Dear “Kamu”,
Entah
bagaimana aku harus memanggilmu, meski entah kenapa kamu sering sekali muncul
dalam mimpiku – terutama akhir-akhir ini. Hanya beberapa orang sahabat terdekat
yang kuberi tahu tentangmu, karena aku enggan dianggap gila atau punya harapan
terlalu tinggi. Ini dunia nyata, bukan cerita dongeng. Pasti mereka akan selalu
mengingatkanku seperti itu.
Sebenarnya,
aku agak trauma menulis surat cinta. Terakhir kali melakukannya untuk sesosok
yang sangat kuhormati dan mungkin akan selalu kusayangi, meski belum tentu kami
akan berjodoh. Bagaimana tidak? Dia masih sangat mencintai mantannya, meski
mereka sudah putus setahun. Suatu malam saat kami berdua sama-sama baru pulang
kerja, dia mengantarku pulang ke kosanku. Dalam perjalanan ke sana (ya, kami
berjalan kaki – berhubung dekat sekali dengan kantor), dia memberitahukan
perasaannya padaku.
“Terima kasih
ya, suratnya,” katanya waktu itu. “Tapi maaf, aku sedang tidak memikirkan itu.”
Lalu dia
terbang ke Pulau Dewata...dan jujur, saat itu aku sempat patah hati. Namun,
karena dia selalu baik padaku dan tetap memperlakukanku sebagai teman, aku
takkan pernah bisa membencinya. Malahan, aku tetap ingin bahagia. (Klise dan
munafik, mungkin begitu kata mereka yang tidak bisa atau enggan mengerti.)
Setelah itu,
aku sempat merasa skeptis akan cinta. Ah, lagi-lagi kebiasaan lama kalau sedang
terluka. Kusibukkan diri dengan kerja dan beragam kegiatan lainnya. Aku enggan
terperangkap dalam duka nestapa yang terlalu lama. Lebih baik mencari kegiatan
yang berguna. Siapa tahu, waktu akan menyembuhkan semua luka dan aku mungkin
bisa memulai segalanya dari awal, dengan sosok yang sama sekali berbeda. Entah
siapa dia dan dimana sosoknya.
Apakah itu
kamu? Apakah kamu nyata – ataukah hanya imajinasiku belaka? Mungkinkah kamu
tercipta dalam benakku dan hidup di alam mimpiku di sana, semata akibat
kekecewaanku akan dunia nyata? Benarkah kamu begitu sempurna?
Tuh, ‘kan?
Jangan-jangan aku mulai gila!
Kita sering
bertemu dalam mimpi, terutama saat aku sedang sangat lelah hingga jatuh
tertidur – kadang lupa dengan ritualku: menggosok gigi dan mencuci muka. Di
sana, kita bercanda dan bercengkerama. Kadang berdua, kadang dengan yang
lainnya. Kadang ada sosok-sosok yang kukenal dari dunia nyata saat aku terjaga.
Dalam mimpiku, tampaknya mereka juga mengenalmu. Senyum mereka saat berbicara
denganmu membuatku merasa senang dan optimis, bagai sebuah restu tak terucap.
Sepertinya kamu juga sosok yang membuatku bahagia dan bahagia denganku.
Karena itulah,
aku suka enggan terbangun setiap habis bermimpi tentangmu. Mengapa? Karena aku
tidak akan menemukanmu di dunia nyata yang penuh tuntutan ini. Atau mungkin
belum, seperti kata salah seorang sahabatku yang cukup religius dan spiritual.
Bisa saja sosokmu adalah pesan dari masa depan yang dikirim ke dalam gelombang
otakku yang baru bisa dibaca saat aku dalam keadaan paling rileks, yaitu: tidur.
Entahlah, kedengarannya terlalu fantastis bagiku, bagai adegan dalam film-film
fiksi ilmiah yang suka kutonton. Tapi, kata sahabatku: “Siapa tahu?” Keajaiban
selalu ada, terutama bagi yang ingin bersungguh-sungguh mempercayainya.
Baiklah. Akan
kucoba. Akhir-akhir ini, aku bahkan menyelipkan doa tambahan, yaitu agar aku
dapat kembali – dan selalu – bertemu denganmu di alam mimpi. Jujur, hingga kini
aku masih amat penasaran, meski berusaha agar tidak menjadikannya obsesi tidak
sehat. Aku tidak ingin seperti mereka dalam film “Inception”.
Saat ini,
masalahku hanya satu:
Seperti apa
wajahmu? Mengapa aku hanya bisa merasakan genggaman hangat tanganmu dan
mendengar tawa ringan suaramu, namun tidak bisa memandangmu? Aku hanya ingin
tahu apakah kamu benar-benar tampak bahagia bersamaku. Satu senyuman, apa saja.
Oke, mungkin
aku harus bersabar. Mungkin ini belum saatnya. Mungkin, aku akan melihat
wajahmu di saat paling tepat. Hanya Tuhan yang Maha Tahu, seperti biasanya.
Kurasa aku
hanya harus menikmati kebersamaan kita saat ini, meski hanya di dalam mimpi.
Entah sampai kapan.
Apakah aku
akan kembali bertemu denganmu malam ini? Semoga. Semoga bertambah lagi kenangan
indah kita bersama di sana. Semoga aku takkan lupa saat terjaga.
Sampai nanti,
Nona Separuh Skeptis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar