Dear “Kamu”,
Semalam
aku terlalu lelah hingga tidurku jauh dari nyenyak. Bahkan, sebenarnya
akhir-akhir ini waktu tidurku berantakan. Bila aku terlalu lama diam dan tidak
melakukan apa-apa, tahu-tahu saja aku sudah jatuh tertidur. Sesekali aku
terbangun sebelum tertidur lagi.
Aku
mencarimu dalam mimpi-mimpiku. Tidak ketemu. Dimana kamu? Ini tidak seperti
biasanya. Anehnya, aku sama sekali belum melupakan sosokmu, meski masih tidak
tahu seperti apa rupamu. Ini benar-benar lucu. Yang kurasakan hanya energimu,
genggaman hangat tanganmu, dan tawa ringan di telingaku.
Banyak
mimpi-mimpi tentangmu yang masih kuingat. Salah satunya adalah saat kulihat
kamu berbicara dengan Anthony, salah satu sahabat lelaki terlamaku. (Tenang,
kami hanya sahabat. Bahkan, bisa dibilang kami berdua sudah seperti abang dan
adik. Aku sendiri tidak punya abang. Kakakku perempuan dan jujur, kami berdua
tidak pernah dekat.)
Waktu
itu kalian duduk berhadapan. Kamu mengeluarkan sekotak kecil berwarna biru
gelap dari beledu dan membukanya, memamerkan benda mungil berkilau di dalamnya.
Cincin!
“What do you think?” tanyamu pada
sahabatku waktu itu. “Do you think she
will say yes?”
Kulihat
Anthony tersenyum. Aku penasaran, jadi dari jauh kuhampiri kalian berdua.
Namun, belum sempat kudengar jawabanku dan berhasil mendekati kalian berdua,
mimpi itu mendadak berakhir. Aku terbangun lagi, tanpa jawaban yang kuharapkan
setengah hati.
Aku
masih belum bisa melihat wajahmu – atau alasan di balik seringnya kamu muncul
dalam mimpi-mimpiku.
Kadang
aku bisa melihat sekilas wajahmu, meski tidak seluruhnya. Hanya sekilas,
seperti ujung dagu. Kurasa, untuk saat ini, itu masih lebih baik daripada tidak
sama sekali. Namun, yang membuatku bingung – profilmu kerap berubah. Kadang
kulitmu gelap, kadang pucat. Kadang tinggimu sedang, kadang menjulang. Yang pasti,
kamu selalu lebih jangkung dariku. Tapi, tinggiku sendiri memang hanya 154 cm.
Banyak yang suka bercanda kalau di mataku, semua orang selalu lebih tinggi. Ada
juga yang suka menyebutku Hobbit.
Kadang
kamu gemuk, kurus, atau atletis. Entahlah, aku bingung. Sepertinya pikiranku
mulai mengerjaiku sendiri.
Namun,
mimpi tentangmu yang paling kuingat adalah saat kita berdua berjalan
bergandengan, di bawah sinar matahari cerah dan di tengah kerumunan.
Orang-orang itu pada memandang. Tatapan mereka seperti para extras di film horor yang tengah melihat
monster menakutkan berjalan-jalan di siang bolong. Mungkin juga mereka
memandang kita ibarat pasangan Si Cantik
dan Si Buruk Rupa, karena saat aku mendongak padamu...kulihat dagu dan
sebagian rahangmu berparut. Kasar, seperti banyak bekas luka permanen. Tanganmu
juga terasa kasar dalam genggamanku, meski masih hangat. Aku menunduk dan
melihat bekas luka yang sama di punggung tanganmu.
Anehnya,
di situ aku tidak merasa ngeri, tidak seperti tokoh dalam film horor yang
biasanya langsung menjerit ketakutan begitu menyadari sosok yang digandengnya
selama ini ternyata berwujud mirip monster. Bahkan, aku kembali tersenyum
padamu. Kamu juga membalas senyumku. Kita berdua tampak seperti pasangan yang
sedang jatuh-cinta – dan tidak peduli anggapan sekitar. Aku memandangmu
seolah-olah kamu lelaki paling tampan yang pernah kulihat. Tampan dan baik luar
biasa, nyaris sempurna.
Seakan-akan
sosok selebriti macam Hugh Jackman dan George Clooney tidak ada apa-apanya
buatku. Tapi bagaimana, ya? Aku sendiri malah tidak punya fantasi apa-apa
tentang selebriti. Buang-buang energi.
Yang
kuingat, setelah mimpi tentangmu itu, aku bangun dengan perasaan sangat, sangat
bahagia. Seorang teman pernah berteori, mungkin saja mimpi itu refleksi
harapanku agar suatu saat nanti mampu menerima calon jodohku dengan apa adanya,
begitu pula sebaliknya. (Kata siapa aku sendiri tidak juga punya kekurangan?)
Kekurangan tidak perlu melulu soal fisik, seperti yang secara gamblang digambarkan
dalam dongeng kisah cinta abadi itu.
Kadang,
orang dengan rupa ternormal pun bisa lebih jahat dari monster, tapi aku tidak
sudi berakhir dengan sosok seperti itu. Bukan apa-apa, sebenarnya aku sendiri
juga cenderung pemarah. Aku takkan mau lelaki yang kucintai suka membentakku
tanpa alasan, mengataiku tolol dan sebagainya – hanya karena aku tidak bisa
melakukan permintaannya dan tidak bisa memenuhi harapannya akan kekasih
sempurna. Aku tidak mau lelaki yang kucintai hobi memukulku dengan alasan tidak
bisa menjaga amarahnya sendiri dan merasa berhak melakukannya. Kamu mengerti, ‘kan?
Aku
takut. Takut sekali. Aku takut jatuh cinta. Aku takut sosok yang kucintai
ternyata malah lagi-lagi akan membuatku patah hati – atau lebih parah,
mengancam keselamatanku dengan kekasarannya. Makanya, sekarang aku seperti
orang gila – menulis surat untuk sosok yang hanya bisa kutemui dalam mimpi.
Sosok yang belum tentu akan bisa kutemui di dunia nyata...
Salah,
ya? Mungkin karena aku sudah terlalu banyak melihat dan mendengar cerita sedih
seputar cinta, tidak hanya tentangku. Aku benci cara lelaki itu merendahkan
istrinya yang sudah berulang-kali mempertaruhkan nyawa agar keempat anak mereka
bisa lahir dengan selamat dan sehat di dunia. Aku sedih melihat seorang
perempuan patah hati begitu tahu kekasihnya ternyata memiliki “yang lain”.
Terlalu banyak cerita sedih seperti itu seputar cinta dan aku muak. Aku muak,
karena dengan semua yang ada dan telah terjadi, mereka masih juga memintaku
untuk percaya.
Aku
masih juga ingin percaya, meski rasanya ibarat percaya bahwa secangkir kopi di
meja itu takkan berisi sianida atau kamu takkan dikejar anjing tetangga bila
jalannya pelan-pelan saja saat lewat depan rumah mereka yang pagarnya terbuka.
Perumpaan yang aneh, ya?
Mungkin
aku harus mencoba mengingat-ingat lagi yang indah-indah seputar cinta. Ya,
seperti Mama yang bertahan lama dengan Papa – hingga akhir hayat Papa.
Pernikahan sahabatku Yani dengan kekasihnya yang kuhadiri beberapa saat lalu.
Kebahagiaan temanku Mike saat lamarannya diterima kekasihnya.
Akan
seperti apa ya, kamu nanti, kalau memang benar-benar ada? Kata Mama, manusia
boleh saja berharap setinggi mungkin mengenai keinginan mereka. Namun, pada
akhirnya, hanya Tuhan yang selalu tahu persis apa yang paling kita butuhkan.
Oke,
mungkin saat ini kamu sedang enggan muncul di mimpiku. Baiklah, akan
kutunggu...tapi tanpa menuntut terlalu jauh. Biar bagaimana pun, aku harus
hidup dalam dunia nyata ini...meski tanpa sosokmu. Mungkin kamu ada di luar
sana, sama sepertiku.
Memastikan
takdir akan mempertemukan kita, entah kapan dan bagaimana caranya...
Sampai
nanti. Saatnya aku kembali menjalani hidup ini.
Yang
memikirkanmu,
Nona Separuh Skeptis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar