Senin, 01 Februari 2016

H2: "DIMANA KAMU?"

Dear “Kamu”,

                Semalam aku terlalu lelah hingga tidurku jauh dari nyenyak. Bahkan, sebenarnya akhir-akhir ini waktu tidurku berantakan. Bila aku terlalu lama diam dan tidak melakukan apa-apa, tahu-tahu saja aku sudah jatuh tertidur. Sesekali aku terbangun sebelum tertidur lagi.

                Aku mencarimu dalam mimpi-mimpiku. Tidak ketemu. Dimana kamu? Ini tidak seperti biasanya. Anehnya, aku sama sekali belum melupakan sosokmu, meski masih tidak tahu seperti apa rupamu. Ini benar-benar lucu. Yang kurasakan hanya energimu, genggaman hangat tanganmu, dan tawa ringan di telingaku.

                Banyak mimpi-mimpi tentangmu yang masih kuingat. Salah satunya adalah saat kulihat kamu berbicara dengan Anthony, salah satu sahabat lelaki terlamaku. (Tenang, kami hanya sahabat. Bahkan, bisa dibilang kami berdua sudah seperti abang dan adik. Aku sendiri tidak punya abang. Kakakku perempuan dan jujur, kami berdua tidak pernah dekat.)

                Waktu itu kalian duduk berhadapan. Kamu mengeluarkan sekotak kecil berwarna biru gelap dari beledu dan membukanya, memamerkan benda mungil berkilau di dalamnya. Cincin!

                “What do you think?” tanyamu pada sahabatku waktu itu. “Do you think she will say yes?”

              Kulihat Anthony tersenyum. Aku penasaran, jadi dari jauh kuhampiri kalian berdua. Namun, belum sempat kudengar jawabanku dan berhasil mendekati kalian berdua, mimpi itu mendadak berakhir. Aku terbangun lagi, tanpa jawaban yang kuharapkan setengah hati.

             Aku masih belum bisa melihat wajahmu – atau alasan di balik seringnya kamu muncul dalam mimpi-mimpiku.

          Kadang aku bisa melihat sekilas wajahmu, meski tidak seluruhnya. Hanya sekilas, seperti ujung dagu. Kurasa, untuk saat ini, itu masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun, yang membuatku bingung – profilmu kerap berubah. Kadang kulitmu gelap, kadang pucat. Kadang tinggimu sedang, kadang menjulang. Yang pasti, kamu selalu lebih jangkung dariku. Tapi, tinggiku sendiri memang hanya 154 cm. Banyak yang suka bercanda kalau di mataku, semua orang selalu lebih tinggi. Ada juga yang suka menyebutku Hobbit.

               Kadang kamu gemuk, kurus, atau atletis. Entahlah, aku bingung. Sepertinya pikiranku mulai mengerjaiku sendiri.

            Namun, mimpi tentangmu yang paling kuingat adalah saat kita berdua berjalan bergandengan, di bawah sinar matahari cerah dan di tengah kerumunan. Orang-orang itu pada memandang. Tatapan mereka seperti para extras di film horor yang tengah melihat monster menakutkan berjalan-jalan di siang bolong. Mungkin juga mereka memandang kita ibarat pasangan Si Cantik dan Si Buruk Rupa, karena saat aku mendongak padamu...kulihat dagu dan sebagian rahangmu berparut. Kasar, seperti banyak bekas luka permanen. Tanganmu juga terasa kasar dalam genggamanku, meski masih hangat. Aku menunduk dan melihat bekas luka yang sama di punggung tanganmu.

        Anehnya, di situ aku tidak merasa ngeri, tidak seperti tokoh dalam film horor yang biasanya langsung menjerit ketakutan begitu menyadari sosok yang digandengnya selama ini ternyata berwujud mirip monster. Bahkan, aku kembali tersenyum padamu. Kamu juga membalas senyumku. Kita berdua tampak seperti pasangan yang sedang jatuh-cinta – dan tidak peduli anggapan sekitar. Aku memandangmu seolah-olah kamu lelaki paling tampan yang pernah kulihat. Tampan dan baik luar biasa, nyaris sempurna.

          Seakan-akan sosok selebriti macam Hugh Jackman dan George Clooney tidak ada apa-apanya buatku. Tapi bagaimana, ya? Aku sendiri malah tidak punya fantasi apa-apa tentang selebriti. Buang-buang energi.

        Yang kuingat, setelah mimpi tentangmu itu, aku bangun dengan perasaan sangat, sangat bahagia. Seorang teman pernah berteori, mungkin saja mimpi itu refleksi harapanku agar suatu saat nanti mampu menerima calon jodohku dengan apa adanya, begitu pula sebaliknya. (Kata siapa aku sendiri tidak juga punya kekurangan?) Kekurangan tidak perlu melulu soal fisik, seperti yang secara gamblang digambarkan dalam dongeng kisah cinta abadi itu.

             Kadang, orang dengan rupa ternormal pun bisa lebih jahat dari monster, tapi aku tidak sudi berakhir dengan sosok seperti itu. Bukan apa-apa, sebenarnya aku sendiri juga cenderung pemarah. Aku takkan mau lelaki yang kucintai suka membentakku tanpa alasan, mengataiku tolol dan sebagainya – hanya karena aku tidak bisa melakukan permintaannya dan tidak bisa memenuhi harapannya akan kekasih sempurna. Aku tidak mau lelaki yang kucintai hobi memukulku dengan alasan tidak bisa menjaga amarahnya sendiri dan merasa berhak melakukannya. Kamu mengerti, ‘kan?

              Aku takut. Takut sekali. Aku takut jatuh cinta. Aku takut sosok yang kucintai ternyata malah lagi-lagi akan membuatku patah hati – atau lebih parah, mengancam keselamatanku dengan kekasarannya. Makanya, sekarang aku seperti orang gila – menulis surat untuk sosok yang hanya bisa kutemui dalam mimpi. Sosok yang belum tentu akan bisa kutemui di dunia nyata...

          Salah, ya? Mungkin karena aku sudah terlalu banyak melihat dan mendengar cerita sedih seputar cinta, tidak hanya tentangku. Aku benci cara lelaki itu merendahkan istrinya yang sudah berulang-kali mempertaruhkan nyawa agar keempat anak mereka bisa lahir dengan selamat dan sehat di dunia. Aku sedih melihat seorang perempuan patah hati begitu tahu kekasihnya ternyata memiliki “yang lain”. Terlalu banyak cerita sedih seperti itu seputar cinta dan aku muak. Aku muak, karena dengan semua yang ada dan telah terjadi, mereka masih juga memintaku untuk percaya.

             Aku masih juga ingin percaya, meski rasanya ibarat percaya bahwa secangkir kopi di meja itu takkan berisi sianida atau kamu takkan dikejar anjing tetangga bila jalannya pelan-pelan saja saat lewat depan rumah mereka yang pagarnya terbuka. Perumpaan yang aneh, ya?

             Mungkin aku harus mencoba mengingat-ingat lagi yang indah-indah seputar cinta. Ya, seperti Mama yang bertahan lama dengan Papa – hingga akhir hayat Papa. Pernikahan sahabatku Yani dengan kekasihnya yang kuhadiri beberapa saat lalu. Kebahagiaan temanku Mike saat lamarannya diterima kekasihnya.

                Akan seperti apa ya, kamu nanti, kalau memang benar-benar ada? Kata Mama, manusia boleh saja berharap setinggi mungkin mengenai keinginan mereka. Namun, pada akhirnya, hanya Tuhan yang selalu tahu persis apa yang paling kita butuhkan.

           Oke, mungkin saat ini kamu sedang enggan muncul di mimpiku. Baiklah, akan kutunggu...tapi tanpa menuntut terlalu jauh. Biar bagaimana pun, aku harus hidup dalam dunia nyata ini...meski tanpa sosokmu. Mungkin kamu ada di luar sana, sama sepertiku.

           Memastikan takdir akan mempertemukan kita, entah kapan dan bagaimana caranya...

           Sampai nanti. Saatnya aku kembali menjalani hidup ini.

           Yang memikirkanmu,


            Nona Separuh Skeptis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar