“Dia cantik, ya?” puji Mama pada sore itu di kafe yang selalu dipenuhi para penggemar seni, termasuk
mahasiswa sekolah seni. Mata beliau yang sudah semakin cekung oleh usia
bersinar-sinar. “Anggun sekali. Lihat gerakannya.”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum singkat. Sore itu,
Mama meminta ditemani menonton pertunjukan seni jalanan yang diadakan gratis di
kafe itu, yang terletak di salah satu sudut ibukota. Aku tidak keberatan,
karena aku juga penggemar seni, meski balet bukan salah satunya. Berbeda dengan
Mama, yang semasa remaja pernah menjadi penari balet profesional. Beliau bahkan
sudah bisa mencari uang sendiri dengan tampil di beberapa pagelaran, kelas
internasional pula.
Namun, aku sepakat juga dengan Mama. Balerina yang sedang
menari solo di hadapan kami – dan penonton lain yang berkumpul di beranda kafe –
itu memang cantik. Tinggi, ramping, dan luwes. Dengan lincah dan anggun,
balerina berambut panjang dan bergaun putih itu menari mengikuti irama.
Sesekali penonton bertepuk tangan saat dia berputar-putar. Aku
sendiri sedikit mengernyit, membayangkan sesakit apa jari-jari kakinya nanti
setelah tampil.
Aku sendiri lebih suka main teater. Sebelum penampilan
sang balerina, kami menonton sebuah drama pendek yang diadaptasi dari cerita
rakyat “Timun Mas”, namun dengan
bumbu komedi. Lucu. Aku dan Mama sampai tertawa geli.
Musik klasik masih mengalun dari stereo yang disambungkan
ke speaker di beranda kafe. Tak lama, sang balerina selesai tampil dan memberi
penghormatan pada kami. Tepuk-tangan riuh seketika, termasuk Mama yang bertepuk
paling keras, kurasa. Mata cekung beliau kali ini tampak berkaca-kaca. Aku
langsung trenyuh melihatnya.
“Mama?” panggilku hati-hati. Sadar sedang kutatap, beliau
hanya tersenyum lembut padaku sambil berkedip. Setetes air mata mengalir di
pipinya.
“Nggak apa-apa, sayang,” kata beliau. “Mama hanya kangen
menari.”
Aku hanya mengangguk, sementara beliau langsung menyusut
matanya dengan sapu tangan putih yang selalu beliau bawa. Lalu, sore itu kami
pulang bersama, dengan aku yang mendorong kursi roda Mama.
apa aku yg salah ya, tpi apakah ada gerakan menari di tumit saat balet? mungkin maksudnya ujung jari ya? hmm, rata2 menuliskan kisah ttg mimpi yg kandas, sepertinya balerina emg jd tolok ukur pencapaian tinggi ya. anyway, nulisnya makin rapi! :)
BalasHapusIya, ujung jari. Saya salah, hehe. Makasih atas koreksinya.
Hapuskasian, Mama ... :(
BalasHapusIya.
Hapus