Kamis, 02 April 2015

"TRADISI 'LANGKAHAN': TERUS KENAPA?"

Sebenarnya saya rada malas membahas ini. Selain mungkin termasuk rada ‘sensitif’ bagi beberapa orang (karena perkara tradisi kebudayaan), saya juga bukan yang pertama kali menyinggung-nyinggung soal ini.
            Singkat cerita, apa itu tradisi ‘langkahan’? Yah, bayangkan Anda yang masih lajang, namun adik Anda sudah mau menikah. Biasanya ada sejenis upacara ritual sebagai formalitas dimana si adik akan ‘meminta restu’ sang kakak untuk menikah duluan. Selain itu (katanya, nih!), demi kelancaran pernikahan si adik, sang kakak berhak meminta apa pun sebagai bagian dari tradisi tersebut – dan si adik harus menyanggupi, bagaimana pun caranya.
            Terdengar menyenangkan bagi sang kakak? Terdengar ribet bagi si adik? Apalagi bila sang kakak lantas langsung aji mumpung – meminta yang ‘macam-macam’, kalau bisa yang paling mahal sekalian. Kapan lagi bisa dapat barang gratisan? Hitung-hitung sekalian mem-bully si adik yang mau menikah duluan.
            Bila si adik tidak sanggup? Tergantung kebesaran hati sang kakak, mau merestui atau tidak. (Kalau memang restu sih, harusnya dari awal tidak sampai minta yang ‘aneh-aneh’, hehehe!)
            Kalau ternyata sang kakak tidak rela, bahkan ngotot agar keinginannya segera dipenuhi – entah bagaimana caranya? Yah, alamat rencana pernikahan si adik jadi tertunda...atau malah sampai terancam batal. (Hiiih!) Seberapa lama? Yah, lagi-lagi tergantung – bisa barang setahun atau dua. (Bahkan ada yang cukup ‘sadis’ hingga memakan waktu lebih lama dari itu, hanya gara-gara jodoh sang kakak tak kunjung tiba. Pokoknya nggak peduli, selama sang kakak menikah duluan – sesuai urutan kelahiran!)
            Iya kalau jodoh sang kakak segera muncul. Kalau belum juga atau tidak sama sekali? Salah-salah calon si adik malah ‘kabur’ mencari yang lain gara-gara enggan menunggu terlalu lama. ‘Kan kasihan adiknya! Tega-kah?
            Oke, mungkin setiap orang akan menghadapi situasi ini dengan cara masing-masing – baik sebagai adik, kakak, calon, hingga anggota keluarga lainnya. Bila calon si adik sampai tidak bisa menunggu, wajar saja. Apalagi perempuan. (Maklum, selain jam biologis yang sudah ‘berbicara’ – perempuan juga yang paling sering di-bully soal pernikahan!) Tidak bisa disalahkan.
            Mungkin niat adanya tradisi ‘langkahan’ ini awalnya baik, yaitu: sebagai bentuk penghormatan kepada saudara yang lebih tua. Lagipula, bukankah kita pasti meminta restu orang tua dulu sebelum menikah dengan pilihan kita?
            Namun, bila dirasa tradisi ini sudah mulai keterlaluan dan ‘menghambat’ rencana Anda, bolehlah bersikap tegas dan meminta pengertian keluarga. Biar bagaimana pun, Anda berhak bahagia. Jangan mentang-mentang Anda lebih muda lantas harus selalu mengalah!
            Lalu bagaimana bila Anda berada di posisi sang kakak? Hmm, lagi-lagi saya terpaksa menambahkan: apalagi bila Anda perempuan. (Masih dengan dua alasan yang sama.) Wajar sekali bila sempat terbersit rasa sedih, kalah, gagal, hingga iri. Belum lagi bila diperparah dengan ragam komentar yang bikin sakit telinga dan hati, seperti:
            “Giliran kamu kapan? Ayo, udah mau disalip adikmu, tuh!”
            Disalip? Balap F1 kali, main salip-salipan!
            Mungkin di sinilah iman Anda akan diuji. Akankah Anda mudah ‘termakan’ komentar-komentar nyinyir macam itu, lalu enggan merestui adik Anda karenanya? Atau Anda mungkin malah akan (mencoba) berbesar hati, mengingat mereka yang (mungkin bisanya hanya) berkomentar sebenarnya lupa bahwa mereka bukan Yang Maha Menentukan Segalanya. Untuk apa? Apa untungnya bagi mereka yang (mencoba) membuat Anda merasa bersalah / jelek / kurang berharga hanya karena belum menikah – dan mau keduluan adik pula?
            Bayangkan Anda di posisi adik Anda. Ingin segera menikah, namun kakak calon pendamping Anda belum menikah dan menuntut kalian berdua agar mau menunggu sebentar hingga dia segera menikah duluan? Anda mau?
            Pastinya, iman keluarga juga akan diuji. Bersyukurlah bila sang kakak sudah ikhlas agar pernikahan si adik berjalan lancar. Tak perlu membuatnya sedih dan sakit hati dengan komentar-komentar yang tidak patut. Doakan saja yang terbaik. Jangan rusak niatnya untuk ikhlas, apalagi sampai sengaja ‘mengganggu’ rencana pernikahan si adik dengan beragam alasan. Lagipula, bukankah hanya Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya – entah itu urutan kelahiran anak dalam keluarga, hingga kapan seseorang menikah? Nggak selalu harus pakai urutan yang sama, ‘kan?

            R.


1 komentar: