Aku
terbangun di kamar yang sama, di rumah tua dan besar itu. Kusibak tirai dan kutatap
halaman luar. Matahari bersinar cerah. Rombongan remaja berjalan ke sekolah, mengobrol
dan tertawa riang.
Samar-samar
kudengar lagu “Details In The Fabric” – nya
Jason Mraz dan James Morrison. Mungkin dari ponselnya:
“Calm
down
Deep
breaths
And
get yourself dressed
Instead
of running around
And
pulling all your threads
And
breaking yourself up...”
Aku
rindu keluar rumah, terutama ke sekolah. Anehnya, aku rindu pergi ke sekolah.
Bahkan, banyak hal – dan orang-orang – yang amat kurindukan.
Tok, tok!
Aku
berbalik dan otomatis berkata, "Masuklah.” Kunci diputar dan pintu
terbuka. Dia datang dengan sarapan untukku dan senyum konyol di wajahnya yang
berkerut.
"Hai,
sayang," sapanya riang sambil meletakkan nampan di atas meja. Kali ini,
ada roti dengan selai nanas dan jus jeruk. "Tidurmu nyenyak semalam?"
"Lumayan."
Aku mengangkat bahu, lalu memejamkan mata ketika ia mencium keningku. Aku tetap
kaku, bahkan ketika lengan besarnya masih memelukku. Perasaan dingin
menjalariku, namun aku berusaha tidak memikirkannya. Bahkan, aku tidak ingin
merasakan apa-apa.
"Kamu
cantik sekali," bisiknya lirih, yang membuatku makin merinding. Dia
tersenyum padaku. "Habiskan sarapanmu, ya? Aku mau pergi sebentar dulu.
"
"Kemana?"
Dia
menciumku, kali ini di bibir. Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.
"Seperti
biasa, tidak akan lama," katanya lembut. "Karena kamu sangat penurut
akhir-akhir ini, kamu boleh berjalan sekitar ruang tamu."
"Oke."
Lalu dia pergi, mengunci dan bahkan menggembok pintu dari luar. Kudengar
langkah kakinya menjauh, sementara kuperhatikan sekitar.
Tidak
ada TV dan stereo. Semua jendela diteralis, sehingga sulit dipecahkan.
Sayangnya, ini juga daerah terpencil.
Kutatap
sarapanku. Bulan pertama di sini, aku mencoba memberontak melawannya dengan
menolak makan dan minum. Aku sudah siap untuk mati kapan saja, karena - empat
hari setelah usaha pertama - aku jatuh sakit karena dehidrasi dan hampir mati.
Dia berusaha menyembuhkanku. Satu-satunya hal yang masih membuatku tetap ingin
hidup adalah saat dia mempermainkan pikiranku malam itu:
"Katamu kamu ingin
melihat mamamu lagi."
Sudah setahun,
pikirku tersadar, sejak terakhir aku melihat Mama. Sejak lelaki aneh ini membius
dan mengurungku di rumah ini. Tuhan, semoga Mama belum menyerah mencariku...
Air
mataku menetes saat mulai memikirkan Mama, tapi aku segera mengusapnya. Kuhabiskan
roti dan jus jeruk. Aku harus tetap kuat.
Aku
tidak tahu mengapa dia menculikku. Katanya dia mencintaiku dan hanya ingin
selalu bersamaku. Dia bahkan tidak peduli saat aku menangis dari balik pintu
terkunci:
"Tolong,
aku nggak mau di sini! Aku mau pulang! Aku nanti dicari Mama!"
Ucapanku
membuatnya menangis, tetapi dia mengancam akan membunuhku sebelum
melepaskanku...
“If
it's a broken pot, replace it
If
it's a broken arm then brace it
If
it's a broken heart then face it...”
---
// ---
Dia
pulang malam itu. Kuputuskan untuk mulai mengikuti kemauannya. Tak hanya
merangkulnya, kali ini kubalas ciumannya.
"Senangnya
sudah pulang," gumamnya sambil tersenyum. "Senangnya di rumah
denganmu."
Mungkin
aku bisa mengulur waktu – dan perlahan membuatnya lengah. Setelah bisa bebas,
barulah harus kutemukan jalan pulang ...
“Hold
your own
Know
your name
And
go your own way
And
everything will be fine...”
https://www.youtube.com/watch?v=XdIw6tEjyEg
Buatku cerita ini tak ada nuansa horornya. Mungkin lebih ke arah thriller (penculikan). Tapi tetap belum 'menohok'.
BalasHapus