Sebenarnya
saya rada malas membahas ini. Selain mungkin termasuk rada ‘sensitif’ bagi beberapa orang (karena perkara tradisi kebudayaan),
saya juga bukan yang pertama kali menyinggung-nyinggung soal ini.
Singkat cerita, apa itu tradisi ‘langkahan’? Yah, bayangkan Anda yang
masih lajang, namun adik Anda sudah mau menikah. Biasanya ada sejenis upacara
ritual sebagai formalitas dimana si adik akan ‘meminta restu’ sang kakak untuk menikah duluan. Selain itu
(katanya, nih!), demi kelancaran pernikahan si adik, sang kakak berhak meminta
apa pun sebagai bagian dari tradisi tersebut – dan si adik harus menyanggupi,
bagaimana pun caranya.
Terdengar menyenangkan bagi sang
kakak? Terdengar ribet bagi si adik? Apalagi bila sang kakak lantas langsung
aji mumpung – meminta yang ‘macam-macam’,
kalau bisa yang paling mahal sekalian. Kapan lagi bisa dapat barang gratisan?
Hitung-hitung sekalian mem-bully si
adik yang mau menikah duluan.
Bila si adik tidak sanggup? Tergantung
kebesaran hati sang kakak, mau merestui atau tidak. (Kalau memang restu sih,
harusnya dari awal tidak sampai minta yang ‘aneh-aneh’,
hehehe!)
Kalau ternyata sang kakak tidak
rela, bahkan ngotot agar keinginannya segera dipenuhi – entah bagaimana caranya?
Yah, alamat rencana pernikahan si adik jadi tertunda...atau malah sampai
terancam batal. (Hiiih!) Seberapa lama? Yah, lagi-lagi tergantung – bisa barang
setahun atau dua. (Bahkan ada yang cukup ‘sadis’
hingga memakan waktu lebih lama dari itu, hanya gara-gara jodoh sang kakak
tak kunjung tiba. Pokoknya nggak peduli, selama sang kakak menikah duluan –
sesuai urutan kelahiran!)
Iya kalau jodoh sang kakak segera
muncul. Kalau belum juga atau tidak sama sekali? Salah-salah calon si adik
malah ‘kabur’ mencari yang lain
gara-gara enggan menunggu terlalu lama. ‘Kan kasihan adiknya! Tega-kah?
Oke, mungkin setiap orang akan
menghadapi situasi ini dengan cara masing-masing – baik sebagai adik, kakak,
calon, hingga anggota keluarga lainnya. Bila calon si adik sampai tidak bisa
menunggu, wajar saja. Apalagi perempuan. (Maklum, selain jam biologis yang
sudah ‘berbicara’ – perempuan juga
yang paling sering di-bully soal
pernikahan!) Tidak bisa disalahkan.
Mungkin niat adanya tradisi ‘langkahan’ ini awalnya baik, yaitu:
sebagai bentuk penghormatan kepada saudara yang lebih tua. Lagipula, bukankah
kita pasti meminta restu orang tua dulu sebelum menikah dengan pilihan kita?
Namun, bila dirasa tradisi ini sudah
mulai keterlaluan dan ‘menghambat’ rencana
Anda, bolehlah bersikap tegas dan meminta pengertian keluarga. Biar bagaimana
pun, Anda berhak bahagia. Jangan mentang-mentang Anda lebih muda lantas harus
selalu mengalah!
Lalu bagaimana bila Anda berada di
posisi sang kakak? Hmm, lagi-lagi saya terpaksa menambahkan: apalagi bila Anda perempuan. (Masih
dengan dua alasan yang sama.) Wajar sekali bila sempat terbersit rasa sedih,
kalah, gagal, hingga iri. Belum lagi bila diperparah dengan ragam komentar yang
bikin sakit telinga dan hati, seperti:
“Giliran
kamu kapan? Ayo, udah mau disalip adikmu, tuh!”
Disalip?
Balap
F1 kali, main salip-salipan!
Mungkin di sinilah iman Anda akan
diuji. Akankah Anda mudah ‘termakan’ komentar-komentar
nyinyir macam itu, lalu enggan merestui adik Anda karenanya? Atau Anda mungkin
malah akan (mencoba) berbesar hati, mengingat mereka yang (mungkin bisanya
hanya) berkomentar sebenarnya lupa bahwa mereka bukan Yang Maha Menentukan
Segalanya. Untuk apa? Apa untungnya bagi mereka yang (mencoba) membuat Anda
merasa bersalah / jelek / kurang berharga hanya karena belum menikah – dan mau
keduluan adik pula?
Bayangkan Anda di posisi adik Anda.
Ingin segera menikah, namun kakak calon pendamping Anda belum menikah dan
menuntut kalian berdua agar mau menunggu sebentar hingga dia segera menikah
duluan? Anda mau?
Pastinya, iman keluarga juga akan
diuji. Bersyukurlah bila sang kakak sudah ikhlas agar pernikahan si adik
berjalan lancar. Tak perlu membuatnya sedih dan sakit hati dengan
komentar-komentar yang tidak patut. Doakan saja yang terbaik. Jangan rusak
niatnya untuk ikhlas, apalagi sampai sengaja ‘mengganggu’ rencana pernikahan si adik dengan beragam alasan.
Lagipula, bukankah hanya Tuhan Yang Maha Tahu Segalanya – entah itu urutan
kelahiran anak dalam keluarga, hingga kapan seseorang menikah? Nggak selalu
harus pakai urutan yang sama, ‘kan?
R.
Betul Ruby, sepakat sekali ☺
BalasHapus