Senin, 01 Februari 2016

"SANG BALERINA, MAMA, DAN AKU"

“Dia cantik, ya?” puji Mama pada sore itu di kafe yang selalu dipenuhi para penggemar seni, termasuk mahasiswa sekolah seni. Mata beliau yang sudah semakin cekung oleh usia bersinar-sinar. “Anggun sekali. Lihat gerakannya.”

            Aku hanya mengangguk sambil tersenyum singkat. Sore itu, Mama meminta ditemani menonton pertunjukan seni jalanan yang diadakan gratis di kafe itu, yang terletak di salah satu sudut ibukota. Aku tidak keberatan, karena aku juga penggemar seni, meski balet bukan salah satunya. Berbeda dengan Mama, yang semasa remaja pernah menjadi penari balet profesional. Beliau bahkan sudah bisa mencari uang sendiri dengan tampil di beberapa pagelaran, kelas internasional pula.

            Namun, aku sepakat juga dengan Mama. Balerina yang sedang menari solo di hadapan kami – dan penonton lain yang berkumpul di beranda kafe – itu memang cantik. Tinggi, ramping, dan luwes. Dengan lincah dan anggun, balerina berambut panjang dan bergaun putih itu menari mengikuti irama. Sesekali penonton bertepuk tangan saat dia berputar-putar. Aku sendiri sedikit mengernyit, membayangkan sesakit apa jari-jari kakinya nanti setelah tampil.

            Aku sendiri lebih suka main teater. Sebelum penampilan sang balerina, kami menonton sebuah drama pendek yang diadaptasi dari cerita rakyat “Timun Mas”, namun dengan bumbu komedi. Lucu. Aku dan Mama sampai tertawa geli.

            Musik klasik masih mengalun dari stereo yang disambungkan ke speaker di beranda kafe. Tak lama, sang balerina selesai tampil dan memberi penghormatan pada kami. Tepuk-tangan riuh seketika, termasuk Mama yang bertepuk paling keras, kurasa. Mata cekung beliau kali ini tampak berkaca-kaca. Aku langsung trenyuh melihatnya.

            “Mama?” panggilku hati-hati. Sadar sedang kutatap, beliau hanya tersenyum lembut padaku sambil berkedip. Setetes air mata mengalir di pipinya.

            “Nggak apa-apa, sayang,” kata beliau. “Mama hanya kangen menari.”


          Aku hanya mengangguk, sementara beliau langsung menyusut matanya dengan sapu tangan putih yang selalu beliau bawa. Lalu, sore itu kami pulang bersama, dengan aku yang mendorong kursi roda Mama.


4 komentar:

  1. apa aku yg salah ya, tpi apakah ada gerakan menari di tumit saat balet? mungkin maksudnya ujung jari ya? hmm, rata2 menuliskan kisah ttg mimpi yg kandas, sepertinya balerina emg jd tolok ukur pencapaian tinggi ya. anyway, nulisnya makin rapi! :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ujung jari. Saya salah, hehe. Makasih atas koreksinya.

      Hapus