Maafkan aku yang tak pernah benar-benar menjadi anak yang baik bagimu. Aku mengaku tulus mencintaimu, namun tidak banyak berbuat apa-apa, meski dengan umurku yang semakin beranjak. Aku ingin menyelamatkanmu dari banyak hal, namun pada saat yang sama gelisah ingin mencari jalan keluar bagiku sendiri. Egois? Barangkali. Namun, ini bukan hanya pekerjaan satu orang, 'kan?
Setidaknya, aku bukan salah satu dari mereka, yang bisanya hanya menghina dan mencela. Ragam kutukan menghiasi laman media sosial mereka. Pernahkah mereka berbuat apa-apa? Apakah mereka sudah terlalu lelah, hingga sabar tiada lagi tersisa?
Jujur, aku takut sekali menjadi seperti mereka. Apatisme dapat membunuh dengan sangat perlahan, bagai racun sianida dalam kopi, yang beritanya ramai dimana-mana. Aku adalah anak yang tidak sempurna, sepertimu yang tak berdaya - meski dengan keindahanmu yang luar biasa. Semakin hari, sosokmu semakin mirip negeri dongeng yang kian porak-poranda. Semakin sulit aku membedakan sesama manusia. Yang mana yang sungguhan dan yang mana monster belaka? Mereka semua serupa. Sama.
Hingga tindakan mereka yang membedakan segalanya.
Aku mencintaimu, sungguh. Aku sadar, butuh banyak orang yang sungguh-sungguh mencintaimu, meski dengan risiko kehilangan segalanya - termasuk harta, tahta, dan nyawa. Namun, dimanakah mereka semua sekarang? Mungkin sudah lama luput dari teropong media. Para manajer di istana mereka sibuk memperebutkan hal yang sama: kuasa, kuasa, KUASA! Mengaku cinta, namun selalu lebih mementingkan diri mereka. Menginjak sesama dan menebar polemik belaka, atas nama cinta - namun bukan untukmu. Tak pernah benar-benar untukmu.
Indonesia-ku, apakah cinta untukmu akan semakin luntur? Apakah kami semua pun lambat-laun ikutan gugur, ditelan pengaruh mereka yang hanya ingin kamu hancur?
Dari: Anak Bangsa yang Lelah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar