1997:
Mataku melebar malam itu, saat Henry
mengajakku ke rumah keluarganya di salah satu daerah di Jakarta Barat. Duduk di
bangku panjang di sanggar pelatihan wushu
dan barongsai milik keluarga
Henry, aku menatap kagum saat Henry dan kedua abangnya yang masih kuliah – Hans
dan Harry – tengah giat berlatih. Masih awal tahun, namun kata mereka tidak
baik menyia-nyiakan waktu. Mereka ingin saat tampil sebagai barongsai nanti, mereka takkan
memalukan.
Sayang, andai saja mereka bisa
tampil di mall. Aku sudah pernah
melihat penampilan barongsai – baik lewat
film-film kungfu yang VCD-nya pernah dipinjamkan Henry maupun yang kutonton di
TV. Aku suka dengan warna-warni naganya yang indah, meski tidak mengerti makna
di balik warna-warna dan bentuk singa tersebut...
Mei 1998:
Aku sedih. Aku tidak bisa lagi
melihat penampilan Henry dan kedua abangnya, meski hanya dalam kalangan
tertentu. Aku bahkan tidak bisa lagi bertemu dengan Henry. Keluarganya terpaksa
mengungsi gara-gara kerusuhan ini. Aku bahkan tidak bisa pergi ke sekolah
selama sebulan ini. Guru-guru mengirim kami semua pulang dengan setumpuk PR,
terutama karena sekolah kami letaknya di tengah kota. Rupanya mereka enggan
mengambil risiko kami semua terluka, bila kerusuhan sampai melebar kemana-mana.
Lebih baik di rumah saja...
Ah, Henry. Semoga kamu sekeluarga
baik-baik saja, ya...
2007:
Malam itu, aku baru saja pulang
kantor dan mengecek Facebook-ku. Ada add friend request dari seseorang
bernama Henry Surya. Henry? Henry
yang itu?? Buru-buru kuterima setelah mengenali foto profilnya. Astaga, dia
sudah cukup banyak berubah! Semakin jangkung dan kekar, meski kulitnya masih
sepucat dulu. Mata sipitnya kini terhalang oleh kaca matanya.
Aku
sekarang di Amerika, begitu tulisnya dalam pesan saat aku menerima friend request darinya. Bagaimana Indonesia?
Kuceritakan
padanya tentang Gus Dur, yang salah satu jasa beliau adalah membuat kita semua
dapat liburan tambahan saat perayaan Imlek. Bahkan, kini barongsai sudah menjadi tradisi baru – tampil di banyak mall setiap hari itu.
Apakah
kamu akan pulang? tanyaku pada Henry, masih lewat pesan. Kutunggu
jawabannya dengan jantung berdebar-debar keras...
Masa kini:
“Papa, bagaimana nanti kalau aku
jatuh dari tiang?”
Aku dan Henry menatap remaja
tanggung yang tinggi dan kurus itu. Meski tekadnya kuat, tak ayal ada juga ragu
dalam matanya yang sipit. Hanya satu hal yang didapatnya dariku, yaitu kulit
legamnya.
“Ahh, kamu ‘kan sudah latihan
berbulan-bulan sama Oom Hans,” ucap Henry sambil tersenyum menenangkan. “Papa
yakin kamu bisa.”
Dan begitulah, Handra siang itu
tampil memukau bersama sepupu-sepupunya. Bocah-bocah yang kompak, karena sudah
tumbuh bersama dan akur dari kecil. Barongsai
warna-warni itu tampil memukau dan mendapatkan tepuk tangan meriah dari
penonton mall yang siang itu
membludak.
Henry dan aku menatap kesayangan
kami sambil tersenyum. Ada haru menyesakkan dada kami. Henry merekam semuanya
dengan kamera video, sementara satu tangannya menggenggam tanganku. Sempat kami
beradu pandang dan bertukar senyum.
Siang itu, kami bersyukur telah
berhasil melalui mimpi buruk itu. Mei 1998 sudah lama berlalu. Barongsai telah memberi warna baru bagi
negeriku...
Setau aku mba, barongsai itu singa. Yang naga itu namanya Liong.
BalasHapusDan kalo ceritanya sih masih terlalu mulus mba, coba di bagian 'Tahun 2007' itu dibuat betapa tokoh Aku merindukan Henry namun kesulitan mencari tahu keberadaanya sebelum akhirnya di-add fb-nya. Biar berasa aja sih konfliknya. Selebihnya bagus :)
Hehe, makasih atas koreksinya. Mungkin krn kena syarat batas 500 kata (buat lomba flash fiction mingguan soalnya, sekalian ajang latihan.) Lagi belajar bercerita seirit mungkin tapi tanpa ketinggalan elemen penting. Mungkin lain kali harus bisa lebih diakalin soal itu kali, ya.
HapusEndingnya masih terasa kurang *sok kritik bikin aja belum*
BalasHapus