Dear “Kamu”,
Maaf,
sepertinya hari ini aku tidak bisa terlalu banyak bercerita. Aku sibuk.
Pagi-pagi sekali saja aku sudah harus pergi bekerja hari ini. Siang ini juga
cukup lowong sebelum malam nanti. Aku harus keluar lagi.
Maaf
kemarin aku terdengar begitu putus-asa dan depresi dalam suratku. Aku hanya
tidak ingin memimpikannya lagi. Aku hanya ingin memimpikanmu hingga suatu saat
nanti, bila kita memang benar-benar ditakdirkan untuk bertemu. Semoga
benar-benar terjadi, ya.
Bagaimana
bila tidak? Bagaimana bila pada akhirnya, kamu hanya akan tetap menjadi lelaki
impianku, khayalan semu? Entah siapa sosok berikutnya yang akan bertemu
denganku di masa depan nanti. Apakah kamu? Apakah sosok lain? Apakah kau akan
otomatis menghilang begitu saja bila yang muncul di depanku nanti benar-benar
sosok lain? Mungkin itu memang kamu, tapi jangan-jangan aku yang tidak
menyadarinya. Wah, bukan pertanda bagus itu!
Hmm,
mungkin tak hanya separuh sinis, seharusnya aku juga sadar bahwa sebenarnya aku
sangat, sangat sinis. Ya, Nona Separuh
Skeptis yang Nyaris Sinis. Cocok sekali, bukan? Lalu, bagaimana denganmu?
Ini sudah hari kelima aku menantang diriku sendiri menulis surat cinta. Lihat,
aku bahkan sudah kehilangan sisi romantisku. Aku berubah menjadi kaku, terlalu
penuh perhitungan, dan curiga berlebihan yang berujung pada paranoid. Ah,
jangan-jangan dia benar. Aku selalu curiga dan takut akan terluka.
Dua
malam lalu ada yang membuatku kesal. Aku sedang makan sendirian di depan
gerobak dekat rumah sakit. Salah satu tukang jualan yang ada – mungkin tukang
soto, karena sering sekali mangkal dekat gerobak soto dan melayani pembeli soto
– mengajakku basa-basi. Seperti khasnya orang Indonesia, basa-basi pertama
mereka seperti ini:
“Sendirian
aja?”
“Iya.”
Aku sedang malas. Aku hanya tidak ingin diganggu. Dia sudah bisa lihat sendiri,
‘kan?
“Suaminya
mana?”
Nah,
ini dia yang selalu bikin kesal. Kenapa mereka selalu hobi berasumsi, seakan
perempuan sepertiku selalu harusnya sudah bersuami? Menjengkelkan.
“Darimana
Bapak tahu sudah bersuami?”
“Lha,
yang tinggi, kurus, dan gondrong itu?”
“Bukan.
Itu cuma teman.”
“Oh.”
Dan dia pun menyerah begitu aku tak lagi menanggapinya. Jujur, aku malas sekali
dengan basa-basi, apalagi basa-basi dengan orang sok tahu. (Kamu mau sabar ‘kan,
dengan sifatku yang mudah marah?) Seakan-akan mereka sudah mengetahui benar
perempuan macam apa aku dan pasti mereka selalu benar.
Aku
hanya ingin berhenti mengingat-ingatnya. Aku sudah tidak ingin lagi melihatnya,
bahkan dalam mimpi terburukku sekali pun. Aku hanya ingin move on. Kamu mengerti, ‘kan?
Aku
hanya ingin memulai dari awal lagi. Belajar percaya dengan lelaki, bahwa mereka
tidak semuanya jahat dan hanya menginginkan ‘hal
itu’ dariku. Aku hanya ingin belajar mencintai dan menerima bahwa cinta
tidak pernah mudah. Cinta tidak selalu seindah cerita dongeng. Aku sudah lama
tahu hal itu.
Aku
hanya ingin move on, namun tidak
ingin mulai menjalin hubungan lagi dengan alasan yang salah. Aku tidak ingin
memperlakukan lelaki berikutnya sebagai ‘pelarian’ / rebound belaka. Tidak adil rasanya.
Aku
ingin move on, kalau bisa denganmu.
Tidak apa-apa, ‘kan?
Yang
sedang kesal dan bingung,
Nona Separuh Skeptis yang Nyaris Sinis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar