda menuduh mereka lancang, ikut campur
urusan Anda, menghakimi Anda, atau enggan menerima Anda apa adanya. Benarkah
selalu demikian?
Bisa jadi, selama ini Anda yang
tidak sadar dan tidak peka bahwa Anda sendiri penyebab ketimpangan relasi
antara Anda dengan mereka. Anda mungkin terbiasa ceplas-ceplos, bermulut tajam
atas nama ‘kejujuran’ dan selalu
meminta mereka agar ‘harap maklum’. (Bahkan,
bisa jadi Anda malah tengah berbangga hati harena bisa berlaku demikian dan
merasa Anda jagoan yang berani.) Bolehlah bahwa Anda menganggap tata-krama dan
sopan-santun (atau bertutur baik) hanyalah untuk mereka yang munafik, alias
baik kalau lagi ada maunya saja. Harus ya, selalu seekstrim itu?
Anda mungkin tidak peduli orang lain
akan sakit hati dengan ucapan kasar Anda yang asalkan jujur itu. Nggak masalah,
selama Anda siap bila suatu saat orang akan berbuat sama terhadap Anda. Ingat,
karma selalu berbicara.
Kalau tidak? Ya, Anda memang berhak
suka-suka – seperti mereka pun berhak suka-suka. Jangan salahkan mereka yang
pada akhirnya memilih diam, pura-pura setuju dengan Anda, atau malah menjauh
sekalian. Habis bagaimana? Tidak ada dialog seimbang sih, antara Anda dengan
mereka, apalagi bila yang Anda butuhkan hanyalah pendengar pasif dan pengikut
buta – bukan mereka yang berpotensi membantu Anda berkembang menjadi manusia
yang lebih baik. Kita memang tidak selalu harus dan bisa sepaham, tapi bisa
kan, kita sama-sama berusaha menjaga perdamaian?
Sekali lagi, hidup ini bukan melulu
soal Anda atau mereka. Tak ada yang bisa menjadi pusat semesta. Saatnya kita
semua bersikap lebih dewasa.
Jadi, benarkah si ‘muka dua’ selalu salah, licik, dan
jahat? Selamat mencari tahu bila ingin. Selamat berusaha berdamai dengan
kenyataan. Semoga setelahnya, kita semua dapat bertambah dewasa dan lebih bijak
dalam menyikapi setiap persoalan.
Selamat meraih hidup yang lebih
damai dan bebas drama!
R.
(Jakarta, 5 April 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar